Rasanya belum hilang dari ingatan warga ibukota, kehebohan relokasi pedagang Pasar Tanah Abang yang terserak di jalan raya. Para pedagang ini diharapkan, kalau nggak bisa dibilang dipaksa, untuk pindah masuk ke dalam bangunan pasar Blok G yang selama ini kosong. Sejak saat itu, Pemprov DKI berusaha untuk meningkatkan kunjungan ke Pasar Blok G, mulai dari renovasi bangunan, iming-iming hadiah belanja, sampai janji diberikan lift dan elevator. Sampai saat ini, menurut saya, pembaruan di Pasar Tanah Abang belum dapat dikatakan berhasil.
Pasar Santa
Diam-diam, di tengah pasar yang lain, sebuah gerakan sedang dimulai. Pelakunya siapa lagi kalau bukan anak-anak muda yang kreatif. Di dalam kios-kios yang sempit, mereka membangun identitas diri baru: pengusaha makanan, pengusaha minuman, pemilik toko musik, pembuat kue dan es krim, pemilik toko buku, atau desainer pakaian dan aksesoris. Anak-anak ini tiba-tiba memunculkan nama Pasar Santa sebagai salah satu tempat nongkrong hits terbaru. Tanpa promosi pemerintah, mereka memenuhi lantai satu dengan produk-produk kreatif kebanggaan komunitasnya. Gerakan ini dimulai oleh ABCD Coffee, sebuah kedai kopi sekaligus ruang kursus barista dengan konsep yang unik. Lewat publikasi di media sosial lalu akhirnya diliput koran nasional, ABCD Coffee kemudian “mengundang” anak muda lain untuk masuk Pasar Santa dengan berbagai usahanya.
Pada satu akhir pekan di bulan Oktober, saya memutuskan untuk menjajal Pasar Santa. Kebetulan seorang teman suami mempunyai kios di sana, dan sebuah pameran foto sedang berlangsung di dalamnya. Kebetulan juga, kami punya beberapa urusan lain dengan sang teman.
Suasana di lantai satu itu memang seru. Di satu sudut, beberapa anak muda sedang bekerja mengecat dan mengatur perabotan untuk toko yang baru dibeli. Warna-warna yang disapukan cerah, dengan tulisan yang besar dan menarik. Di sudut lain, mereka sibuk memasak mie, memanggang daging burger, membakar lauk di atas tembikar, sampai mengaduk adonan es krim. Mereka melayani pelanggan dengan santai layaknya teman.
Kami menghabiskan waktu melihat-lihat pameran foto sambil mengobrol dengan si teman di kedai mie. Sayangnya, ABCD Coffee sang pionir tidak buka hari itu. Mereka, seperti layaknya sebagian kios di sana, tidak punya jadwal buka yang pasti. Kios si teman, Post, bahkan hanya buka di akhir pekan.
Udara yang cukup panas di dalam agaknya membuat anak kami gelisah. Lantai satu Pasar Santa dibangun tanpa AC, dan dibiarkan begitu. Angin hanya mengalir dari kipas-kipas yang dipasang di dalam kios. Saya menawarkan es krim pada si anak, dan ia pun mengangguk setuju. Kami menghampiri salah satu kios homemade ice cream yang menawarkan es krim potong di dalam roti seharga Rp 10.000. Es krim alpukat menjadi pilihan kami untuk melawan kebosanan si anak. Untunglah rasanya memuaskan.
Teman saya, yang berkantor di sekitar daerah Santa, mengatakan kalau Pasar Santa sudah jadi salah satu pilihan untuk bersantap siang. Pada sore hari di akhir pekan, live music suka diadakan untuk menjadi teman nongkrong. Tiap bulan diusahakan ada acara yang digelar di selasar pasar. Kalau selasar sudah penuh dan riuh, saya sedikit sangsi kondisi ruang tanpa pendingin udara dapat bertahan. Bagaimanapun juga, bentuk Pasar Santa agaknya tidak dirancang untuk menampung pelanggan yang ingin duduk berlama-lama. Dalam beberapa jam kunjungan kami saja, tidak henti-henti saya mendengar keluhan kepanasan dari para pengunjung dan bahkan pemilik kios.
Walaupun begitu, ide dan semangat mereka patut diapresiasi. Harapan saya tentu agar gerakan ini tidak hanya sesaat, tapi berjangka panjang. Tujuannya supaya Pasar Santa bisa menjadi ikon alternatif tempat berkumpul yang terjangkau. Kami pun ingin kembali ke sana, untuk mencicipi kuliner lainnya, sambil menghirup wangi kopi. Mungkin kali ini membawa kipas lipat dari rumah.