Pengulas: mak Rina Susanti
Judul Buku : Little Stories (sebuah antologi)
Penulis : Rinrin Indrianie, Vera Mensana, Adeste Adipriyanti, Faye Yolody dan Rieke
Saraswati
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : Februari 2014
Hal : 255
ISBN : 978-602-03-0190-7
Cerita Kecil
Salah satu dari lima penulis ini, Rinrin Indrianie atau biasa di sapa dengan nama Orin, namanya tidak terlalu asing untuk para blogger penyuka atau penulis flas Fiction atau biasa disebut. Dari beberapa Flast Fiction Rinrin yang saya baca, FF orin sudah memiliki kekhasan tertentu, pandai membuat kejutan dan menendang dengan thema yang menggigit plus diksinya apik. Bisa dibialng itu salah satu alasan saya memburu buku ini begitu terbit selain sosok yang ada dibelakang layar buku Maggie Tiojakin, penulis yang karyanya menurut saya sejajar dengan penulis-penulis senior tanah air. Tapi kalau soal ini kembali pada soal selera ya. Saya menyukainya karena fiksinya bukan sekedar fiksi hiburan.
Kembali ke soal bukunya neng Orin. Berikut review saya
Tidak seperti kumpulan cerpen pada umumnya yang ditulis oleh lebih dari dua penulis, cerita satu sama lain biasanya diikat dalam satu tema. Kumpulan cerpen berjudul Little Stories ini terdiri dari 20 cerita dengan beragam tema dan walaupun tema cinta mendominasi, cerita cinta yang diangkat tidak hanya hubungan antara lelaki dan perempuan dewasa.
Salah satu kisah cinta yang menyentuh ada dalam cerita yang berjudul Berdua Saja. Kisah kasih dan sayang antara seorang anak dan ayahnya. Di mana seorang anak menolak secara halus keinginan ayahnya untuk menikah lagi.
“Aku lebih suka berdua saja,” kata Niko pelan.
Ahok tertegun. Mata sipitnya menelusuri wajah mungil yang menengah di depannya. Di gesernya naik gagang kacamata wajah Niko sembari menghela nafas (hal 223).
Ikatan cinta seorang anak dan bapaknya bisa juga di temui dalam cerpen Semangkuk Baso Tahu mengenai, kisah seorang anak yang ingin membahagiakan bapaknya dengan semangkuk baso tahu. Cerpen yang ditulis Orin.
“Nanti Ujang lihat dulu ya, Pak. Kalau jualan, Ujang beliin Bapak Bakso tahu.” Bapak tertawa hingga batuk berikutnya menghentikan kekehan itu.
“Nuhun nya, Jang. Mudah-mudahan weh si Mang Iyan jualan hari ini mah.”
“Iya, Pak.” Aku berdoa tulus, tetapi untuk alasan lain. Karena sebetulnya Mang Iyan tak penah tidak jualan. Karena sebetulnya bermangkuk-mangkuk bakso tahu selalu tersedia di warungnya. Karena sebetulnya aku yang memilih berbohong pada Bapak… (hal 65)
Cerita berjudul Brongkos Mertua adalah kisah yang mungkin banyak dialami pasangan muda perkotaan, cinta yang dibumbui dengan ‘perseteruan’ antara menantu dan mertua. Gelar tidak bisa dipisahkan dari bronkos maka kunjungan setiap dua minggu ke rumah Ibunya untuk menyantap bronkos adalah agenda wajib. Pada setiap kunjungan itu pula Ibu akan menyindir istri Gelar.
‘Wanita zaman sekarang lebih senang buang duit suami di mal ketimbang meracik bumbu di rumah. Mana mau tangannya tergores pisau, kebledosan minyak, matanya pedas ngupas bawang merah, atau kecocol cabe. Nggak gampang lhop cari calon menantu yang mumpuni di dapur.’ (hal 45).
Dengan alasan itu dan atas saran Gelar, akhirnya istrinya belajar membuat brongkos pada mertua dan itu bukan hal mudah terlebih ia tidak terbiasa di dapur. Dapur jadi semacam medan perang (hal 50 )Bisa dikatakan bukan ide cerita yang baru. Namun penulis berhasil membuatnya terasa beda karena penulisan tempat adegan cerita berlangsung cukup detail dan alur yang runut.
Cerita yang tak kalah menarik adalah cerita berjudul Gohu Buat Ina, ide ceritanya unik dan cerita tuntas dalam adegan percakapan yang mungkin kurang dari satu jam bertempat di dapur saat Ina dan Andine membuat Gohu. Tentang bagaimana Gohu – semacam rujak pepaya mengkal dengan bumbu bakasang (terasi khas menado) – membuat Ina bersuka cita memakannya karena ia tengah hamil muda, namun terasa pahit bagi Andine karena saat itu Gohu mengingatkan pada masa lalunya yang buram dan terasa keji.
Gohu Buat Ina adalah cerita yang paling saya suka, ‘sense’ nya kerasa banget, natural plus gaya penceritaannya yang unik alias jarang.
Kumpulan cerita ini ditulis lima penulis perempuan yang mungkin namanya masih asing untuk para penggemar fiksi, namun kebolehan mereka menulis bisa dilihat dari gaya penceritaan yang berbeda dari cerita-cerita metropop pada umumnya. Detail tempat yang dituliskan dengan baik, sudut pandang penceritaan baru dan ada beberapa cerpen dengan ide yang tidak biasa dalam ranah cerita pendek metropop tanah air. Seperti dalam cerita yang berjudul Nama Untuk Raka (hal 200) dan Pasien (228), namun masuk akal jika terjadi dalam kehidupan nyata.
Kalau biasanya fiksi yang dilabeli genre metropop mengisahkan cerita dengan latar belakang kelas menengah perkotaan maka dalam kumpulan cerpen ini merangkum banyak sisi kehidupan kota besar. Kisah perantauan yang hidup dalam rumah- rumah kontrakan berukuran 3×3, penggusuran lahan, demonstrasi, stres dan depresi yang seperti menjadi wabah baru di kalangan menengah masyarakat perkotaan, dan cerita dengan tokoh utama peranakan Tionghoa yang tetap lekat dengan budaya dan tradisi di tengah gempuran moderisasi, seperti dalam cerpen Bakcang Terakhir (hal 32), yang bercerita mengenai reinkarnasi.
Kelima penulis berbakat ini ‘ditemukan’ Maggie Tiojakin, seorang penulis yang karyanya diperhitungkan di dunia kepenulisan fiksi tanah air. Maggie membekali dengan kursus menulis kreatif sebelum kelima penulis ini berembuk untuk membukukan tulisan-tulisan mereka.
Tak heran jika penyusunan buku yang terdiri dari empat bab ini didasarkan pada katagori latihan menulis. Bab 1 bertema kuliner, bab 2 bertema demonstrasi, bab 3 cerita dengan basis prompter yaitu dengan kalimat pembuka cerita yang sudah di tentukan dan bab terakhir cerita dengan tema bebas. Setiap penulis menulis satu cerita pada setiap bab. Buku ini cocok juga dibaca orang yang tertarik belajar menulis fiksi khususnya cerita pendek seperti bagaimana menemukan ide, bagaimana sebuah ide bisa menjadi banyak cerita dan tema.
Terima kasih banyak ya Mak untuk ulasan Little Stories ini 🙂