Artikel dari mak Ida Nur Laila
“Pernahkan engkau menonton konten porno anakku?”
Ehm apakah orang tua punya nyali untuk bertanya yang demikian pada anak remajanya?
Semalam saya tanyakan ini pada kerumunan 4 anakku yang menginjak remaja. Malam minggu mereka rame-rame main game pokemon di ruang tengah.
“Ya pernah lah Mi, kalau di film-film barat kan ada konten pornonya.” si Sulung yang menjawab. Adiknya pada diam.
“Iya, Umi khawatir dengan TV cable kita. Barusan Umi nonton, ternyata banyak sekali konten porno, jadinya nontonnya cepet… Dicepetin sih….”
“Lha Umi nontonnya film romantik, ya terang saja. Kita kan kalau nonton film perang, film action, kriminal, spionase, film hantu…. Bedalah mi….” ini kata di nomer 3 yang mau lulus SMA.
“Aku saja cuma nonton family guy, kan cuma kartun.” kata si kakak lagi.
“Walaupun kartun, itu banyak konten joroknya kan. Trus, kalau kalian lihat ada konten porno, diapain?”
“Kan biasanya kita cepetin….” jawab di kakak lagi.
——-
Begitulah percakapanku. Anak-anak telah diberi filter, mereka mengerti yang seharusnya tidak mereka tonton, tapi sisi lain sebagai orang tua, ada keterbatasan. Suguhan informasi, film, bacaan mengandung konten porno ada di mana-mana.
Jaman dulu saat hanya ada TVRI, fungsi sensor lumayan berjalan. Sekarang stasiun TV berjibun, adegan pelukan, ciuman dan prolog lain seperti sudah menjadi kewajaran.
Dengan era internet dan TV cable, tak ada lagi regulasi yang berdaya menjadi badan sensor. Ratusan cannel dari luar leluasa dikonsumsi.
Jadi di manakah filter itu akan kita letakkan kalau tidak bermula dari keluarga?
Saya nukilkan satu contoh kasus remaja terjadi pada keluarga yang kurang utuh:
Liputan6.com, Bantul : Seorang siswi SMA di Bantul, Yogyakarta menyimpan bayi yang baru saja dilahirkannya di lemari pakaian selama 3 hari. Beruntung keberadaan bayi secara tidak sengaja diketahui oleh ayah sang siswi.
Kabar penemuan bayi di salah satu rumah warga Desa Pundong, Bantul membuat warga setempat gempar seperti tayangan Liputan 6 Pagi SCTV, Jumat (22/11/2013). Lebih mengejutkan, bayi berjenis kelamin laki-laki itu ditemukan tergolek di lemari pakaian anak gadisnya yang masih duduk di kelas 2 SMA.
Merasa curiga, ayah sang siswi melapor ke polisi dan menjemput anaknya di sekolah. Hingga akhirnya anaknya mengakui jika bayi itu hasil hubungan gelap dengan kekasihnya. Dia melahirkan 3 hari lalu dan mengurus sendiri proses persalinannya.
Usai ditemukan, bayi tak berdosa itu selanjutnya dirawat di puskesmas setempat karena kondisinya lemah. Terlebih, 3 hari disimpan di lemari bayi itu tidak mengkonsumsi ASI. Sang ibu hanya memberi minum air putih sebelum ia berangkat ke sekolah.
Kehamilan siswi SMA itu tak terendus karena selama ini ia dan ayahnya tinggal berlainan rumah. Sementara ibunya tengah bekerja di Malaysia. (Mvi/Sss)
Miris ya bunda…dengan kabar bersliweran tentang remaja dan prilaku mereka dewasa ini. Bagaimanapun, keluarga seharusnya menjadi tumpuan untuk membekali remaja.
Saya akan bahas di bagian ke tiga dari seri pendidikan seksual ini. Pada bagian pertama telah saya bahas untuk usia 0-7 tahun. Bagian ke dua untuk usia 7-14 tahun. Dan sekarang pendidikan seksual setelah anak mencapai baligh.
Usia 14-16 tahun anak sudah dianggap baligh sekalipun tanda-tanda primer belum datang. Sekalipun anak perempuan belum haid atau anak laki-laki belum mimpi basah, tetap saja mereka telah dianggap baligh. Biasanya tanda-tanda sekunder pubertas telah muncul. Yaitu perubahan bentuk tubuh pada anak perempuan, lebih bulat, lebih halus dan dadanya mulai tumbuh. Wajah juga mulai berjerawat. Anak lelaki menjadi lebih cepat besar dan memiliki jakun. Suara mulai berubah besar.Tumbuh rambut di bagian tertentu.
Secara hukum agama, mereka telah memiliki tanggung jawab dosa dan juga balasan kebaikan berupa pahala. Mereka bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri.
Pada masa ini terbagi dalam dua kelompok. Untuk kelompok yang siap menikah, boleh diberi penjelasan tentang adab hubungan seksual menjelang waktu pernikahannya. Tujuannya adalah agar mereka mengerti bahwa hal tersebut juga dalam rangka ibadah dan harus dibingkai dalam pernikahan yang sah.
Adapun yang belum siap menikah, (pada umumnya anak sekarang belum siap menikah pada usia tersebut), maka diajarkan untuk tazkiyatunnufs. Anak diarahkan untuk banyak beribadah, banyak berpuasa dan disalurkan energinya untuk kegiatan yang positif. Dengan pendekatan sain, misal kesehatan reproduksi, anak tetap diajarkan tentang sistem reproduksi.
Pada usia ini gejolak nafsu sudah meninggi sementara anak belum mencapai kematangan mental. Mereka belum bisa berfikir jauh tentang resiko saat terjerumus dalam salah pergaulan. Pendampingan dari orang tua untuk mengawal masa ini sangat penting. Dengan komunikasi yang sehat, semoga anak mau terbuka dan bersahabat dengan ortu dalam berbagai problem pergaulan yang dialaminya.
Pada tahapan usia 16 tahun ke atas, mereka telah memasuki kedewasaan yang lebih matang. Diharapkan semua proses pendidikan secara umum dan pendidikan seksual pada masa sebelumnya telah menjadikan mereka bisa memilah dan memilih dalam sikap dan tindakan untuk selalu menjaga diri, menjaga aurat, menjaga adab pergaulan serta akhlak.
Sebagai orang tua, telitilah untuk melihat perubahan prilaku pada anak. Saat mereka mulai tertarik dengan pasangan jenis (bukan lawan jenis), maka perhatikan dan arahkan bagaimana seharusnya membawa diri.
Terangkanlah aturan seperti pergaulan seperti:
• Menutup aurat
• Menjaga pandangan
• Tidak berdua-duaan di tempat sepi maupun ramai
• Tidak melakukan kontak fisik kecuali dengan mahram
• Dan menjaga adab berbicara, tertawa atau komunikasi lewat berbagai media.
Bukankah tidak sedikit anak perempuan remaja menjadi korban teman facebook atau medsos lainnya.
Saya masih menekankan adat pergaulan ketimuran menyangkut kepantasan, misal anak perempuan dianggap tidak pantas bertamu ke rumah teman lelaki, kecuali dalam rombongan dengan suatu kepentingan sosial yang jelas. Tidak boleh memasukkan teman lelaki di rumah kontrakan apalagi di kamar kos, karena bukan saja tidak pantas, tapi juga bagian dari larangan agama.
Pada anak-anak gadis, sampaikan bahwa jika lelaki menghormatinya dan ingin menjadikannya sebagai istri, maka pastilah ia akan menjaga kesucian hingga saatnya pernikahan yang halal.
Hanya lelaki rendahan yang tak bertanggungjawab yang mau menjamah tubuh perempuan bukan mahram atau mengiginkan kegadisan.
Sekalipun pernah menjelaskan, tetap saja perlu pengawalan masa rawan ini agar dapat dilalui dengan baik dan benar. Gagal pada masa awal baligh ini, akan menjadikan PR panjang masalah di kemudian hari. Orang tua selayaknya selalu memperluas wawasan untuk meningkatkan kualitas sebagai orang tua.
Semoga kita dimudahkan untuk dapat mendampingi anak-anak kita mengantarkan menuju masa baligh.
Ida Nur Laila
Sumber: Buku tarbiyatul Aulad karya ustadz Abdullah Nasih Ulawn
Dan beberapa sumber bacaan lain.
Tantangan besar untuk orang tua jaman sekarang termasuk saya. Ngomongin masalah kaya gini dulu tabu banget, malahan saya ngga pernah diajak ngobrol masalah seks sama ortu. Makanya sekarang bingung mau ngajak ngomong anak 🙁