Saya Ibu Menyusui dan Saya Tidak Merayakan World Breastfeeding Week

By admin on August 07, 2015

Hari ini adalah hari terakhir World Breastfeeding Week atau Minggu Menyusui Sedunia. Meskipun saya sudah menyusui anak saya selama 14 bulan, saya memilih tidak merayakannya. Saya bahkan tidak menyebut satu kali pun “perayaan” ini di akun social media atau blog saya.Karena buat saya, hal ini hanya memicu kebanggaan berlebihan dari ibu yang sukses memberi ASI untuk anak-anaknya dan membuat gunung rasa bersalah bagi ibu yang tidak memberi ASI pada anak-anaknya.

Pertama, bagi sebagian orang memberi ASI adalah perjuangan yang luar biasa. Perjuangan ini levelnya berbeda-beda.

Ada yang merasa perjuangan adalah begadang semalaman untuk menyusui. Ada yang merasa perjuangan adalah puting digigit berulang kali sampai berdarah-darah. Ada yang harus makan sayur setiap hari baru ASI bisa deras keluar. Ada yang harus minum susu setiap hari. Ada yang shopping setiap hari.

Segala perjuangan itu rasanya harus dibayar dengan merayakannya di World Breasfeeding Week. Dengan men-download sertifikat lulus ASI dan meng-upload-nya di social media. Dengan meng-upload satu freezer penuh ASI perah.

Ada ibu (seperti saya contohnya), saya tidak perlu makan banyak, tidak perlu shopping, tidak perlu minum susu atau suplemen apapun, ASI saya deras. Anak saya, saya kasih dot tapi di usia 6 bulan menolak sendiri. Menolak dot dan langsung mau minum pakai gelas. Tanpa ada drama bingung puting. Tanpa ada drama ASI tidak keluar, malah menetes-netes sendiri. Tanpa ada drama berat badan anak kurang.

Ibu-ibu seperti saya ini yang biasanya men-judge ibu-ibu yang tidak bisa memberi ASI. Komentarnya selalu “pasti bisa kok”, “ASI kan natural jadi pasti bisa kok”, “jangan dikasih dot makanya anaknya”, “ke konselor ASI dong makanya”, “pompa terus dong, susui terus”, “kurang rajin pompa mungkin ibunya (judge untuk ibu bekerja)”, dan lain sebagainya.

Padahal ibu yang di-judge itu sudah jumpalitan tiap hari makan katuk, makan sayur, minum suplemen, ke konselor ASI, nggak ngasih anaknya dot, sampai berhenti kerja, segala rupa usaha dan upaya dilakukan, ASI nya tetap nggak keluar. Ada yang seperti itu.

Secara biologis ya memang ASI itu natural. Tapi ada faktor-faktor pemicu lain yang membuat seorang ibu gagal memberi ASI. Seperti support system dan kondisi psikologis.

Support system yang baik di mana suami mendukung pemberian ASI, orangtua dan mertua mendukung pemberian ASI, kantor yang menyediakan ruang pompa ASI, komunitas yang merangkul dan memberi semangat untuk tetap memberi ASI.

Sementara faktor kondisi psikologis ini cukup tricky. Di satu sisi ibu harus bahagia agar ASI mengalir deras, tapi di sisi lain saat ASI nya berkurang, ibu langsung merasa down, stres, susah untuk bahagia. Padahal stres membuat ASI semakin berkurang.

Menurut saya foto sertifikat dan jumlah stok ASI perah hanya akan menimbulkan kecemburuan sosial dan membuat ibu yang “gagal” menyusui semakin stres, semakin tidak bisa memberi ASI. Dan yang diberi sertifikat adalah bayinya. Make sense kah? Kalaupun ada yang harus diberi sertifikat, adalah ayah ibunya, nenek kakeknya, karena telah sukses memberi dan menciptakan lingkuran yang pro pemberian ASI.

Untuk yang senang upload foto kulkas berisi ratusan botol ASI perah, tahukah ada kondisi bernama hiperlaktasi di mana seorang ibu berlebihan memproduksi ASI? Ibu hiperlaktasi ini biasanya punya cadangan ASI perah berkulkas-kulkas karena ASI yang dia produksi lebih banyak dari yang dibutuhkan bayi.

Namun lantas ibu hiperlaktasi ini tidak tahu kalau dirinya hiperlaktasi dan berusaha meyakinkan agar semua orang bisa memproduksi jumlah ASI yang sama dengan dirinya. Kalau saya bisa, semua ibu pasti bisa dong. Tentu tidak seperti itu. Karena jumlah ASI terbaik adalah sejumlah yang dibutuhkan bayi.

Kedua, menurut saya ASI itu rezeki. Kalau rezeki tentu tidak sama bagi setiap orang dong.

Sejak hamil, saya sendiri selalu menanamkan pola pikir rezeki ini. Bahwa saya akan bersyukur sekali kalau Tuhan melancarkan rezeki saya melalui ASI. Kalau pun ASI saya tidak keluar, saya berdoa agar diberi rezeki dalam bentuk lain karena susu formula kan mahal. Hasilnya ASI saya lancar keluar. Saya yakin itu semua karena saya ikhlas, sehingga saya santai menjalani proses menyusui dan pumping sehingga tidak ada tekanan apapun. Karena kalau pun ASI saya tidak lancar, masa mau menyalahkan Tuhan kan?

Jadi memberi ASI ada yang memang sukses tanpa usaha, tapi ada juga yang gagal padahal sudah berusaha. Sangat tidak adil jika seorang ibu di-judge “tidak memberi yang terbaik” untuk anaknya karena gagal memberi ASI. Ibu yang waras pasti memberi yang terbaik untuk anaknya. Dalam bentuk apapun.

Ayo kampanye ASI, bahwa ASI makanan terbaik bagi bayi karena murah dan mudah. Karena membuat bayi lebih sering berada di pelukan ibunya. Kampanyekan pada para ayah untuk  membuat ibu selalu bahagia. Kampanyekan pada para nenek dan kakek bahwa ASI lebih baik dari susu formula.

Kampanyekan bahwa menyusui bukan hal memalukan dan BISA dilakukan di tempat umum tanpa harus malu. Kampanyekan ketersediaan ruang menyusui di tempat umum. Kampanyekan ruang menyusui di bis dan kereta api. Ayo bentuk sistem yang mendukung para ibu untuk bisa memberi ASI.

Bukan berkampanye dalam bentuk perayaan ramai-ramai mengunggah foto sertifikat dan jumlah ASI perah. Yang membuat ibu-ibu lain semakin tertekan secara psikologis dan semakin sulit memberi ASI.

Disclaimer: Tulisan ini adalah sepenuhnya opini dan pandangan penulis dan tidak mewakili opini KEB secara komunitas/keseluruhan.
*
Annisa Steviani | www.annisast.com

“Dengan ini KEB meminta maaf kepada banyak pihak yang merasa tersinggung atau tidak nyaman dengan tulisan ini. Beberapa kata dalam tulisan ini sudah diedit. Menanggapi beberapa komentar tentang sponsor, tulisan ini sama sekali tidak disponsori pihak mana pun dan bukan merupakan advertorial. Terima kasih.” — Makmin KEB