Penulis: Mak Kartika Kusumastuti
Sejak datang ke Jepang dua tahun lalu, tak pernah saya berpikir untuk melanjutkan studi. Misi saya datang ke sini adalah menemani suami dan membesarkan anak saya. Sudah itu saja.
Tapi, ternyata siapa sangka menjadi ibu rumah tangga di Jepang itu sepi sekali. Tetangga kanan kiri jarang keluar, teman-temansesama orang Indonesia pun jauh dan kebanyakan mereka punya kesibukan masing-masing.
Yang ada, saya juga ikutan mengurung diri di rumah. Keluar rumah hanya ketika belanja, periksa rutin Nisa tiap bulan, atau jalan-jalan sebentar ke taman sebelah berdua Nisa. Kadang-kadang ketemu ibu Jepang juga sih, tapi paling kami hanya melempar senyum dan salam ala kadarnya.
Saya jadi khawatir dengan perkembangan psikologis Nisa. Saya takut kemampuan sosialisasinya tidak berkembang, karena yang ditemuinya sehari-hari hanya emak babenya aja.
Tiba-tiba suami menawarkan saya untuk kuliah lagi. Nisa biar dititip di daycare (hoikuen). Saya berpikir, tawaran itu tidak buruk. Saya bisa melancarkan lagi bahasa Jepang saya, juga bisa menemukan dunia baru selain rumah, sedangkan Nisa bisa bersosialisasi sesama teman-teman seusianya. Saya pikir ini akan sehat untuk perkembangan jiwa kami masing-masing.
Ternyata, kenyataan tidak semudah yang diucapkan. Konsekuensi pilihan saya harus dibayar dengan berkurangnya waktu kebersamaan kami. Dan ini terkadang masih sering membuat saya merasa bersalah dan menyesali diri.
Nisa dan Hoikuen (Daycare)
Awal-awal Nisa masuk hoikuen benar-benar menguras tenaga saya. Setiap pagi ia menolak untuk ditinggal. Tangisannya selalu sukses membuat hati saya hancur dan nggak konsentrasi di kampus. Selain itu, Nisa jadi sering sakit. Bolak-balik demam atau flu. Puncaknya ketika harus dirawat di Rumah Sakit karena infeksi bakteri.
Belum lagi jika jadwal kuliah saya sampai malam, Nisa juga harus lembur di daycare sampai malam. Tak ada pilihan lain karena suami juga tidak mungkin disuruh menggantikan menjemput karena jam kerja suami sampai jam 10 malam. Paling malam, Nisa pernah saya jemput jam 9. 🙁
Kerja Part-Time
Setelah Nisa sudah mulai terbiasa dengan sekolahnya (daycare), saya mulai memikirkan opsi untuk mengambil kerja part-time. Tak dipungkiri, biaya kuliah saya memerlukan biaya yang tidak sedikit, ditambah lagi daycare Nisa adalah daycare swasta jadi biaya lebih mahal dari daycare milik pemerintah. Saya ingin paling tidak bisa membantu membayar uang daycare Nisa, sementara suami berkonsentrasi membiayai kuliah saya dan rumah tangga.
Jadi, jadwal saya sehari-hari adalah bangun pagi menyiapkan sarapan dan bekal untuk Nisa dan papanya. Mengantar Nisa ke daycare, berangkat kuliah. Pulang kuliah, langsung berangkat kerja. Pulang kerja, jemput Nisa dan menyiapkan makan malam. Setelah Nisa tidur, baru bisa belajar.
Evaluasi diri
Awalnya saya lelah dengan jadwal ini. Benar-benar tidak bisa menikmati. Fisik yang lelah kadang menyebabkan emosi mudah terpancing. Dan yang jadi sasaran kemarahan saya siapa lagi kalau bukan Nisa. Ya Tuhan! Betapa saya sangat bersalah padanya.
Sebenarnya saya sadar, saya tidak boleh begini terus. Akhirnya saya mencoba berdamai dengan diri sendiri. Melihat ke dalam diri, mencoba evaluasi.
Dan inilah hasil evaluasi saya:
- Saya diliputi rasa bersalah karena meninggalkan Nisa.
- Saya terlalu banyak berpikir tentang kelangsungan kuliah saya apakah akan berjalan baik atau tidak. Ini karena saya agak kesulitan menyerap pelajaran yang sama sekali baru bagi saya.
- Saya terlalu sering melihat ke masa lalu dan berandai-andai. Seandainya saya tidak merasa bosan di rumah, seandainya saya tidak memilih jurusan ini, dan sebagainya, dan sebagainya.
- Tujuan saya masih buram. Artinya saya tidak tahu saya melakukan ini untuk apa dan untuk siapa? Tujuannya apa?
Setelah merumuskan apa yang menjadi masalahnya, saya mencoba mencari jawabannya dalam rangka memperbaiki diri.
- Stop memikirkan tentang perasaan bersalah pada Nisa. Yang harus dilakukan sekarang adalah mengoptimalkan quality time bersama Nisa. Ibu tetap harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak. Maka setelah saya jemput Nisa dari sekolah, saya coba fokus ke Nisa. Saya temani bermain, ngobrol, apa saja. Saya mencoba menghadirkan hati dan pikiran saya untuk Nisa, bukan hanya fisik semata.
- Saya mencoba untuk tidak terlalu banyak berpikir nanti gimana gimana. Jalani saja yang ada sekarang. Maksimalkan belajar dan potensi diri. And let God do the rest. Pasrahkan hasilnya pada Allah. Itu yang terbaik. Alhasil pikiran saya jadi rileks.
- Stop berandai-andai! Terlalu sering melihat ke belakang hanya akan menimbulkan rasa penyesalan. Semua sudah terjadi, maka ya sudah, jalani dan terima resikonya. Tuntaskan sampai selesai! Berusaha ikhlas menerima apa yang sudah menjadi takdir diri. Berdamai dengan hati dan pikiran.
- Tetapkan tujuan! Selalu perbarui niat! Segera rencanakan masa depan ingin seperti apa, apa yang bisa diperbuat dengan ilmu yang akan didapat sekarang? Jika semangat mulai kendor, segera ingat lagi tujuan ini dan segera perbarui lagi niat kita.
Alhamdulillah hasil evaluasi di atas telah menguraikan sedikit demi sedikit benang kusut yang ada di otak saya. In sha Allah semua ada hikmahnya. Tentu saja saya masih lelah dengan jadwal saya ini. Tapi, karena sudah berdamai dengan hati saya jadi menikmatinya. Lelah fisik bisa diobati dengan istirahat yang cukup. Tapi semoga tidak sampai lelah pikiran.
Salam dari Jepang.
Salam dari tangerang mak kartika ^^
pikiran emak bekerja dan meninggalkan anak ternyata sama yah
sampai saat ini saya masih ngga tau tujuan masa depan, masih burem ngga jelas. Moga-moga bisa nemu pencerahan juga 🙂