Ditulis oleh Mak Aulia Gurdi (http://auliagurdi.blogspot.co.id)
*
Tulisan ini lahir, berawal dari status kegelisahan saya akan fenomena terkini tentang penyimpangan orientasi seksual yang lebih dikenal orang kini dengan sebutan LGBT. Dulu mungkin istilah ini tidak seberapa dikenal, meski pelakunya sudah ada sejak zaman nabi dahulu. Sejarah prilaku menyimpang ini tertulis dalam Alqur’an, lengkap dengan gambaran dahsyat kemarahan Allah akan kaum yang tidak taat pada petunjukNya ini. Dan tidaklah segala sesuatu Allah ciptakan sia-sia melainkan menjadi hikmah dan peringatan bagi umat sesudahnya.
Kini, seperti mengulang sejarah, fenomena kaum nabi Luth kembali mengusik. Lalu, harus bagaimanakah kita? Tugas siapakah meluruskan semua ini? Haruskah kita mencaci dan melihat mereka seperti sampah yang layak kita buang jauh? Lalu kenapa harus ada kaum serupa itu? Bukankah hal sepele bagi Allah (bila saja Dia mau) untuk menciptakan semua orang di dunia ini menjadi baik dan lurus sesuai fitrah? Begitulah kemudian aneka pertanyaan yang memenuhi pikiran saya.
Semua pertanyaan saya ini mengingatkan akan bait-bait lagu Sherina saat masih menjadi penyanyi cilik dulu, sebagaimana judul yang saya buat di atas. Berikut sepenggal liriknya,
Mengapa bintang bersinar?
Mengapa air mengalir?
Mengapa dunia berputar?
Lihat segalanya lebih dekat
Dan kau akan mengerti.
Tak ada tanya yang tak bisa terjawab. Mereka para LGBT bukan hadir karena kebetulan. Keberadaan mereka adalah ujian bagi kita untuk terus teguh menetapi kesabaran memperjuangkan kebenaran. Keberadaan mereka juga mengindikasi betapa luasnya ladang pahala yang Allah sediakan untuk kita bisa menyeru yang ma’ruf pada sesama. Mereka para LGBT adalah juga adalah manusia biasa yang berhak atas hidayah. Butuh dirangkul dan ditemani. Bencilah pada perilakunya. Namun jangan jauhi pelakunya. Pastilah hidup tak mudah bagi mereka. Merangkul sebagai sebuah upaya ajakan back to fitrah, bukan mendukung dan menetapi perilaku mereka sebagai sebuah kebenaran.
Saya sendiri tak asing dengan LGBT. Itu karena pengalaman saya bertahun lamanya berkawan dengan seorang perempuan pelaku LGBT. Bahkan bukan hanya berkawan, lebih dari itu, ia mencintai saya dari sejak saya kecil hingga remaja. Kisah yang mungkin membuat sebagian orang bergidik membacanya. Tapi sungguh nyata saya alami.
Kalau boleh memutar cerita, betapa kelam hidup sahabat saya ini. Kisahnya bak sinetron. Ia datang dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya seorang supir taksi yang hidupnya berakhir tragis, dibunuh kawanan perampok saat bekerja. Ibunya hanya seorang ibu RT biasa. Boleh dibilang amat minim nilai agama yang dipegangnya sejak belia. Amat jarang saya melihatnya sholat, kecuali beberapa kali saat tarawih bulan Ramadhan di masjid, itu pun dalam rangka membuntuti saya sholat demi bisa berdekatan, hehe.. #modus banget ya :). Di usia sekolah menengah hidupnya sudah berkawan dengan obat-obatan terlarang dan narkotika. Hidup bersama dari satu perempuan ke perempuan lainnya. Bahkan kerap menjadi pacar simpanan perempuan-perempuan kesepian. Dari sana kenikmatan hidup nan semu ia dapatkan. Dan ajaibnya, selama itu juga takdir tetap membawa saya berkawan dengannya. Lingkungan sekitar rumah orang tua saya dulu memang bukan lingkungan sehat. Tetangga kanan, kiri dan belakang rumah saya tak sedikit yang mati muda karena over dosis.
Dan benarlah bila dikatakan pengalaman itu mengayakan kita. Darinya saya belajar mengerti tentang banyak hal. Tentang dunia yang tak selalu berisi hitam putih. Ada warna lain yang mengiringi. Keberadaan mereka orang-orang yang berbeda itu adalah bagian dari warna dunia. Tak perlu juga ditakuti. Sebagai orang yang mengimani Islam, saya amat meyakini satu hal, bahwa apa yang sudah Allah tasbihkan sebagai fitrah manusia selamanya itu akan berlaku absolut sepanjang hayat. Fitrah bahwa segala hal di dunia dicipta berpasangan. Hingga bila ada hal lain di luar itu, pastilah itu bukan sesuatu yang permanen dan inshaAllah dengan izinNya bisa diluruskan.
Namun tantangan zaman terus berubah. Serbuan arus informasi nyaris tak terbendung memasuki ranah privat seorang anak. Tak ada lagi hal tabu. Tapi kecemasan rasanya hal yang manusiawi ya. Siapalah kita? Satu yang harus dibangun adalah benteng pertahanan diri anak, hingga sehebat apapun terpaannya, bila ia kokoh inshaAllah takkan runtuh selamanya. Karenanya penting ciptakan imun dengan tetap perkenalkan mereka pada ragam dunia. Bahwa ada begitu banyak hal di luar sana yang tak selamanya baik. Baik dari kacamata Tuhan tentunya. Biarkan mereka memfilter segala sesuatunya sendiri. Ajari mereka untuk selalu melihat lebih dekat agar selalu bisa menghargai perbedaan dengan tetap memegang teguh prinsip hidup.
Dan tugas orang tualah membangun benteng itu. Di sinilah benang merah peran keluarga membentuk karakter seorang anak. Semua hal baik berawal dari rumah. Rumah yang ramah anak tentunya. Yang di dalamnya ada kehangatan pelukan ayah ibu tercinta. Orang tua bijaksana penuh kasih sayang yang selalu mengajarkan tentang Allah dan ketaatan pada aturanNya, juga segala hal yang baik dan benar dalam kehidupan. Mengulang-ulangnya sebagai sebuah nasihat yang akan terus diingat anak sampai akhir hayat. Bila semua hal baik sudah diikhtiarkan, selebihnya tinggal mengawalnya dengan doa. Hingga sejauh apa pun kaki anak melangkah, ia akan tetap kembali. Kembali pada fitrahnya.
Wallahu’alam bishhawab…