Belajar Cinta di Kampus Pernikahan

By admin on January 26, 2018

Proses belajar tidak memiliki akhir, itu prinsip yang saya pegang sehari-hari. Ketika kita lulus sekolah, kita belajar jadi anak kuliahan. Ketika kita lulus kuliah, kita belajar jadi karyawan/entrepreneur.  Saat menikah pun, kita belajar jadi partner. Begitu pun dengan yang sedang saya jalani sekarang, belajar cinta di kampus pernikahan.

Meski kami sudah berpacaran selama 5,5 tahun, sebelum menikah di bulan September 2017 lalu, saya dan partner tidak pernah berhenti berproses. Tidak juga membuat kami luput dari pertengkaran-pertengkaran kecil yang sepele. Meski usia pernikahan masih muda, setidaknya ada lima hal berharga yang bisa saya petik dari perkuliahan cinta di kampus pernikahan yang jumlah SKS-nya tidak terbatas ini. Saya rasa, hal-hal ini bisa dijadikan bekal dalam berlayar bersama partner, atau pun bagi yang masih menunggu kapalnya.

Bumbu Pernikahan

  1. Bersama untuk optimis, bukan jadi pesimis.

Meski pernikahan adalah ‘milik’ bersama, kita sebagai individu mungkin masih punya cita-cita, mimpi, dan harapan yang ingin dicapai setelah status tak single lagi. Saya pribadi tidak bisa membayangkan hidup selamanya bersama orang yang meragukan mimpi partnernya, atau tidak percaya dengan kemampuan partnernya.

Orang yang ketika mendengarkan partnernya bicara ambisi, malah bereaksi negatif ketimbang menunjukkan rasa antusias dengan mata yang berbinar-binar. Pasti kita langsung sedih, deh. Realistis itu perlu, tapi optimis itu harus. Bagi saya, partner adalah orang pertama yang harus mendukung langkah-langkah kita. Tentunya, diiringi dengan diskusi yang saling menyenangkan kedua pihak.

  1. Tidak tidur dalam keadaan marah.

Zaman kuliah, saya kerap melihat postingan-postingan orang semacam, “Duh, capek banget skripsian, pengen nikah aja”, seolah-olah menikah akan menyelesaikan segala problema hidup. Saya sendiri percaya bahwa menikah bukanlah happy ending, melainkan melanjutkan hidup bersama orang yang tepat. Dan meski kita sudah bersama orang yang tepat menurut kita, bukan berarti semuanya akan cocok. Saya rasa tidak ada pasangan di dunia ini yang benar-benar cocok, karena kita tetap dua kepala yang berbeda. Karenanya, perdebatan akan selalu hadir.

Namun, berbeda dengan bertengkar saat pacaran yang bisa memutuskan untuk tidak ketemuan dulu beberapa waktu, pertengkaran saat menikah harus segera diselesaikan sebelum waktu tidur. Buat saya, hal ini adalah ‘temuan baru’ yang langsung menjadi penting ketika menikah. Apalagi, jika kita ingin bangun dengan perasaan bahagia.

  1. Jangan cintai partner apa adanya.

Ada yang bilang, kita harus terima partner kita apa adanya karena itu tandanya kita benar-benar menyayangi dia. Tapi, kalau kata Tulus, tuntutlah sesuatu biar kita jalan ke depan. Mungkin kesannya kata ‘menuntut’ itu negatif, ya? Padahal tidak juga.

Konsep pernikahan adalah melanjutkan hidup, saya justru maunya bisa tumbuh bareng dengan versi terbaik diri kita. Saya maunya dituntut dan dikasih tahu jika saya melakukan hal yang tidak benar. Meski kita punya kepribadian dan karakter masing-masing,  bukan berarti kita begitu saja memamerkan kekurangan-kekurangan kita tanpa ada kemauan untuk berkembang ke arah yang lebih baik.

  1. Your partner is your idol.

Salah satu cara untuk bersenang-senang dengan partner adalah dengan menjadikannya idola. Biasanya, seorang fans punya mimpi untuk bisa menjadi seperti idola, atau bahkan lebih. Sama dengan ini. Dengan saling mengidolakan, jiwa kompetitif kita untuk bisa memberikan yang terbaik menjadi muncul. Saya sendiri terinspirasi oleh ketelatenan dan ketekunan partner saya ketika mengerjakan sesuatu, sedangkan partner saya kagum dengan kesimpelan dan kemandirian saya.

  1. Tidak ada teori yang paling tepat dalam pernikahan.

Poin ini adalah poin yang paling penting bagi saya. Sebelum menikah, saya kerap memberikan nasihat sok tahu saya ketika ada teman yang sedang curhat tentang lika-liku rumah tangganya. Setelah menikah, saya jadi tahu kalau mereka hanya perlu didengar aja, kok, sama seperti saya. Keluarga kita adalah aturan kita.

Meski kita dan teman kita sama-sama berada di bawah payung pernikahan, cara kita menjalaninya adalah pilihan kita. Mungkin di sekitar kita ada yang memutuskan tinggal dengan orang tua atau mertua, bekerja saat hamil, menunda punya anak, tidak ingin punya anak, menjadi wanita karir, melahirkan sesar, menjadi bapak rumah tangga, selalu beli makan di luar alias malas masak, dan sebagainya. It’s fine. Kita yang punya cara berbeda dengan mereka tidak punya hak untuk menghakimi. Begitu juga sebaliknya. Semua punya gaya, semua punya kenyamanan yang telah didiskusikan dengan partner masing-masing. Kita tidak ada urusan dengan kesepakatan mereka. Setuju, nggak?

Memasuki gerbang pernikahan buat saya adalah satu keyakinan kuat bahwa berdua lebih baik daripada sendiri. Itu artinya, berproses menjadi individu yang lebih baik dari hari ke hari dari segi apapun, saling mendekatkan cita-cita, dan bermanfaat bagi orang-orang tersayang di sekitar kami.  Pastinya, daripada seperti Yamaha Racing Coaster Trans Studio yang melaju cepat namun mundur lagi, saya lebih memilih Istana Boneka Dufan yang jalannya pelan-pelan tapi maju terus.

 

***

Blogpost Belajar Cinta di Kampus Pernikahan, kiriman dari Gisantia Bestari

Twitter: @gisantia

Comments (1)

January 27, 2018

padahal sering bgt denger istilah cintai aku apa adanya tp sebenernya salah ya


    Leave your comment :

  • Name:
  • Email:
  • URL:
  • Comment: