Jika Kartini tidak menuangkan buah pikirannya dalam bentuk tulisan, mungkin kita tidak akan pernah tahu siapa dia dan seperti apa cerita hidupnya. Atau mungkin juga tidak akan ada hari khusus untuk memperingati tanggal kelahirannya sebagaimana kita tidak mengenang hari kelahiran perempuan-perempuan Indonesia hebat lainnya semisal Cut Nyak Dien atau Martha Christina Tiahahu maupun HR. Rasuna Said yang jelas-jelas namanya diabadikan menjadi nama salah satu jalan protokol kota Jakarta.
Ketika perempuan lain menggerakkan massa dengan mengangkat senjata, bergabung secara fisik dengan laki-laki, maka Kartini menggerakkan penanya. Ketika Martha Tiahahu membesarkan nyali untuk meninggalkan rumah sebagai tanda ketidaksetujuan terhadap hasrat kolonialisme, Kartini meluaskan membesarkan nyali mendobrak tradisi yang mengakar kuat. Martha dan Kartini hidup di periode yang berbeda, dengan latar belakang budaya yang berbeda pula. Kesamaan yang mereka milikiadalah nyali. Yup, perempuan juga harus punya nyali.
Mungkin terlalu ekstrem jika saya membandingkan Martha Tiahahu yang lahir 79 tahun lebih dahulu dari Kartini. Kita sandingkanlah Kartini dengan Dewi Sartika. Sama-sama berasal dari kalangan bangsawan pulau Jawa, keduanya kemudian menyadari pentingnya pendidikan terutama pendidikan bagi perempuan karena perempuan akan menjadi ibu dan ibu adalah pemberi sekolah kehidupan bagi anak-anak jaman.
Terlahir sebagai kaum bangsawan memberikan banyak kemudahan salah satunya akses pada ilmu pengetahuan. Fasilitas-fasilitas yang kala itu hanya bisa dinikmati oleh segelintir kaum seperti bercakap dengan menggunakan bahasa asing (baca Bahasa Belanda), tidak disia-siakan. Jiwa kebangsawanan tercermin pada tingkah laku dan aksi nyata membagi pengetahuan yang waktu itu hanya bisa dinikmati oleh sedikit orang. Keduanya mempunyai long vision, harus seperti apa perempuan itu. Dua-duanya punya mimpi yang sama, memajukan masyarakat yang ada di sekitarnyamaka keduanya pun mendirikan sekolah. Dua-duanya memimpin dengan hati.
Yang berbeda menurut saya; networking Kartini melintas benua, usia dan gender. Kartini muda berkoresponden dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar pegawai Departemen Kantor Pos dan Telegram di Amsterdam yang berusia lima tahun lebih tua darinya. Kartini muda juga sering curhat dengan Hilda Gerarda de Booy-Boissevain, istri dari opsir laut Hendrik de Booy yang di tahun 1900 dilantik sebagai ajudan Gubernur Jenderal Rooseboom, di samping Kartini juga berteman pena dengan Nellie van Kol seorang penulis majalah wanita De Hollandshe Lellie. Termasuk bersahabat dengan pasangan suami istri Abendanon.
Sahabat yang tergerak hati mengumpulkan surat-surat Kartini dan menerbitkan sebagian dari tulisan-tulisan itu dalam sebuah buku di awal abad ke-20. Rasa persahabatan yang diwariskan turun-temurun hingga pada tahun 1986,keturunan keluarga Abendanon berbesar hati untuk menyerahkan kumpulan surat Kartini ke Perpustakaan KITLV di Leiden, Belanda.
Yang berbeda; Kartini menuliskan semuanya. Pemikirannya yang tercatat melintasi batas waktu, tersampaikan dari generasi ke generasi berikutnya.
Jadi menulislah yang membedakan Kartini dengan perempuan penggerak lainnya.
Jikalau Kartini tidak menuliskannya…
**0**
Terinspirasi oleh buku Gelap-Terang Hidup Kartini, Seri Buku TEMPO Perempuan-perempuan Perkasa, 2013 dan Panggil Aku Kartini Saja buah tangan Pramoedya Ananta Toer
Selamat hari kartini