“Kakak! Kamu ngapain sih masih peduli sama dia!” seru Dinda sambil membanting tasnya di meja.
“Apa sih? Dateng-dateng langsung marah-marah. Mending kalo bawa makanan.” balasku.
“Ish, si Kakak ini suka gitu deh. Ngapain sih Kak. Udah tau dia tuh kalo lagi susah aja dateng ke kita. Coba dulu pas bahagia, mana inget.” kejarnya.
“Ya udahlah, bagus dong kalo diingat orang waktu dia lagi susah. Berarti dia menganggap kita lebih baik, lebih mampu. Apa salahnya menolong orang susah.”
“Tapi kan Kak… Dia dulu… Ah, Kakak ini emang terlalu baik sama orang.” balas Dinda yang langsung menuju dapur.
Rupanya adik semata wayangku itu masih menyisakan pedih atas kejadian bertahun yang lalu. Tak mudah baginya melupakan lara kehilangan seseorang yang sangat berarti untuknya, untuk kami.
Selalu begini, setiap kali ia tahu lelaki itu berkunjung ke rumah. Padahal jika bertemu pun mereka tampak akrab, meski ada jarak yang membentang. Tak peduli sekuat apapun pria itu berusaha menjembataninya.
***
20 tahun yang lalu, lelaki itu pergi dari rumah. Mengembalikan istri dan 2 anak perempuannya ke rumah orangtuanya. Lantas tak pernah kembali. Hanya sesekali datang untuk menjenguk sampai terdengar kabar, ia telah menikah lagi.
Hidup mereka berubah, istri lelaki itu banting tulang menafkahi anak-anaknya. Berangkat subuh, kembali saat hansip mulai keliling kampung. Kedua gadis kecil itu lantas diasuh sang nenek. Terpaksa mandiri, di usia yang begitu dini.
***
“Kamu tahu nggak. Kasian lho beliau sekarang. Sudah nggak kerja lagi, usahanya bangkrut ditipu orang.” ceritaku saat kami sedang duduk santai sambil menikmati secangkir teh.
“Hidupnya benar-benar bergantung sama istrinya. Cuma ya gitu deh, nggak dihargai sama istrinya lagi.” sambungku.
“Baguslah. Karma itu namanya. Dulu pas dia punya duit mana inget sama kita. Seneng-seneng sendiri sama keluarganya.” ujar Dinda ketus.
“Ya emang harus sama keluarganya lah. Masa sama keluarga orang lain.” godaku.
“Bukan itu maksudku… Inget nggak sih kak, kita dulu susah. Kakak sampe sekolah sejauh itu aja harus jalan kaki karena nggak punya ongkos. Ibu kerja terus seharian, jarang ketemu kita. Sementara dia ajak istri dan anak-anaknya jalan-jalan ke luar negeri. Kita cuma kebagian cerita dan cokelat.” kenang Dinda sambil menghela nafas panjang.
“Iya, inget. Inget banget. Nggak akan pernah lupa.” jawabku.
“Tuhan itu nggak adil ya sama kita dulu, Kak.”
“Menurut kamu gitu ya? Iya sih, rasanya waktu itu Tuhan ngasih cobaan yang nggak ada habisnya untuk kita ya.”
“Tapi, kamu sadar nggak, Tuhan membiarkannya pergi karena sudah menyiapkan seseorang yang jauh lebih baik sebagai pengganti. Orang yang sayang sama Ibu dan kita anak-anaknya, tulus seperti anaknya sendiri.”
“Kamu inget juga nggak, kalau masa-masa susah kita itu nggak lama. Sekarang lihat Ibu, sudah jadi senior manajer di kantornya. Ibu dan Papa bisa kuliahin kamu di universitas ternama, bisa membiayai pernikahanku semegah itu. Bahkan rumah Ibu jadi sebagus ini. Tuhan baik ya sama kita.
Kalau sekarang aku baik sama beliau, ya karena dia ayah kita, Din. Terlepas apapun perbuatannya sama kita dulu. Benci dan dendam nggak akan mengurangi rasa sakit hatiku sama dia. Malah bikin nyesek, bikin berat langkahku.
Dengan berusaha menerimanya kembali, membantunya di saat susah seperti sekarang, justru membantu menyembuhkan lukaku. Itu juga sebagai ucapan syukur pada Tuhan atas semua kebaikan yang diberi.
Lagipula, aku rasa dengan melihat kita lebih dekat ke Papa daripada ke beliau yang ayah kandung kita, sudah cukup membuatnya sadar kok atas hasil perbuatannya dulu meninggalkan kita.” ujarku panjang. Lantas kembali menyesap teh yang mulai dingin.
Dinda termangu. Aku tahu dalam hatinya, gadis ini begitu menyayangi lelaki tua itu. Hanya ego yang tersakiti membuatnya memasang perisai begitu tebal.
Ah Ayah, andai kau tahu begitu dalam luka yang pernah kau toreh, demi cintamu pada seorang perempuan. Sementara 3 perempuan lain yang pernah teramat memujamu, hidup dengan sebuah keloid di hati mereka. Yang mungkin tak akan pernah hilang. Selamanya.
baguuus banget…kapan ya bisa nulis kayak gini…*cita cita terbesar dan terdalam, pengen bisa nulis* 🙂