Review Buku Still Alice

By admin on November 20, 2015

Hai, Mak, Alhamdulillah sudah hari Jumat lagi ya. Ada yang sudah tidak sabar menunggu wikenkah? Jika Emak belum memiliki acara apa pun wiken besok, membaca buku selalu bisa dijadikan salah satu pilihan menikmati hari libur. Nah, mungkin novel Still Alice ini bisa juga dipilih untuk menemani akhir pekan, sudah difilmkan dengan aktris Julianne Moore sebagai Alice lho.

***

Data Buku

Judul Buku : Still Alice
Penulis : Lisa Genova
Penerbit : Esensi (Erlangga Group)
Terbit : September 2015
Tebal : 300 halaman
ISBN : 308-813-033-0

 

Jalan Cerita Still Alice

Alice Howland, seorang profesor piskologi di Harvard yang merupakan ahli linguistik yang mumpuni, tidak bisa percaya begitu saja saat dokter syaraf memvonisnya terkena serangan dini Alzheimer.

Keanehan berawal sejak September 2003, saat Alice mengunjungi putri bungsunya Lydia di Los Angeles dan menginformasikan jadwal penerbangan yang salah. Kemudian rasa cemburu dan emosi yang tidak terkendali terhadap suaminya, John, Alice menganggap gejala-gejala itu mengacu pada menopause karena usianya yang 50 tahun.

Tapi setelah serangkaian tes yang dijalani Alice, tes neuropsikologi, MRI, bahkan sumsum tulang belakang, seluruh hasilnya membuat Dr. Davis yakin, bahwa yang sedang dialami Alice bukan sekadar gejala menopause atau depresi karena pekerjaan, melainkan serangan dini Alzheimer yang progressif. Berita buruk itu diterima Alice pada Januari 2004 (halaman 68-90).

Anna, putri sulungnya yang sedang berencana hamil, rupanya juga mewarisi presenilin-1 ibunya, yang artinya dia (dan juga anak-anak yang akan dilahirkannya) beresiko akan terkena Alzheimer. Tapi untungnya, dia berencana memulai program bayi tabung, dan diagnosis genetik praimplantasi pada embrio-embrio, mencegah presenilin-1 itu diwariskan, anak-anaknya tidak akan sakit. Hal ini tentu saja membuat Alice sedikit gembira, karena setidaknya dia tidak akan menyakiti cucu-cucunya yang pasti akan tidak bisa dia ingat.

 

Jangan Sepelekan Alzheimer

Penyakit itu betul-betul mengerikan. Alice tersesat di rumahnya sendiri hingga kencing di celana karena tak dapat menemukan di mana toilet. Dia tak bisa lagi mengajar di kelas padahal dia sudah menjadi dosen selama 25 tahun untuk mata kuliah tersebut. Lupa resep puding yang sudah dibuatnya sejak kecil. Meletakkan novel yang sedang dibacanya di dalam microwave. Bahkan saat menonton pertunjukan drama, Alice tidak tahu bahwa tokoh Catherine di dalam cerita adalah Lydia putri bungsunya (halaman 175-176).

September 2004, kinerja Alice Howland semakin menurun. Akhirnya dia benar-benar berhenti mengajar, tidak lagi menulis proposal riset ataupun melakukan riset yang sudah disetujui, tidak lagi menghadiri konferensi atau memberi ceramah. Alice merasa bagian terbesar dirinya, bagian yang ia banggakan dan selalu ia asah, telah mati (halaman 189). Tapi Alice adalah perempuan cerdas, dia tahu itu. Dia ingin melakukan sesuatu sebelum dia benar-benar ‘kehilangan’ dirinya sendiri.

 

Perjuangan belum berakhir

Alice Howland ingin membuat kelompok dukungan untuk orang-orang yang mengidap Alzheimer seperti dirinya, orang-orang yang akan mengerti dengan baik bagaimana rasanya hidup di dunia asing yang tak lagi dikenali, tapi masih memeliki energi dan fisik yang cukup bugar karena mereka memang belum terlalu tua. Terkumpullah 3 orang penderita serangan dini Alzheimer itu, mereka datang ke rumah Alice dan saling bercerita, lantas langsung menganggap satu sama lain sebagai keluarga.

Maret 2005, Alice Howland berbicara di depan hadirin Konferensi Peduli Demensia. Sebagai pengajar dan profesor, Alice tentu saja sudah terbiasa memberikan pidato atau presentasi, tapi sebagai penderita Alzheimer, dia bisa saja kehilangan kata-kata dan bahkan lupa cara membaca sebuah istilah. Tapi presentasi itu berhasil. Meskipun Alice tahu, kelak dia bisa saja tidak ingat pencapaiannya yang luar biasa itu.

“Hari-hari kemarin saya sudah menghilang dan hari-hari esok saya tidak pasti, jadi untuk apa saya hidup? Saya hidup untuk setiap harinya. Saya menikmati setiap waktu yang berlalu. Tak lama lagi di masa depan, saya akan lupa bahwa saya berdiri di hadapan Anda dan menyampaikan pidato. Tapi, hanya karena saya akan melupakannya kelak, tidak berarti bahwa saya tidak menikmati setiap detiknya hari ini. Saya akan melupakan hari ini, tapi tidak berarti bahwa hari ini tidak berarti.” (halaman 259)

Musim panas 2005, John menangis saat membaca artikel koran yang menyatakan percobaan Amylix yang dijalani istrinya berbulan-bulan lalu itu dinyatakan gagal. Obat itu tidak memperbaiki fungsi kognitif yang terus menurun pada penderita Alzheimer seperti yang diharapkan.

Mungkinkah Alice tetap bahagia? Bagaimana dengan John suaminya, dan ketiga anaknya? Benarkah cucu kembar Alice tidak mewarisi gen Alzheimernya? Apakah Alice merasa tetap disayangi meskipun kerap kali dia tidak tahu siapa mereka?

Sila baca sendiri novelnya ya, Mak 🙂

Comments (2)

November 20, 2015

ah. filmnya juga bikin terharu deh mak.
baguuuuss


November 20, 2015

malah belom nonton filmnya nih Mak, hiks. Pasti sedih bgt ya 🙂


    Leave your comment :

  • Name:
  • Email:
  • URL:
  • Comment: