Barangkali ada di antara Emak yang pernah mengalami dilema ini: mending mana ya, bekerja di kantor full time atau jadi freelancer alias pekerja lepas?
Perang batin banget kan, Mak? Yah, begitulah. Dua-duanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tinggal ke individunya saja, yaitu kita, Mak. Mana yang lebih feasible buat kita. Dan, apa yang cocok buat orang lain, belum tentu cocok juga kita lakukan karena hal ini tergantung kondisi banget.
Jadi, kudu gimana dong ya?
Yuk, kita lihat!
Full Time atau Freelancer?
Jam Kerja
Jam kerja bisa jadi punya perbedaan besar. Freelancer sudah pasti lebih fleksibel. Tapi fleksibel enggak sembarang fleksibel. Fleksibelnya bisa saja bablas sampai hari libur pun harus kerja. *sigh* Tapi ya, suka-suka kita saja sih, biasanya. Kalau memang mau woles, ya bisa dibuat woles. Mau target seminggu dikerjakan satu hari, kalau memang mampu ya kenapa enggak? Asalkan sesuai target klien saja biasanya. Mau kerja di mana saja juga bisa; di rumah, di kafe, di bengkel sambil servis mobil juga bisa.
Berbeda dengan full time, yang punya batasan jam kerja. Normalnya sih pukul 09.00 hingga pukul 17.00. Tapi bisa lebih kalau ada lembur ataupun kebijakan perusahaan. Kehadiran akan jadi poin penilaian, bisa jadi salah satu penentu bisa promosi atau enggak, naik gaji atau enggak. Telat masuk kantor, dapat peringatan. Tapi, normalnya, kalau hari libur ya bisa libur. Normalnya, hari kerja hanya Senin sampai Jumat (meski praktiknya, ya entahlah ya, Mak. Hahaha.)
Penghasilan
Bekerja freelance, kita harus pinter-pinter atur penghasilan. Kadang satu bulan lagi banyak job, ya pundi-pundinya penuh. Bahkan ngalah-ngalahin yang kerja full time. Tapi, sebulan berikutnya bisa saja sepi, yang artinya harus hidup dengan tabungan. Makanya, kalau lagi penuh, tetap enggak boleh dihambur-hamburkan uangnya. Besarnya penghasilan tergantung tingkat keahlian dan banyaknya job yang bisa diselesaikan.
Sedangkan full time, gaji sudah jelas. Setiap bulan akan selalu ada, dengan besaran yang sama. Ada rinciannya, kadang memang ada komponen yang lebih besar atau lebih kecil yang diterima tergantung kehadiran. Misalnya seperti uang makan atau uang transport. Namun, selisihnya tidak akan terlalu signifikan. Pekerja full time juga berpeluang untuk mendapatkan bonus tahunan dan THR.
Klien vs atasan
Freelancer enggak punya atasan, tetapi punya klien. Sebagai freelancer, kita boleh mengambil banyak pekerjaan sekaligus meski dalam bidang kerja yang sama. Misalnya, bikin desain grafis atau desain media sosial untuk 3-4 klien sekaligus. Atau, menulis artikel dalam satu bulan 20 artikel untuk klien A, 10 artikel untuk klien B, 4 artikel untuk C, dan seterusnya. Tekanan akan datang dari klien, sedangkan klien kan macam-macam; ada yang memang lebih mudah untuk di-treatment, ada yang sulit. Ada yang percaya saja sama kita karena kita dianggap ahlinya, ada yang riwil ini dan itu.
Sementara pekerja full time punya atasan, pada siapa ia akan mempertanggungjawabkan tugasnya. Pada umumnya, pekerja full time akan tidak diperbolehkan untuk punya lebih dari 1 pekerjaan utama. Namun, memungkinkan saja jika ingin menambah penghasilan dengan side hustle ataupun berbisnis, tetapi harus dipastikan bahwa bidang kerjanya tidak sama dengan pekerjaan utama agar tidak ada conflict of interest.
Di kantor, atasan kita paling hanya satu. Kadang ada sih misalnya kita bertanggung jawab pada manajer, dan manajer bertanggung jawab pada direktur, dan seterusnya. Tapi pada dasarnya struktur ini akan berjenjang. Jadi, kita cukup berkoordinasi dengan atasan langsung saja, seharusnya. Kalau kita sudah kenal dekat dengan atasan langsung, biasanya pekerjaan pun akan lebih enak diselesaikan.
Metode kerja
Bekerja secara freelance, rata-rata kita akan dituntut untuk bisa bekerja secara mandiri. Sampai di satu titik, barangkali kita bisa saja merekrut bantuan. Misalnya job nulis overload, kita bisa mencari bantuan teman-teman penulis lain untuk ikut bantu. Fee-nya bisa dibagi, asal pekerjaan selesai pada waktunya. Tetapi klien akan menganggap tetap kita sendiri yang akan menyelesaikan tugasnya, sehingga semua tanggung jawab ada di pundak kita. Nah, masalahnya, kalau kita sakit, ya keteteran semua deh pekerjaan.
Sedangkan saat bekerja di kantor, kita punya rekan satu tim. Biasanya sih, kalau begini, beban dan tanggung jawab ya dipikul bersama, meskipun ya ada beban pribadi masing-masing, karena tetap ada tugas individu kan? Misalnya kita sedang keteteran atau sakit, ada teman yang backup.
Pandangan masyarakat
Nah, ini nih. Masalahnya kita memang hidup di tengah masyarakat yang masih menganggap bahwa pekerjaan yang sebenarnya itu adalah yang berangkat ke kantor subuh dan pulang malam. Pokoknya yang keluar rumah deh. Masih banyak yang enggak percaya dan enggak paham, bahwa dari rumah pun kita bisa menghasilkan uang. Boro-boro, malah dituduh punya “piaraan” mistis. Entah ngepet, atau pelihara tuyul. *istigfar*
Yang bekerja keluar rumah, terus bisa beli mobil dan barang-barang branded itu yang dicap sukses. Sedangkan yang setiap hari di rumah, dituduh pengangguran. Pantes saja hidupnya gitu-gitu aja. Huhuhu. Loh, kok, malah curhat ya?
Jadi Full Time atau Freelance?
Enggak ada yang lebih baik, Mak. Semuanya mungkin saja kita lakukan, tinggal tergantung kondisi kita.
Buat emak-emak yang punya support system kuat di rumah, bisa jadi bekerja di kantor akan lebih baik. Toh, anak-anak juga sudah diserahkan pada yang dipercaya, ya kan, Mak? Perempuan yang bekerja di luar rumah bukan berarti enggak sayang kok sama anak-anaknya. Justru mereka sayang banget sama keluarga, dan pengin ikut bantu supaya tujuan bersama bisa dicapai lebih cepat.
Buat emak-emak yang memutuskan untuk freelancing dari rumah, juga enggak salah. Toh sekarang memang teknologi sangat membantu. Dikira pengangguran, ya sudah enggak apa. Kalau memang diminta untuk berbaur dengan sekitar, ya sudah semampunya saja. Nggak perlu terlalu ngoyo, yang penting kesehatan fisik dan mental dijaga. Betul, Mak?
Buat yang memutuskan untuk tidak bekerja dan full mengurus anak-anak, juga enggak salah! Kan, sudah sepakat dengan suami, betul, Mak? Bukan berarti nggak sayang pendidikan atau enggak mau mengembangkan diri. Ada banyak cara kok untuk memanfaatkan pendidikan, pun ada banyak cara juga untuk mengembangkan diri sembari menjalankan tugas sebagai ibu.
Ah, saya jadi ingat dengan kutipan salah satu film yang saya tonton, “Jadi perempuan itu harus egois. Kalau ia merasa bahagia dengan dirinya sendiri, maka ia akan mempertahankan apa yang ia punya sekarang sekeras mungkin.”
Setuju nggak, Mak?