Di Masjid Agung Surabaya
Lantunan ayat suci Al-Qur’an menggema di hall Marwah Al-Akbar. Hati kecil saya begitu merindu, untuk kian mendekat pada Sang Maha Cinta. Ayat demi ayat digaungkan dengan begitu indah. Syahdu. Tapii… tunggu dulu. Sesaat, saya amati lebih jeli lagi, si Qori yang tengah membawakan ayat suci. Matanya… mata Qori berumur 11 tahun ini… dia tuna netra! Masya Allah… Dan, memang benar, MC acara menyebutkan bahwa Qori cilik asal Mojokerto ini tidak dapat melihat sejak lahir. Buru-buru saya samperin ia dan ibundanya. Saya katakan, betapa saya bangga dan kagum dengan semua kehebatan dia. Jadi, jadi… surat Ar-Rahman yang panjang itu ia ‘bacakan’ tanpa melihat mushaf Al-Qur’an? ”Anak saya ini, walaupun buta, nggak pernah sedih Mbak. Dari kecil, dia suka sekali dengerin saya ngaji. Akhirnya, kami ajari dia menghafal Al-Qur’an. Saya dan ayahnya ngaji berulang-ulang, eh, dia ikutan hapal. Sekarang Alhamdulillah, kami dikirimi Al-Qur’an braile,” Ujar ibunda Qori cilik ini.
”Ehh, mbaak… Aku sekarang sering ngaji diundang kemana-mana. Nanti dapat duit. Duitnya aku kumpulin buat sekolah di Mesir. Aku pengin bisa kayak Syeikh Thohah al-Junaid, aku suka murottalnya dia, mbaaak….” si Qori cilik ini, berkata dengan begitu sumringah. Sama sekali tak tampak gundah gulana di parasnya yang demikian teduh.
Satu kalimat ibunya yang saya ingat hingga detik ini, ”Kalau anak saya nggak buta, kemungkinan dia akan keasyikan main game kayak anak-anak lain. Justru karena dia buta, bagaimanapun juga, kami bersyukur, karena dia memfokuskan waktu untuk menghafal Al-Qur’an.”
***
Tidak semua anak-anak dengan disabilitas (AdD) memiliki akses dan keluarga yang suportif, sebagaimana kisah Qori colik di atas. Yang sering kita temui, justru anak-anak berkebutuhan khusus itu malah ‘terbuang’, dicampakkan dari lingkungan dan kerap dianggap sebagai ‘biang repot’. Yang lebih menyedihkan lagi, keluarga—dalam hal ini, yang seharusnya menjadi pihak pelindung—justru kerap menimpakan beban berlipat pada anak-anak penyandang disabilitas. Tak sedikit kisah bocah down syndrome yang dipukuli oleh ayah-ibunya, atau anak tuna wicara yang juga mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, bully ataupun diskriminasi dari lingkungan terdekat.
Kalaupun tak mendapat perlakuan kasar, AdD tidak mendapatkan pengobatan dan terapi yang memadai. Kisah Ardy Ardian (32 bulan), anak dari pasangan Jumino (52) dan Miah (44) ini cukup membuat hati kita miris. Sejak usia 18 bulan, Ardy mengalami kekakuan pada kaki dan tangannya disertai lemahnya tulang belakang dan tidak bisa bicara/bersuara (Celebral Palsy).
Praktis sejak saat itu, Ardy tidak bisa menggerakkan tangan kakinya. Pasangan yang memiliki 4 anak ini pun melakukan upaya dengan memeriksakan Ardy ke Puskesmas. Rupanya pihak Puskesmas tidak bisa memberikan jawaban mengapa anaknya bisa seperti ini. Upaya lain dilakukan dengan mendatangi pengobatan alternatif. Lagi-lagi, orangtua harus menelan kekecewaan. Ardy tetap tidak bisa menggerakkan kaki tangan dan mengeluarkan suara dari mulutnya.
Padahal, mereka adalah ‘aset bangsa’ yang pasti berkilau, apabila kita memberikan porsi perhatian, kasih sayang dan pendidikan yang efektif dan efisien. Saya jadi teringat dengan upaya Save the Children dan IKEA Foundation yang memfasilitasi project Community-based Rehabilitation (CBR) bagi Anak-anak Indonesia Penyandang Disabilitas”.
Project ini telah melatih 1.992 care-takers yang nantinya bakal men-support perkembangan anak-anak disabilitas, melalui sistem pengasuhan yang baik dan benar plus metode pembelajaran harian secara aktif. Melalui project ini pula, terbentuk 113 organisasi komunitas keluarga yang berperan signifikan dalam hal advokasi dan support grup. Lebih lanjut, Save The Children ikut andil dalam membangun 184 Community-based Rehabilitation (CBR) atau Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) yang melahirkan 312 kader, yang siap men-support 2.600 anak penyandang disabilitas sejak Juni 2014.
Mengapa Harus Berbasis Komunitas dan Keluarga?
Tidak sedikit isu-isu negatif bin takhayul yang dihembuskan masyarakat terkait keberadaan anak-anak ‘spesial’ ini. Salah satu tetangga saya, punya cucu usia 5 tahun yang terlahir tuna netra. Tahukah Anda, apa komentar yang kerap mampir di kuping saya? ”Iiih, anak itu buta kan karena ulah orangtuanya. Dia mah, kutukan, biar orangtuanya kapok!”
Masya Allah. Tega bener yang sudah men-judge seperti itu. Alih-alih memberikan support maksimal, justru malah menebar gosip yang menjerumuskan dan bikin sakit hati. Tak heran, orangtua AdD kerap terbentur stigma dan diskriminasi, yang pada gilirannya membuat mereka enggan memberikan terapi dan pendampingan bagi sang buah hati.
Padahal, apabila keluarga dan komunitas berjibaku untuk menghadirkan iklim yang kondusif, bukan mustahil anak-anak berkebutuhan khusus itu akan menjadi sosok yang luar biasa, yang bahkan anak normal tak mampu menggapainya. Persis seperti Qori yang saya ceritakan di atas.
Keluarga dan komunitas sekitar adalah pihak yang paling dekat dengan anak-anak spesial ini. Inilah yang kemudian mendasari Save The Children dengan dukungan dari IKEA Foundation untuk menjalankan project Community-based Rehabilitation (CBR). Poin pentingnya ada dua, yakni: (1), Layanan rehabilitasi secara langsung kepada anak-anak penyandang disabilitas; (2) Menyajikan sebuah pemahaman yang lebih baik, positif dan konstruktif, di antara keluarga, anggota masyarakat serta pemerintah. Dengan ‘kacamata’ yang lebih baik, diharapkan kita punya cara pandang serta optimisme yang berlipat terkait problematika anak-anak dengan disabilitas ini. Haqqul yaqin, apabila sinergisitas ini berlangsung dengan baik, maka semua pihak bersama-sama berkontribusi terhadap upaya pencapaian MDGs (Millenium Development Goals). Khususnya tentang pemberantasan kemiskinan dan akses terhadap pendidikan, yaitu Anak dengan Disabilitas (AdD) dapat meraih hak mereka untuk menikmati kehidupan yang layak dalam kondisi yang bermartabat, mempromosikan kemandirian dan memfasilitasi anak untuk dapat berpartisipasi aktif dalam masyarakat.
Kembali ke kisah Ardy Ardian, balita 32 bulan asal Desa Kertajaya Kecamatan Padalarang Jawa Barat. Bersyukur, keluarga Ardy bertemu dengan Ibu Nina, salah satu relawan project CBR- Save The Children. Ibu Nina, melakukan pendataan ke rumahnya dan mengajak Ardy dan orangtua untuk hadir dalam kegiatan Hari Disabilitas International di Grand Hotel Lembang pada bulan Desember 2013. Saat itulah, Miah (ibunda Ardy) berkesempatan konsultasi dengan fisioterapist dan mendapatkan arahan tentang upaya stimulasi yang bisa dilakukan secara mandiri di rumahnya. Bukan hanya itu. Ibu Nina (Kader project CBR) membantu Miah dan anaknya membuatkan Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) agar bisa mendapat keringanan biaya, ketika melakukan fisioterapi di Rumah Sakit Cibabat. Sampai saat ini, Ardy sudah tiga kali melakukan terapi Fisio dan wicara di RS tersebut.” Alhamdulillah, sungguh bahagia manakala program ini telah mengembalikan api semangat dan harapan di keluarga nan bersahaja ini.
Pada tahun 2015, di project area, semua anak dengan disabilitas mendapat layanan yang berkualitas dan dapat terpenuhi haknya sebagai anak, hak atas partisipasi, pendidikan, kesehatan, tumbuh dan berkembang dan perlindungan.
Area kerja program ini adalah di 6 Kabupaten/Kota terpilih yaitu: Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Garut. Kegiatan menjangkau 150 desa, di 50 kecamatan yang ada di 6 kabupaten/kota tersebut. Program ini dihelat Save the Children bersama IKEA Foundation, dengan tujuan yang konsisten dengan UNCRPD dan UNCRC (United Nations Convention on the Rights of Child).
Ayo kita sama-sama tunjukkan kepedulian dan kontribusi positif untuk anak-anak luar biasa. Yakinlah, bahwa cinta, kasih dan sayang adalah bahasa universal, yang mampu kita suarakan untuk membuat masa depan mereka jauh lebih baik! (*)
Subhanallah, merinding bacanya, nih. Semoga menjadi renungan buat kita, ya. Aamiin. Bagaimanapun, anak adalah titipan Allah Swt. dalam kondisi apapun, anak tetap harus kita jaga dan kita rawat.