Literasi Media bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

By Efi Fitriyyah on March 23, 2017

Jika berbicara  tentang media dan literasi media,  televisi dan internet adalah dua hal yang paling akrab dalam keseharian kita.  Selain itu,  tentu saja masih ada radio dan koran. Walaupun sepertinya sudah berkurang sekali interaksi terhadap dua media ini.

Yang bikin saya surprise ketika menghadiri workshop  Literasi Media bersama Kementrian Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan anak (KPP-PA) pada tanggal 13-14 Maret 2017 kemarin, ternyata media televisi masih punya penetrasi lebih tinggi daripada internet, lho.

 

Televisi: Penetrasi Literasi Media Nomor Satu

Seriusan ini. Bagi kita yang tinggal di perkotaan,  posisi televisi sudah banyak tergantikan oleh hiburan dari internet  lewat  Youtube atau streaming.

Namun pada kenyataannya penetrasi televisi masih di posisi satu. Merujuk pada hasil survey yang dilakukan oleh AC Nielsen pada tahun 2016, televisi mempunyai pengaruh penetrasi paling besar,  yaitu 96%. Lalu  disusul oleh internet ( 40%), radio  (38%)  dan koran (8% ).

Kalau dipikir-pikir, hasil ini bisa dipahami karena ternyata  belum semua orang terutama di pelosok bisa mengakses internet sebagai media informasi dan hiburan.  Sementara akses televisi di masyarakat perkotaan lebih mudah dan murah daripada internet yang membutuhkan  biaya berupa kuota internet.

 

Peranan KPI Dalam Mengontrol Mutu Tayangan TV

Dalam sesi pertama yang dipaparkan oleh Dewi Setyarini, M.Si (Komisioner KPI Pusat) sedikit banyak saya mendapat pencerahan tentang lika-liku  media yang melibatkan berbagai aspek seperti regulasi, kualitas penyajian program hingga partisipasi aktif masyarakat untuk mengontrol mutu tayangan televisi.  Termasuk di dalamnya tayangan-tayangan yang menyentuh dengan persoalan perempuan dan anak.

Literasi Media bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Beberapa tayangan televisi yang menampilkan kekerasan verbal atau fisik yang menjurus pada pelecehan atau adegan-adegan yang tidak layak tonton, semakin mendapat perhatian masyarakat untuk dievaluasi.

Sayangnya  untuk acara-acara yang sempat diprotes tidak bisa dihentikan selamanya. Ini dikarenakan tidak ada regulasi yang  memfasilitasinya. KPI tidak punya hak untuk menghentikannya.  Jadi, enggak  heran juga kalau misalnya acara X kembali hadir dengan format yang sama atau dikemas lagi dengan nama yang sedikit berbeda. Mungkin emak semua tahu atau ngeh ya, acara apa saja yang dimaksud.

Anyway, sesungguhnya fungsi media penyiaran bukan hanya sebagai sarana hiburan dan informasi saja.  Media juga bisa menjadi saluran untuk pendidikan, perekat sosial, pendorong ekonomi dan mempromosikan kebudayaan baik lokal maupun nasional.

 

Indeks Standar Kualitas Program Siaran Televisi

Lewat survei indeks kualitas Program Siaran Televisi, KPI sudah menetapkan indeks standar kualitas program siaran televisi  mulai dari skala 1  sampai 5.

Dari beberapa jenis program siaran televisi, tayangan yang justru  mengandung konten positif, seperti wisata budaya atau religi yang berkualitas baik memiliki indeks penonton yang rendah. Sedangkan tayangan TV seperti acara gosip/infotainment dan sinetron malah mempunyai indeks penonton lebih tinggi.

Hmmm…  kalau sudah soal selera susah, rasanya gimana gitu. Susah memaksa orang untuk mengubah selera. Namun bukan berarti  kita jadi diam atau mengikuti arus.  Ini jadi tantangan bagi kreator  acara bagaimana membuat program  atau tayangan yang bisa menarik minat masyarakat.

 

Partisipasi Masyarakat Meningkat

Terlepas dari selera itu tadi, partisipasi aktif masyarakat soal kualitas program siaran televisi juga mengalami perbaikan lho. Selama tahun 2016,  KPI sudah menghimpun aduan dari masyarakat sebanyak 11.366. Konten sinetron/seri menempati posisi pertama dengan jumlah pengaduan sebanyak  3.832, disusul oleh berita di tempat kedua (3.602 kasus), serta  iklan sebanyak 890 pengaduan di tempat ketiga.

Dari partisipasi pengaduan masyarakat ini KPI pun melakukan pembinaan dan pengenaan sanksi baik berupa peringatan tertulis, teguran tertulis, imbauan, penghentian sementara dan pengurangan durasi. Di lain sisi, pihak penyelenggara pun diberi kesempatan untuk melakukan klarifikasi dan mediasi bila mendapat  pengaduan terkait acara yang disajikan.

Pemahaman literasi media  ini penting sekali  bagi masyarakat umum  seperti kita agar lebih melek untuk memahami  bagaimana seharusnya media beroperasi dengan benar termasuk juga menyikapi dan memihak isi media yang benar.   Apalagi saat ini seperti yang kita tahu yang namanya hoax atau berita bohong mudah sekali beredar dalam hitungan detik.

 

Rating dan Sensor Film

Setelah membahas literasi media  yang fokus pada tayangan tv,  selanjutnya saya bersama peserta workshop mengikuti paparan  tentang literasi media bersama  C. Musiana Yudhaswasthi dari Lembaga Sensor Film (LSF).

Saya yang sejak beberapa saat ini  mulai  lebih banyak meluangkan waktu untuk mengikuti perkembangan film (lokal atau asing), tentu saja tertarik dong.

 

Tak Banyak yang Mau Mengindahkan Rating

Beberapa waktu yang lalu ketika menonton di sebuah bioskop, saya sempat sebal juga ketika melihat orang tua yang mengajak anak-anaknya untuk menonton film yang jelas-jelas sudah dilabeli 13 tahun ke atas. Dari penampakan fisik si anak saja sudah kelihatan kok kalau mereka belum layak untuk menonton. Ada adegan-adegan kekerasan, lelucon yang bisa memancing penasaran anak, atau  hal-hal lainnya belum bisa dicerna dan pastinya ga layak buat ditonton mereka.

Sama halnya dengan tayangan televisi, sebenarnya untuk film pun harus ada ratingnya. Amerika yang identik dengan kebebasan juga menerapkan aturan  rating. Ga blas gitu.

Dan ngomongin soal batasan umur untuk  menonton film, standarnya Indonesia dan Amerika ternyata tidak plek ketiplek sama, lho. Misalnya  saja film  produksi Hollywood yang dilabeli 13+ jika ditayangkan di Indonesia kriterianya sama dengan film yang dilabel 17 tahun ke atas.

 

Proses Sensor oleh LSF

Film-film yang akan ditayangkan di bioskop harus masuk LSF  lebih dulu yang nantinya akan mendapat label tertentu sesuai segmen usia penonton atau sama sekali tidak mendapat izin beredar di bioskop.

Ngeri juga saya pas tahu alasan beberapa film indie dari luar negeri tidak mendapat izin tayang di sini. Kami sempat menyaksikan tayangan film yang tidak lolos sensor karena isinya sangat vulgar. Kalaupun mendapat izin untuk beredar  akan dipangkas di sana sini dan mengaburkan alur cerita secara keseluruhan.

LSF pun tidak hanya menyensor film yang akan diputar di bioskop saja, Mak. Ketika satu film diajukan untuk tayang di televisi, tetep kok harus mengikuti alur seleksi di LSF.  Kalau ada film yang kontennya dewasa sangat dominan banget misalnya, LSF tidak akan meloloskannya agar bisa ditayangkan oleh stasiun TV.

 

Tak Hanya KPI dan LSF yang Harus Berperan Aktif

Di luar peran aktif LSF televisi, sebagai orang tua pun kita tetap perlu melakukan seleksi secara aktif. Melibatkan anak dalam memilih tayangan film, baik di TV, bioskop atau internet  juga jadi cara untuk melindungi anak dari pengaruh yang tidak kita inginkan.

Alih-alih melarang tanpa alasan kita bisa melakukan cara lain agar anak merasa nyaman dan terbuka pada orang tua. Misalnya saja membuat kesepakatan bersama, tidak menunjukkan ekspresi terkejut berlebihan ketika anak bercerita. Kita juga harus menghargai privasi anak, misalnya mengetuk pintu kamar  atau meminta izin membuka HP miliknya.

Transisi literasi media dari analog ke digital memang tidak bisa kita cegah, yang harus kita lakukan adalah beradaptasi dengan perubahan itu, dan cerdas menyiasatinya.

KPI atau LSF hanya membantu saja, selebihnya peran kita sebagai masyarakat masih tetap diperlukan.

 

Literasi Media bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

 

Comments (2)

March 29, 2017

Ya betul mak kita tak bisa menolak perkembangan teknologi, kita yang harus menyesyaikan diri dan bersiap sebaik mungkin


Trackback

    Leave your comment :

  • Name:
  • Email:
  • URL:
  • Comment: