Oleh: mak Mugniar
Workshop kedua ini pengupasannya lebih mendalam. Saya kembali mewakili KEB dalam workshop ini. Judulnya worksop Analisis Media untuk komunitas perempuan. Keren ya.
Berlangsung tanggal 18 – 19 Januari 2014, di sebuah hotel di Makassar. Tema yang diusung pun keren sekali kedegarannya: TELAAH KRITIS ISU PEREMPUAN DI MEDIA. Lalu bagaimana isinya? Wow deh, teman-teman. Keren abis.
Jadi ceritanya, 78% pemegang keuangan keluarga adalah emak-emak. Makanya wajar bila di media mana pun, perempuan dijadikan target. Lalu yang kemudian menjadi persoalan adalah, bagaimana sesungguhnya media menempatkan perempuan?
Well, mari kita pelototi data mengenai isu perempuan dalam media ini:
- Masih banyak berisi kekerasan seksual
- 1/3 dari 295.836 kasus adalah kekerasan terhadap perempuan (tahun 2000)
- Setiap hari ada 28 korban kekerasan seksual
Miris ya?
Belum lagi hal-hal ini yang kerap diekspos media: diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan terkait politisasi identitas, diskriminasi perempuan pekerja migran, dan eksploitasi yang menempatkan perempuan sebagai obyek.
Seharusnya media melakukan prinsip check and balance atas konten dari suatu tayangan atau berita yang berobyek perempuan. Tetapi pada kenyataannya tak semua menjalankannya.
Misalnya saja pada berita tentang kasus perkosaan, yang sering dimintai keterangan dan dimasukkan ke media adalah polisi sementara keterangan dari pihak korban tidak dimuat. Yah, bisa saja karena memang sang korban belum bisa dimintai keterangannya tetapi jadinya kan pemberitaan tak seimbang. Maka diharapkan perempuan untuk bisa kritis dalam memaknai pemberitaan terkait isu gender di media.
Pelatihan ini membuka wawasan para peserta mengenai macam-macam berita yang ternyata masih banyak yang tidak “berpihak” terhadap perempuan sementara banyak korban pemberitaan yang tak dapat membela diri.
Satu lagi contoh ketakberpihakan media pada perempuan adalah sebuah berita yang pernah diturunkan oleh sebuah media selama beberapa hari berturut-turut.
Yaitu mengenai perempuan bercadar yang dengan sekonyong-konyong dituduh sebagai teroris tanpa bukti. Selama beberapa hari perempuan bercadar dan berjilbab panjang itu dijelek-jelekkan hanya karena pakaiannya sering diidentikkan sebagai “warna teroris”, dilengakapi pula dengan ilustrasi yang tak ada hubungannya dengan kejadian yang diceritakan. Padahal pada akhirnya, pemeriksaan polisi membuktikan ia merupakan perempuan baik-baik yang hendak mendaftar program pasca sarjana di sebuah universitas negeri.
Sayangnya, korban tak melaporkan pencemaran nama baik yang diterimanya kepada Dewan Pers, juga tak menggunakan hak jawabnya. Padahal bila ia melaporkannya, wartawan, editor, dan media dari berita-berita asal-asalan itu bisa dikenai sanksi berat.
Perlunya pelatihan ini bukan untuk semata-mata menuntut kesetaraan yang berlebihan sehingga perempuan dapat melebihi laki-laki. Melainkan dimaksudkan agar perempuan bisa kritis dalam menelaah media. Beberapa metode analisis media diperkenalkan kepada para peserta. Ada yang namanya Analisis Isi, Analisis Framing, dan Analisis Wacana.
Bersyukur menjadi bagian dari Kumpulan Emak-Emak Blogger, di mana banyak di antaranya yang sudah terlihat kritis dalam menulis di blog masing-masing. Semoga emak-emak semua senantiasa menuliskan hal-hal yang bermanfaat untuk kebaikan bersama dan makin kritis dalam menanggapi media. Tetap ngeblog ya Mak, sampai selama mungkin yang kalian sanggupi.
Menjadi seorang perempuan dan emak, memang diharapkan kritis dlm melihat, mendengar suatu berita ataupun cerita.