Terapi Retail

By admin on September 05, 2012

Pusat perbelanjaan yang berlokasi di Jakarta Selatan siang itu penuh sesak. Banyak orang tampaknya tersihir dengan promosi yang digelar mall favorit ini. Lita termasuk diantaranya. Lita menuju tempat duduk yang terletak di area luar department store lantai 1. Bangku berwarna coklat seolah disediakan khusus untuk Lita. Hanya Lita yang duduk di bangku ini. Lita berpikir mungkin orang-orang terlalu sibuk berbelanja, sehingga tidak memiliki kesempatan untuk duduk.

Diskon Hingga 80%, Memburu ‘Midnight Shopping’ – Mengejar Impian
Lita membaca tulisan di rolling banner yang terletak tepat di seberang area bangku tempatnya duduk. Mengejar impian? Apakah setelah menggesek kartu debit di beberapa area kasir, setelah menghabiskan waktu selama dua jam, setelah menjinjing 4 kantong belanja, impiannya tergapai?
“Permisi, boleh duduk di sini?” tanya seorang pria tersenyum ramah.
“Oh, silakan” kata Lita spontan, sambil mengangkat kantong-kantong belanja dan meletakkan di lantai.
Pria ini datang bersama pengasuh berpakaian serba biru muda. Pengasuh menggeser kereta bayi ke sisi kanan bangku. Pria yang menggunakan jeans hitam dan polo shirt duduk di sebelah Lita dan tenggelam dengan telepon genggamnya. Lima menit kemudian, seorang wanita muda berambut panjang menghampiri area bangku. Ia menggendong anak berusia sekitar 2 tahun di tangan kiri. Tangan kanannya menggandeng anak laki-laki yang berusia sekitar 4 tahun-an.Wanita muda ini mengenakan celana pendek putih dengan atasan tanpa lengan berwarna pink. Ia memakai sepatu wedges biru muda berhak 9 cm. Lita terpana dengan kulit wanita ini yang licin bak artis-artis Korea.
“Mbak, ini anak-anak tidak bisa diam” kata wanita muda pada pengasuh anak-anak yang duduk disebelah.
“Iya bu, Kak Nathan sama Dik Stephani mana betah diajak belanja.” jawab pengasuh, seperti layaknya ia seorang ibu yang tahu kebiasaan buruk anak-anaknya.
“Aku mau main di atas aja!” rengek anak laki-laki sambil menarik tangan pengasuh.
“Iya ya, kalau begitu kalian ke lantai 2 saja” kata pria di sebelah Lita sambil menyimpan telepon genggam ke saku celana.
“Mama belanja dulu aja. Aku dan baby Andre ke toko elektronik di lantai dua ya” kata pria sambil menengok kereta bayi.

Lita tertegun menatap pemandangan yang baru saja ia lihat. Lita sangat yakin apa yang ia lihat bukan adegan di sebuah film keluarga. Ibu muda bertubuh langsing dengan 3 orang anak. Seorang ayah yang meluangkan waktu bersama keluarga. Keluarga yang sering mengunjungi lantai 2. Lantai tempat kebutuhan anak-anak dijual. Lantai tempat anak-anak menghabiskan waktu dengan permainan indoor.

Lita ingin terlibat dalam adegan film tadi. Lita ingin memerankan peran wanita muda itu. Bahkan Lita ingin memiliki pengasuh seperti yang dimiliki keluarga tadi. Lita ingin menukar apapun yang dimiliki di dunia ini dengan film seperti tadi. Tidak terasa setetes air mata mengalir. Jari tangan dengan sigap menyingkirkannya. Lita segera menunduk, menatap telepon genggamnya. Ia tidak ingin satpam yang berdiri di depan area masuk department store memergokinya.

Ia membuka pesan singkat dari telepon genggam. Ia membaca sekian kali pesan singkat dari Devi. ‘Lita, sori tidak bisa ikut lunch, aku harus antar Jilan ke acara sekolah’. Kemudian Lita membaca pesan dari Mila. ‘Maaf Lit, tidak bisa menemani lunch. Nabila sakit harus ke dokter nih’.

Lita menarik napas dalam-dalam. Tidak adakah kegiatan di dunia ini selain kebutuhan anak? Kenapa teman-teman dekat dan keluarga terdekat selalu sibuk dengan urusan anak? Kenapa hanya Lita yang memiliki banyak waktu? Kenapa hanya Lita yang menghabiskan waktu berjam-jam di mall? Kesibukan orang-orang dekat menyebabkan Lita memiliki banyak waktu menelusuri mall ini.

Lita berdiri dari bangku dengan menenteng kantong-kantong belanja. Ia menyusuri lantai 1. Lantai ini adalah area semua kebutuhan wanita. Lita tersenyum pada pramuniaga yang menyambutnya. Ia kemudian berniat menuju supermarket yang terletak di lantai UG. Ia melangkah dengan yakin. Ia melangkah tanpa harus melihat petunjuk lantai. 6 bulan terakhir, teman-teman dekat menjuluki dirinya Miss Mall. Ia seolah-olah adalah shopping directory.

Setelah menitipkan barang di deposit counter, Lita langsung mendorong troly belanja. Sapaan ramah pramuniaga membuatnya ingin berlama-lama di toko ini. Ia menuju area buah. Ia memilih jeruk. Membolak-balik jeruk, untuk menyakinkan tidak ada yang busuk. Ia membandingkan warna buah jeruk yang satu dengan yang lain. Warna orange harus dalam tingkatan yang sama. Tidak boleh ada yang orange tua atau orange muda. Kemudian ia menuju ke area minuman ringan. Menggenggam kaleng minuman. Mengamati warna kaleng yang satu dengan yang lain. Membaca petunjuk nilai gizi, kandungan minuman. Kegiatan ini dilakukan layaknya ia berbelanja di supermarket yang beroperasi selama 24 jam atau bahkan 48 jam.

Petugas kasir menyapa Lita.
“Selamat siang bu, wah hari ini belanja lagi ya”
“Hmm… ya” balas Lita tersenyum.
“Biar satpam yang bantu mengeluarkan belanjaan dari 2 troly ya”
“Oh, boleh. Terima kasih” Lita baru sadar barang belanjaannya sebanyak itu. Ia menoleh kebelakang, ada 7 orang sedang mengantri. Mesin register mulai bekerja. Barcode demi barcode ditandai. Total rupiah belanja di layar mesin sedikit demi sedikit meningkat.
“Total Rp 2,500,000”
“Ok” Lita menyodorkan kartu kredit.
Kartu kredit bergesekan dengan mesin, siap melakukan transaksi. Lita menghela napas. Helaan napas seperti orang yang berhasil menemukan harta karun yang digali. Harta karun itu belasan kantong plastik berisi barang belanjaan.

Sambil mendorong troly menuju lobi tempat parkir, langkah Lita terhenti sejenak. Ia melewati area promosi sebuah produk susu bayi. Tampaknya produsen susu kaleng ini sedang menyelenggarakan lomba bayi sehat. Hatinya tersihir demi mendengar celoteh beberapa bayi. Tangisan beberapa bayi seperti suara lagu klasik yang menenangkan. Wajah-wajah polos itu seperti merekahnya Bunga Sakura di taman kota di Tokyo. Lita mengenali salah satu ibu peserta. Buru-buru Lita melangkahkan kaki lebar-lebar.
“Mbak Lita!”
“Oh, hai Rika.” sahut Lita terpaksa menghentikan langkahnya, karena wanita berkerudung ini mendekatinya.
“Wah, habis belanja ya mbak. Aku sedang menunggu pengumuman lomba bayi sehat nih” Rika berbicara tanpa bisa dihentikan.
“Hmmm gitu ya, maaf aku buru-buru …”
“Waktu itu mbak Lita kok tidak kelihatan kontrol ke dokter Azen lagi?” Rika bertanya tanpa mempedulikan ucapan Lita.
“Aku keguguran. Setelah kontrol dokter aku belanja di sini, pulangnya badanku panas. Ternyata aku kena cacar air.” kata Rita dengan suara tegas dan tatapan tajam ke arah Rika.
“Maaf mbak aku tidak tahu, berarti ini sudah yang ketiga kalinya ya?”
“Rika aku harus pulang.” Lita berlalu tanpa senyum di bibir.

Setelah nama Pak Gatot, supir Lita dipanggil oleh petugas car call, Lita merasa ingin segera terbang dari tempat ini. Ia sempat menengok ke belakang memastikan Rika tidak mengikutinya. Ia menganggap Rika seperti petugas satpam. Petugas satpam yang memergoki pelanggan sedang mengutil barang di supermarket.

Pak Gatot yang mengendarai mobil sedan hitam, akhirnya muncul di lobi.
“Wah lebih banyak dari kemarin, mau ada acara apa Bu?” tanya Pak Gatot sambil memasukkan satu demi satu tas-tas belanja.
“Sudah, tidak usah banyak tanya, kita langsung pulang saja” jawab Lita dengan muka masam. Pak Gatot hanya tersenyum mengangguk. Supir keluarga yang setia ini merasa heran. Dengan jumlah kantong belanja yang sangat fantastis jumlahnya, seharusnya Bu Lita menjadi orang yang paling bahagia sedunia. Seharusnya orang yang memiliki kemampuan belanja seperti majikannya ini, selalu tersenyum dan menyapa ramah setiap orang.

Mobil memasuki halaman rumah yang luas. Lita terkejut ternyata mobil SUV berwarna putih sudah terparkir di halaman.
“Kantong belanja ini mau disimpan di tempat biasa bu?” tanya Mbak Sum.
“Iya seperti biasa dan seperti biasa juga jangan bilang Pak Wei” jawab Lita sambil melangkahkan kaki ke rumah.

“Hai Wei, kok sudah pulang?”
“Iya, ternyata urusan di kantor imigrasi cepat selesai.” jawab Wei tanpa melihat ke arah Lita. Wei sibuk dengan iPad yang digenggam sambil tiduran di sofa.
“Berarti bisa makan malam di rumah ya?”
“Sepertinya tidak bisa, aku harus mengantar Angela.”
“Memangnya Angela kenapa mesti diantar?” tanya Lita heran. Tidak pernah Wei sebegitu perhatian dengan adik bungsunya ini.
“Aku harus mengantar dia ke dokter kandungan. Andre tidak bisa mengantar ke dokter, dia sedang ada urusan kantor di Hong Kong.” Wei menjelaskan tetap dengan posisi tiduran di sofa.
“Oh Angela hamil? Aku baru tahu tuh.” Lita terpana. Tidak cukupkah hari ini mendengar sesuatu yang berhubungan dengan bayi?
“Bukannya aku udah pernah bilang padamu?” tanya Wei pelan, seakan-akan berbicara sendiri.
“Oh iya, aku tadi beli baju baru buat pesta Imlek minggu depan di rumah mama.” Lita tersenyum sambil duduk disisi Wei.
“Oh ya? nanti saja aku lihatnya. Aku mesti siap-siap mengantar Angela nih.”

Lita segera beranjak dari sofa. Ia naik ke lantai atas. Wei tak sedikitpun bergerak atau setidaknya menoleh ke arah Lita. Lita masuk ke ruang tidur bernuansa serba putih. Ia mematut baju berwarna krem. Ia merasa ini warna yang paling cocok untuk kulit yang berwarna gelap. Dulu Wei sangat mengagumi kehalusan dan keeksotisan kulitnya. Tapi setelah pernikahan yang berjalan hampir 8 tahun, Lita merasa perhatian Wei sangat berkurang.

Lita menuju ke kamar sebelah. Ia membuka lemari baju berwarna coklat kayu dengan kunci. Di dalamnya terdapat banyak tas, baju, sepatu dari merek-merek busana terkenal. Sebagian bahkan belum keluar dari bungkusnya. Menumpuk, berjajar rapi seperti barisan barang-barang yang dipajang di rak supermarket. Memandangi mereka membuat Lita tersenyum. Setelah menutup lemari, ia menarik napas dalam sambil memejamkan mata. Pijakan di bumi serasa runtuh. Air mata tak kuasa membanjiri pipinya. Hari ini semua impiannya terlihat nyata. Tapi ia merasa seperti dalam adegan lambat. Sangat lambat, sehingga ia tidak kuasa menggerakkan semua tubuhnya. Ia tidak memiliki kekuatan untuk menggapai impian itu. Lita hanya bisa memandang impiannya diperankan orang lain. Semua orang telah mencuri impian terbesarnya. Bayi yang Wei dan Lita harapkan tak pernah hadir. Usaha mereka selama 8 tahun ini belum juga membuahkan hasil.

Bunyi “bip” dari telepon genggam. Diambilnya benda itu dari sakunya.
‘Diskon 30% untuk pemakaian kartu kredit di outlet …’
Lita segera menghubungi Pak Gatot.
“Pak, jam 11 pagi antar saya ke mall ya”

Comments (1)

September 28, 2012

Pelarian yang menyenangkan 😀
Nice story, Mak 🙂


    Leave your comment :

  • Name:
  • Email:
  • URL:
  • Comment: