“Assalamu’alaikum,” salamku parau setelah menghela napas dalam-dalam. Tidak seperti biasanya, kuputuskan pulang sebelum malam terlanjur pekat. Mungkin, menghabiskan senja di rumah bisa membuatku jauh lebih tenang.
Jantungku memang masih sering berdegup kencang mengingat pengejaran tadi siang, hampir saja aku menjadi abu, sedikit lagi saja aku mati. Maka aku ingin menikmati senja selagi bisa.
Jawaban salam yang diikuti langkah-langkah terburu membukakan pintu segera menyingkirkan kilasan buruk yang tidak ingin aku ingat. Keputusanku memang tepat, karena tak lama aku sudah bisa tersenyum begitu lebar.
“Alhamdulillah, Ayah pulang sebelum maghrib,” ucap istriku, kegembiraannya tak bisa disembunyikan melihatku pulang. Tanganku diciumnya takzim, diikuti kedua bocah lelaki yang berebut ingin lebih dulu mencium tanganku kemudian.
Hatiku mencelus, bagaimana jika mereka tahu bahwa tangan yang sama telah … Ah, sudahlah.
“Tidak perlu lembur hari ini, Yah?” tanya istriku setelah menyerahkan secangkir teh hangat.
Kusesap teh itu perlahan, entah karena tenggorokanku terasa kering, entah karena aku tak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu tanpa harus berbohong. Bagaimana harus kujelaskan padanya jika kantor tempatku bekerja sudah gulung tikar beberapa bulan lalu? Bagaimana aku bisa membuatnya paham bahwa setelahnya, uang yang kuserahkan padanya bukanlah gaji bulanan seperti seharusnya? Bagaimana aku ceritakan bahwa usahaku mencari pekerjaan lain selalu dan selalu menemui kegagalan?
Maka sebuah senyuman lain kembali kusuguhkan. Tak perlu menjawab pertanyaan. Tak perlu berbohong. Tak perlu menambahi masalah perempuan itu yang sudah bertumpuk-tumpuk. Senyumanku dibalas oleh pijatan lembut di bahu yang justru membuat hatiku malu.
“Ayah, kami ikut Ayah sholat ke masjid ya.” Setelah beberapa jeda Si Sulung berseru. Rupanya azan maghrib sudah terdengar, membuat hatiku semakin perih seperti diremas-remas, untuk apa aku memenuhi panggilanNya jika aku ….
Tapi sedetik kemudian kuanggukan kepala, kedua bocah itu melompat-lompat riang, alangkah mudahnya membuat mereka bahagia. Seandainya saja dengan pergi ke masjid bersama bisa membuat kami kenyang sepanjang hari, betapa menyenangkannya. Pikiran konyolku itu membuatku melukis sebuah senyuman miris.
Kedua tanganku menggenggam erat tangan-tangan mungil kedua anakku. Di belakangku, istriku tersenyum hangat menatap kepergian lelaki-lelakinya menuju masjid. Senja yang begitu sempurna.
Tuhan, jangan biarkan aku mati terbakar untuk beberapa lembar rupiah di dalam dompet yang bukan milikku, kuharap Tuhan masih sudi mendengar doaku senja itu.