Terbang Bersama Angin

By Sary Melati on July 17, 2012

Eyang Harti, demikian ia menyebut neneknya. Wanita itu adalah ibu dari mamanya. Ciri khasnya dia kentara sekali. Senantiasa mengenakan kebaya dan kain dalam kesehariannya. Usianya sekitar tujuh puluh empat tahun. Ia berpandangan kolot. Segala sesuatu diukur  dari jamannya seolah jaman sekarang sama dengan jamannya dulu. Tak heran, jika cara mendidiknya menyiratkan pola pikirnya.

Sejak bayi Syahla diasuh olehnya.  Dan kakek Zahri, suaminya meninggal ketika Syahla masih kecil. Bahkan Syahla tak bisa menyimpan kenangan apapun tentang kakeknya. Kecuali melalui cerita – cerita yang kerap dilontarkan neneknya. Tentang seorang lelaki pemberani, yang bersedia menumpahkan darah demi keagungan tanah airnya.

Tetapi bagi Syahla, eyang Harti lebih seperti ibu kandungnya sendiri. Ia tidak mengenal orang tua lain yang memperhatikannya kecuali eyangnya itu. Bahkan ia tidak tahu siapa kedua orang tuanya. Dan setiap hal itu ditanyakan pada eyangnya, ia selalu bungkam. Kalaupun  menjawab maka apa yang dikatakannya akan selalu sama: “Anggaplah aku ibumu. Mempunyai satu ibu yang memperhatikanmu, itu sudah keberuntungan bagimu. Di luar sana banyak gelandangan yang tidak mempunyai orang tua sama sekali.”

Setelah mendengar penjelasan seperti itu Syahla akan diam. Tetapi rasa kepenasarannya kian menumpuk di dada. Setiap kali ada kesempatan baik, ia mencoba mencari informasi dari eyangnya. Ingin sekali ia membuka tabir tentang siapa dirinya. Tapi sampai saat ini ia belum berhasil.

Selain bersama dirinya, Eyang Harti hidup bersama Mimah, saudara jauhnya. Mimah telaten sekali merawatnya. Ia berusia empat puluh tahunan, miskin dan tidak menikah. Mimah membantu – bantu eyang Harti sebagai tanda terimakasihnya karena neneknya  bersedia menampungnya .

Sebenarnya eyang Harti tidak termasuk kaya. Tapi disebut miskin pun tidak. Mereka hidup dari pensiun kakek Zahri, purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Untungnya nenek Harti mempunyai sepetak sawah yang digarap tetangganya di desa. Itu cukup untuk makan mereka setahun. Bahkan kalau stok banyak, mereka dapat uang lebih dari hasil penjualan beras sisa.

Seperti kebanyakan nenek lainnya, nenek Harti super cerewet alias bawel. Segala sesuatu harus sempurna. Sendok tidak boleh diletakkan di tempat garpu. Atau misalnya kotak obat harus selalu di lemari dapur. Kalau ada di kamar, ia akan mengomel terus sampai kotak obat itu pindah. Kadang omelannya masih menyisakan ekor, berbuntut panjang.

Syahla hapal di luar kepala semua kebiasaan neneknya.  Ia pun sering disuruh mencari kutu rambutnya, mencabuti ubannya atau membersihkan ketombenya. Ia juga sering  meminyaki rambut eyangnya itu dengan minyak orang – aring. Semua kenangan nenek Harti tergambar jelas satu – satu di hadapannya.  Dan ia mulai merasa khawatir kini. Neneknya itu terbaring lemah, tak bisa bangun. Eyang Harti terkena stroke.

“Syah….Syahla….” Dia memanggil dalam ketidakberdayaannya. Syahla mendekat.

“Iya Eyang. Ini Syahla, Eyang ada perlu apa? Mau makan sekarang?” Jawabnya setengah berlari mendekat. Kemudian duduk di samping eyangnya yang dibaringkan di bawah.

Sebuah tabung infus menggantung di sana. Syahla meliriknya. Isinya masih cukup penuh. Besok suster dari rumah sakit akan menggantinya.

“Mamanya si Kaisar sudah ditelepon?” Tanyanya terbata.

Syahla menarik napas panjang. Selalu jika disebut tentang wanita itu  ia menjadi muram. Bagaimana tidak. Dia adalah uwaknya. Mungkin kakak atau adik dari mamanya. Artinya dia adalah anak eyangnya juga. Tapi mengapa dia sama sekali tak peduli pada eyang Harti? Bahkan menengoknya jarang. Kadang satu bulan sekali, dua bulan sekali, pernah enam bulan sekali. Itupun tidak pernah lama, tak pernah lebih dari setengah jam.

Suatu kali ia mendapati sebuah keanehan. Menantu eyangnya pernah menegurnya ketika ia memanggil mereka uwak.

“Jangan panggil kami uwak, panggil mama dan papa saja, seperti Kaisar,” bilang laki – laki itu. Dan Syahla menerimanya. Sejak saat itu ia memanggil mama dan papa pada orang tua Kaisar.

Tetapi ada yang membuat Syahla semakin tak mengerti. Sriwulan itu anak kandung eyangnya tetapi mengapa  ia sangat tidak perhatian sekali pada ibunya. Syahla seperti tersesat dalam labirin. Satu – satunya harapan pada sebuah jawaban adalah Mimah. Tapi sama seperti eyangnya, ia selalu bungkam seribu bahasa. Hanya mencibir kesukaannya. Itu saja.

Syahla mengusap – usap punggung tangan neneknya.

“Eyang, Syahla sudah menelepon mama dari kemarin. Mama bilang ia akan datang hari ini. Eyang yang sabar ya?” Bujuk Syahla.

Eyang Harti cemberut. Gambaran mukanya kecewa. Ia jadi cepat sekali emosi semenjak terkena stroke. Dan seperti kepada anak kecil, Syahla harus membujuk – bujuknya untuk menetralisir perasaannya.

“Eyang makan dulu ya? Syahla bikin sop telur burung puyuh. Itu kan makanan kesukaan Eyang. Eyang makan ya sekarang?”

Wanita itu diam. Di wajahnya masih ada lukisan kemarahan yang tertahan.

Syahla kemudian mengambil nasi tim dan semangkuk sup telur puyuh.

“Wah Eyang, sayurnya masih hangat nih. Eyang makan ya? Biar Eyang kuat dan cepat sembuh,” rayu Syahla.

Tak menjawab.

Syahla duduk di sampingnya. Ia mengambil bantal dan menaikkan kepala neneknya setengah terduduk. Kemudian ia mendekatkan sendok yang berisi nasi dan kuah sayur. Tanpa disangka reaksi neneknya sungguh di luar dugaan. Ia menampar mangkuk di tangannya yang berisi sayur. Sayur itu tumpah di dada dan pahanya.

Syahla menjerit. “Aw!”

Untungnya sayur itu tak begitu panas. Syahla cukup merasa perih juga. Tapi neneknya tak peduli.

“Mana  Sriwulan?!!” Teriaknya kencang.

Syahla berlari, mengompres badannya yang terkena siraman air itu. Untung tidak apa- apa, hanya sedikit perih. Ia kemudian berganti baju dan membereskan tikar dan apapun yang terkena tumpahan sayur itu.

Sekejap ia melihat raut muka neneknya. Nampak  bulir – bulir air di sudut – sudut matanya. Syahla sedih dan kecewa. Belum pernah neneknya bertingkah seperti itu. Ia lalu meninggalkan neneknya dan berlalu ke kamarnya. Di sanalah ia menumpahkan perasaannya. Pada bantal yang akhirnya basah karena air matanya.

Syahla menghitung, ini sudah hari keenam ia menelepon mamanya. Tapi wanita yang ia panggil mama itu hanya berjanji saja tapi  tak pernah ditepati. Bahkan hari ini saat Syahla mengabari bahwa neneknya sulit buang air kecil dan harus dipasang keteter, dengan enteng wanita itu menjawab,” Urus saja dulu sama kamu La, lagian mamih sakit juga kan gara – gara kecapen ngurusin kamu!” Terasa bagai halilintar kata – kata itu di telinganya. Dia boleh marah karena maminya mengurusinya, tapi sebagai anak, di saat maminya kesakitan, bukankah sepantasnya ia berada di sampingnya?

Pulang dari wartel Syahla bingung. Apalagi yang harus dikatakan kepada neneknya. Neneknya pasti  akan marah besar padanya. Bahkan  sekarang neneknya  suka melempar apapun yang ada di dekatnya jika dia marah. Pernah selang infus dicabutnya, sehingga dokter memutuskan untuk tidak menginfus neneknya lagi.

Mimah nampak tercenung dekat tempat tidur neneknya. Seperti kebingungan. Ia sudah memperkirakan Syahla mendapat berita apa. Keduanya merasakan kondisi neneknya semakin memburuk. Ia sering memanggil – manggl Sriwulan. Tapi Sriwulan tak pernah datang dengan seribu alasan. Mereka berdua sering bertukar pikiran. Mereka berdua saling menyemangati, saling membantu. Kedekatan mereka semakin hangat. Berjuang dalam satu misi : kesembuhan eyang Harti, karena mereka berdua membutuhkannya juga menyayanginya.

Kondisi eyang Harti kian memprihatinkan. Sekarang ia memanggil nama Sriwulan tidak dengan berteriak lagi tapi berbisik – bisik dengan suara pelan. Syahla tersayat hatinya. Kebencian pada wanita bernama Sriwulan mulai menggerogoti hatinya. Baginya Sriwulan itu tak lebih seperti seorang pembunuh, tidak berperikemanusiaan sama sekali.

Pagi ini Syahla trenyuh luar biasa. Semakin hari semakin lemah keadaan neneknya. Bahkan kata-katapun hanya keluar sedikit dari mulutnya. Ia mulai merasa khawatir, takut kehilangan neneknya.

Sehabis shalat dhuhur Syahla memandangi neneknya . Neneknya masih berbaring lemah di pembaringan. Matanya tertutup rapat. Selimut hangat masih menutupi tubuhnya. Melihat kondisinya sungguh membuat pedih hatinya. Syahla memandangnya lama sekali. Ia mulai merasa tidak tahan melihat kondisi memprihatinkan neneknya.

Ketika sedang melap tubuhnya, Syahla akan mendapati neneknya memandang wajahnya seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan. Tapi kini neneknya  jarang berkata – kata, suaranya lemah sekali, tiada daya. Syahla ingin mendapatkan sesuatu dari neneknya. Sebuah informasi tentang siapa dirinya.

Terbayang kembali ucapan neneknya. Katanya, tidak semua manusia beruntung. Jika ia merasa kurang beruntung, neneknya  menasehati agar ia menjadi anak yang tabah, pintar dan cekatan. Dan syahla menyimpan nasehat itu dalam memorinya dalam – dalam. Karena sebenarnya ia merasa tidak beruntung. Walau ia tidak mengerti dimana letak ketidakberuntungannya. Tapi ia bisa mengira – ngira. Mungkin pada wajahnya yang orang bilang jelek, si bibir teballah, si muka bulatlah atau mungkin perilakunya yang kolot, kaku, kampungan dan seribu satu ejekan tentang dirinya. Sebenarnya ia tidak begitu peduli dengan semua hinaan itu. Ia sangat penasaran tentang siapa orang tuanya. Dalam banyak misteri  ia tetap tegak berdiri. Ia bangga memegang norma – norma. Ia bangga walaupun sebagian teman – teman menjelek – jelekkannya tapi banyak guru salut padanya. Pada prestasinya. Dan sebagian teman sangat baik padanya, karena ia pintar. Banyak yang membutuhkan bantuannya. Ia tak segan membantu mereka tanpa pamrih. Bahkan harus bercapai ria menerangkan logaritma pada teman – temannya sekalipun, Syahla mau.

Pulang sekolah ia mendapati Mimah sedang melap meja makan. Mulutnya menggerutu.

“Mamamu itu rada sinting apa, orang tua sakit begini tak mau nengokin.”

“Mama, mama siapa?”  Tanya Syahla iseng.

“Ya mamamu itu lho!”

“Emang dia mamaku gitu?” Tanya Syahla menggoda.

Syahla melihat Mimah  mulai stress mengurusi neneknya. Wajar, karena ia juga menyayangi nenek Syahla dan Mimah tak ingin neneknya menderita gara – gara anaknya tidak bersedia menengoknya.

“Ya iya, mamamu itu lho! Masa mama kucing?” Jawabnya sekenanya.

Syahla tercenung. Dia mendapati suatu keanehan. Baru sekarang Mimah menyebut Sriwulan sebagai mamanya. Walaupun ia menyebutnya mama, tapi ya sekedar sebutan saja, tanpa makna. Syahla menjadi sangat penasaran. Ia kuatkan hatinya untuk selalu berhati – hati agar bisa mengorek informasi untuk  mendapatkan semua keterangan  yang sangat ia inginkan.

“Kalau dia mamaku, papaku, kenapa jarang menengok aku, bahkan tak membiayaiku. Jarak Bandung ke sini kan dekat, hanya dua jam perjalanan. Berarti jarak bukan masalah. Masa untuk seorang anak mereka tidak mau berbagi kasih sayang. Berarti dia bukan mamaku kan Bi?” Tanya Syahla memancing Mimah. Tapi ada rasa tersayat di hatinya. Perih seperih – perihnya. Laksana hatinya diris sembilu, tipis – tipis, pelan – pelan.

“Dia mamamu, asli. Wong bibi melihat saat kamu dilahirkan kok!” Tambahnya tanpa ekpresi.

Syahla terkejut setengah mati. Benarkah apa yang Mimah katakan? Ia cukup mengenal Mimah. Dan ia yakin Mimah tidak berbohong. Tetapi mengapa banyak sekali keganjilan dalam masalah ini? Syahla mencoba menegarkan diri. Inilah saatnya ia mendapat informasi yang akurat. Dalam degup jantungnya yang berguncang, pikirannya memompa hatinya lewat bisikan: sabar, sabar, kendalikan dirimu Syahla.

“Tapi mengapa aku seperti diasingkan Bi?” Tanyanya dengan suara terbata. Ingin ia menangis sejadi – jadinya. Tapi ia tahan sekuat tenaga. Ia harus tahu duduk masalahnya.

“Mamamu wong edan!” Makinya dengan logat Jawa yang kental. “Anaknya gak pernah diberi jajan, ditengok pun jarang. Ibunya yang sudah melahirkannya tak pernah diperhatikannya. Kualat dia, suatu saat Tuhan pasti murka padanya!’

Syahla bergidik. Seribu tanda tanya memenuhi kepala. Ia ingin tahu segera apa yang terjadi sesungguhnya.

“Kalau aku anak mama, Bi kenapa wajahku sama sekali tidak mirip dengan Kaisar, Rose, mama dan Papa?” Ia kemudian ingat suatu hari Kaisar mengantar mamanya dengan BMW biru metaliknya. Dan Syahla mengagumi anak itu. Usianya berbeda dua tahun dengannya. Ia sangat tampan. Kulitnya putih bersih. Gaya berpakaiannya rapi. Kelihatan kalau ia orang kaya. Semua yang dipakainya bermerek semua. Ia memperhatikan hidung Kaisar  yang mancung, bibirnya yang mungil, mukanya yang oval dan rambutnya yang lurus.  Semua tidak seperti dirinya. Ia bahkan mirip papanya. Dan Rose adiknya, dia juga sangat cantik. Badannya tinggi semampai bagai model. Wajahnya cantik ayu menawan. Rambutnya sedikit bergelombang, ikal mayang. Kulitnya juga putih bersih. Ia bahkan mempunyai banyak kemiripan dengan Sriwulan. Dia? Mengapa dia berbeda? Hanya ada sedikit kemiripan dengan neneknya, berkulit hitam manis dan bibir yang agak tebal.

“Si Rose yang angkuh itu?!” Tiba – tiba Mimah mencibir. “Aku benci dia, bila datang ke sini kerjaannya menyuruh dan memakiku seperti pada pembantu saja,” jijiknya.

Syahla diam. Ia sedang berpikir bagaimana agar Mimah mau menceritakan lebih dalam lagi tentang keluarga itu. Maka ia berpura – pura ikut membereskan meja makan. Ia berusaha untuk santai. Ia berharap Mimah tidak terpancing bahwa sebenarnya ia sedang mencari informasi.

“Tapi benarkah eyang Harti adalah ibu kandungnya? Mengapa dia sama sekali tak pernah peduli pada eyang?”

“Harta La, harta…” katanya setengah berteriak. Semua bermula dari harta!”

“Harta?” Syahla pura – pura bego. “Maksudnya?”

“Papamu itu anak tunggal. Orang tuanya sangat kaya. Dia juga punya kedudukan yang tinggi di kantornya. Dengan sekuat tenaga mamamu merayunya. Akhirnya mereka menikah. Suatu hari mamamu cemburu. Dia lalu gugat cerai. Papamu berpacaran lagi dengan yang lain. Tapi mamamu tidak terima. Kemudian ia merayu lagi papamu sampai mamamu hamil. Dan mamamu minta pertanggungjawaban papamu. Sempat suasana menjadi sangat panas waktu itu. Akhirnya papamu menikah lagi dengan mamamu walau ia sudah bertunangan dengan teman sekantornya.”

Syahla menganga. Cerita yang begitu menyeramkan. Tapi ia belum puas sampai di situ.

“Jadi aku anak haram Bi? Itulah sebabnya aku diasingkan?” sedih Syahla. Mimah nampak tak peduli perasaannya. Ia terus bercerita sambil tetap mengelap meja.

“Bukan itu saja. Papamu menyangkal bahwa kamu anaknya. Sebab kamu hitam dan tidak mirip mama papamu.”

“Tapi mengapa aku bisa hitam Bi?” Tanya Syahla  penasaran.

“Papamu menyangka kamu adalah hasil hubungan gelap mamamu dengan si Jaja, sopir papamu. Dia berkulit hitam juga. Dia juga sering mengantar mamamu. Mamamu sempat menggodanya untuk memanasi papamu yang tidur dengan teman sekerjanya.”

“Apa?!” Syahla bergidik. Seumur hidupnya belum pernah ia mendengar kisah hitam yang begitu mengerikan. Dan ternyata ia adalah korban dari kisah kelam itu Syahla merasa sangat ngeri. Ia bingung sendiri. Bukankah nenek Harti adalah seorang yang fanatik. Ia mendidik Syahla dengan nilai – nilai agama yang benar. Ia mensuritauladaninya dengan sering shalat, mengaji dan memberinya nasihat – nasihat bijak. Tidak, ia pasti salah dengar. Tidak mungkin. Tapi ia ingin sebuah kepuasan, kesempurnaan dari akhir ceritanya. Maka ia bertanya lagi.

“Bik Mimah, ceritakan lebih banyak lagi!” Harapnya.

“Tapi jangan bilang siapa – siapa lho Bibi yang cerita,” pintanya.

“Iya, iya suer!” Jawab Syahla. Mimah pun melanjutkan ceritanya.

“Sebenarnya namamu juga ada artinya. Kamu anak yang tidak diharapkan kehadirannya. Eyang Harti bilang kamu anak haram, maka ia memaksa papamu untuk menikahi mamamu biar anaknya jadi sah lah, makanya namamu Syahla Prihatini. Karena saat itu keluarga itu lagi prihatin oleh aib kehamilan mamamu yang sudah besar.”

Syahla ingin menjerit pada langit. Ingin mencebur di danau biar pikirannya dingin. Ingin berendam di laut es, biar hatinya beku. Tidak menyala – nyala seperti api yang membakar perasaannya.

Terdengar eyang Harti merintih. Mereka berdua berlari ke dalam mendekatinya.

“Mana Sriwulan? “ Rintihnya pedih. Syahla dan Mimah berpandangan. Setiap hari mereka meneleponnya. Tapi wanita itu punya lidah seperti ular, berkelit, berkelok – kelok, banyak alasan.

Mimah membisikkan sesuatu di telinga Syahla. Kemudian Syahla keluar mencoba memenuhi perintahnya.  Ia menelepon Sriwulan lagi dengan uang terakhir yang ia punya dan mengatakan kalau eyang Harti keadaannya sangat parah, mungkin tak lama lagi usianya terputus. Syahla menangis pedih di hatinya. Jika benar eyangnya meninggal dengan siapa ia dan Mimah akan tinggal. Dimana mereka akan tinggal. Kata Mimah rumah ini sudah dihibahkan pada Syahla dan dirinya. Pak Rt, pak Rw dan kiayi di sana sudah menjadi saksinya. Tapi ia tak tahu kebenarannya.

Ternyata strategi Mimah berhasil. Besoknya sekitar jam delapan pagi sebuah Land Cruiser berhenti depan rumah nenek Harti. Sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan dua anaknya keluar dari mobil itu. Syahla ingin menjerit rasanya. Kenapa di saat neneknya sudah seakan tak sadar mereka baru datang? Kenapa saat semua orang mengaji mengantar kepergian neneknya mereka baru hadir? Syahla benci setengah mati pada mereka. Pada keluarganya. Pada badan – badan kotor itu yang berperilaku laksana setan saja. Cepat – cepat ia beristigfar. Ingat lagi pesan neneknya bahwa hidup adalah perjuangan. Siapa yang mau hidup ia harus berani menerima cobaan. Syahla berani untuk hidup. Ia akan berusaha memaafkan mereka. Tapi sebenarnya ia tidak tahu apakah ia bisa.

Suara orang mengaji berkumandang di rumahnya. Semua teman – teman neneknya yang mendoakannya. Ada seorang ustad di samping neneknya. Syahla dan Mimah tak hentinya membisikkan kalimat – kalimat Ilahi di kuping eyang. Ketika keluarga  itu datang, Syahlalah yang berdiri dan membuka pintu. Saat pintu dibuka ia mendengar begitu banyak yang mengucapkan Inna Lillahi wa inna ilaihi rajiun. Syahla membalik. Ia menjerit. Memeluk neneknya kuat – kuat. Memanggilnya kencang. Mima yang sedang menangis memegang bahunya dan bumi serasa menyeretnya dalam kegelapan. Ia hilang dalam kesedihannya.

***

Syahla masih menerima tamu – tamu yang datang bela sungkawa ke rumahnya. Ia mengucapkan terimaksih kepada semua yang telah datang dan minta maaf atas kesalahan neneknya. Mencoba tegar sebisa yang ia bisa,walau hatinya perih sekali. Bersama Mimah di sampingnya ia mencoba menguatkan hatinya. Dan Sriwulan entah dimana. Ketika Syahla ingin menyimpan semua amplop di kamar neneknya. Ia mendapati ibu dan anaknya itu sedang bercanda riang.

“Jadi dong aku beli Honda Jazz ma,  rumah ini akan mama jual kan?”

“Tentu saja sayang, sesuai keinginanmu,”

“Dan si hitam jelek itu ma?” Tanyanya

“Biarkan ia tinggal bersama kita. Jadi kita tak membutuhkan pembantu lagi.”

“Dan perawan tua itu?”

“Mama akan kembalikan ia ke kampung, suruh mudik saja! Selama ini ia kan hanya parasit bagi eyangmu!”

Syahla bagai mendengar suara petir yang kencang sekali. Untuk kedua kalinya ia merasa bumi menjadi gelap kembali.

***

Syahla mencium nisan neneknya. Ia berkata seolah neneknya mendengarkannya.

“Eyang, terimakasih untuk jasa eyang yang tidak terkira terhadap Syahla. Syahla belum bisa membalas semua budi baik eyang yang sangat banyak itu pada Syahla.”

“Eyang, tadi Syahla dan Mimah berpelukan. Sedih sangat. Adakah kita bersama lagi, bisakah kita bertemu lagi. Selain Eyang hanya Bik  Mimah yang Syahla punya. Kini semua harus berpisah. Semua kini telah terbang bersama angin. Syahla, bik Mimah juga Eyang. Kita semua tercerai  – berai. “

“Eyang, Syahla akan tinggal bersama mereka. Syahla tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi Syahla akan selalu ingat kata – kata Eyang. Syahla harus tabah, kuat dan penuh semangat. Karena Tuhan tak akan memberi beban yang berat lebih dari kekuatan kita. Syahla percaya doa dan cinta Eyang akan selalu menjaga Syahla selamanya. Dan Syahla berdoa semoga Eyang mendapat tempat yang paling baik di sisi-Nya. Amien.”

Kemudian ia menciumi nisan itu. Dan berlalu, menyongsong sebuah keluarga baru, hidup baru, yang ia tahu mungkin kelam. Tapi ia siap karena ia tahu, Tuhan itu tidak buta, tidak tuli dan tidak akan pernah menyia – nyiakan mahluknya selama mahluknya mau berusaha dan berdoa.

*       *       *

    Leave your comment :

  • Name:
  • Email:
  • URL:
  • Comment: