Penulis: A.Leodita Sudibyo
Salah satu diantara kita pasti ada kan yang pernah mendapat pandangan sinis dengan aktifitas menulis? Dianggap membuang waktu, tak ada gunanya, menjadi autis, dll. Saya pun pernah. Tak hanya keluarga, bahkan pasangan saya juga merasa aneh dengan hobi saya yang menurutnya “dadakan”. Padahal saya mencintai menulis sejak saya berusia dua belas tahun. Dulu saya menulis di computer. Beberapa cerpen sudah berhasil saya buat namun tak ada yang saya kirimkan karena saya tidak percaya diri. Lalu lulus dari SMA saya mulai melupakan aktifitas menulis. Saya lebih sibuk kuliah dan bekerja.
Setahun setelah menikah saya merasa sangat jenuh dengan aktifitas di rumah. Suami tidak memperkenankan saya bekerja. Di rumah pun sudah ada pembantu. Anak belum ada. Maka jadilah saya seperti mayat hidup yang tidak tahu harus melakukan apa untuk melepas jenuh.
Maka saya putuskan untuk kembali menulis. Namun itu tak semulus dugaan saya. Entah karena merasa waktu bersama saya menjadi sedikit setelah saya menulis, suami saya pun menegur saya. Sebenarnya saya menyadari kondisi tersebut, namun karena saya ini kalau sudah punya mau itu “bandel” maka saya kesampingkan pikiran – pikiran tersebut.
Pagi hari sekitar pukul 07.15 suami berangkat kerja. Pulang kantor pukul 22.00 – 22.30. Saat dia pulang, saya baru mulai menulis karena mood dan ide selalu muncul di malam hari. Jelang subuh saya baru selesai menulis. Sehabis sholat saya tidur. Jadi memang waktu ngobrol – ngobrol dengan suami hampir tidak ada. Kecuali saat sarapan dan itupun tak lebih dari 1 jam.
Disini saya mulai merasakan hubungan kami akan menjadi jauh karena saya yang tidak bisa me-manage waktu antara keluarga dan hobi. Oleh karena itu saya berusaha mengubah jadwal menulis saya. Awalnya saya mengalami kesulitan. Rasanya ide – ide yang ada dikepala saya semakin menjauh. Tapi saya coba meyakinkan diri saya, memunculkan sugesti dalam diri bahwa menulis itu bisa kapanpun dan dimanapun. Tidak harus selalu malam, pagi, siang, atau sore. Setelah saya mencoba terus dan terus maka saya pun berhasil. Saya mengambil waktu menulis saat suami sedang tidak ada dirumah. Namun ternyata masalahnya tidak berhenti sampai disana. Entah habis terkena angin apa, suami saya kembali uring – uringan. Padahal saya merasa sudah tidak ada yang salah dengan waktu menulis saya. Kami sudah bisa ngobrol dan sharing seperti sebelum saya menulis dulu. Setelah saya tanyakan lebih dalam ia baru jujur kalau sebenarnya ia lebih suka jika saya berbisnis online saja daripada berjam – jam di depan monitor hanya untuk menulis. Disini saya mulai kurang suka dengan sikapnya. Saya kemukakan alasan mengapa saya terlalu mencintai dunia tulis menulis. Salah satunya adalah saya bisa berbagi pengalaman dengan banyak sahabat. Memang suami saya tak pernah membaca satu pun tulisan saya. Ia lebih suka menikmati angka – angka dalam pekerjaannya. Menurutnya perempuan yang menulis itu tak jauh – jauh dari curhat tentang pasangan. Padahal tidak semua yang saya tulis tentang cinta – cintaan atau hal – hal yang melankolis. Saya suka juga menulis tentang reportase. Dia juga bilang saya terkadang autis jika sudah menulis, tak mempedulikan orang – orang di sekitar saya. Dan dia merasa saya lebih mencintai tulisan – tulisan saya daripada mencintainya. Saya merasa suami saya itu terlalu berlebihan. Saya bisa membedakan kapan waktu menulis dan kapan waktu untuk melayani kebutuhan suami apapun itu.
Saya pun berpikir keras bagaimana cara mengubah pola pikir suami saya. Tiba – tiba saya mendapatkan ide untuk membuat sebuh fiksi untuknya. Lalu saya minta dia membacanya. Di sana saya tuliskan betapa saya menyayangi suami saya, sambil sedikit – sedikit saya lemparkan sindiran tentang larangannya pada saya. Suami saya sepertinya mengerti maksud hati saya. Saya juga ingin dia tahu bahwa walaupun saya menulis berjam – jam tapi saya tidak pernah melupakan dia. Sekarang kebiasaan menulis fiksi untuknya saya lakukan setiap seminggu sekali. Rasanya kini dialah pembaca setia saya. Walaupun dia tidak memberi komentar tapi minimal pesan hati saya sampai padanya.
Kira – kira seperti itulah sedikit pengalaman saya mak tentang warna warni menulis. Saya berusaha membagi waktu dan perhatian saya antara mengurus suami dan hobi menulis saya. Alhamdulillah sampai sekarang sudah tidak ada lagi masalah karena hobi saya ini. Suami saya pun saat ini mendukung sekali hobi saya, bahkan ia menuntut saya harus punya buku sendiri. Indahnya dunia jika suami mendukung apa yang menjadi kegemaran kita. Semoga tulisan ini bermanfaat ya mak untuk kita semua.
Salam bahagia penuh cinta untuk emak – emak di seluruh dunia ☺
Cara yang bijak Mak … Saya juga kalo protes sama suami via tulisan, tapi bukan bentuk fiksi. Langsung di-SMS-in, dengan bahasa yang sopan walau isinya super tegas. Daripada ngomong langsung bisa kebablasan hehehe. Lagipula kalo dia membaca tulisan kita, dibacanya sampai tuntas, pasti penasaran dengan endingnya kan? Kalo kita ngomong, bisa jadi malah saling berbantah :D.