Alur Cerita Perempuan Tanah Jahanam
Perempuan Tanah Jahanam diawali dengan kisah Maya (Tara Basro) saat sedang menjaga pintu tol, yang bersahabat dengan Dini (Marissa Anita). Setelah didatangi oleh seseorang yang sangat misterius, yang dengan tiba-tiba berniat membunuhnya dengan golok, Maya pun akhirnya memutuskan untuk menelusuri sejarah keluarganya sendiri, yang berasal dari sebuah desa terpencil di Jawa.
Penelusuran ini bukan tanpa alasan. Maya kepepet lantaran dia–sudahlah harus berhenti dari pekerjaannya sebagai penjaga pintu tol–mencoba membuka toko baju di pasar bareng Dini pun gagal. Akhirnya karena penasaran lantaran kata-kata si penyerang yang di adegan pembuka tadi, Maya pun menemukan foto lawasnya bersama ayah dan ibu, di depan sebuah rumah megah.
Perjalanan ini pun membawa Maya dan Dini ke sejarah kelam Desa Harjosari, yang dikepalai oleh seorang dalang, Ki Saptadi (Ario Bayu), anak Nyi Misni (Christine Hakim).
Misteri demi misteri yang mengerikan terungkap seiring waktu Maya dan Dini menetap di sana.
Review Film Perempuan Tanah Jahanam
Film Perempuan Tanah Jahanan merupakan film horor kesekian dari Joko Anwar. Setelah sukses meremake Pengabdi Setan, dan juga mengembangkan Gundala dari komik menjadi sebuah film, maka Joko Anwar pun kembali menggarap skenario film orisinal lagi melalui film Perempuan Tanah Jahanam ini.
Well, kalau film Joko Anwar sendiri saya memang baru nonton Pintu Terlarang, Kala, Pengabdi Setan, dan kemudian Perempuan Tanah Jahanam ini doang sih. Jadi, saya kira, saya masih belum panteslah untuk mengatakan apakah ini film terbaik Joko Anwar atau bukan.
Namun, saya sih bisa semacam menarik benang merah atau signature dari karya Joko Anwar sih. Yaitu pembangunan suasana yang luar biasa.
Di film ini, begitu dimulai, kita sudah diajak ngos-ngosan bareng Maya yang dikejar seseorang misterius sambil mengacungkan golok. Sudah ikut mengernyit pula, ketika golok si orang misterius ini berhasil mengoyak kulit Maya.
Tak berhenti di situ saja, Joko Anwar seakan nggak membiarkan kita bernapas sedikit lega. Karena kita juga langsung dihajar ketegangan demi ketegangan; mulai dari suasana pasar tutup yang misterius, suasana bus malam yang ditumpangi oleh Maya dan Dini dalam perjalanan ke Harjosari, saat mereka naik delman menuju rumah Ki Saptadi, hingga kemudian keanehan demi keanehan diketengahkan secara berturut-turut di desa itu.
Apalagi suasana di dalam rumah megah yang konon dulunya adalah rumah yang ditempati oleh orang tua Maya. Creepy as hell!
Meski demikian, kita juga bisa dibuat ngakak di tengah-tengah suasana spooky itu gara-gara celetukan-celetukan Dini sih. Hahaha. Keren banget dah si Marissa Anita ini. Chemistry-nya dengan Tara Basro bener-bener dapet banget. Sampai-sampai saya pun merasakan kesedihan Maya, ketika Dini akhirnya harus dihilangkan dari layar. Hehehe. *semoga bukan spoiler*
Tapi …
Di samping suasana desa yang mampu menyedot saya untuk ikut merasakan senam jantung dan mesti atur napas berkali-kali, ada beberapa hal yang tetap menjadi ganjalan.
Misalnya, seperti pembuatan wayang kulit. Well, setahu saya sih pembuatan wayang kulit ini enggak bisa sehari jadi ya. Pemrosesan kulitnya sendiri aja luama bet. Tapi di sini, siang mulai dibuat, eh malemnya udah dipakai wayangan π Ya tapi ya sudahlah. Kalau terlalu lama juga, kasihan penonton dibikin nginep di bioskop yekan?
Juga mengenai penggunaan bahasa dan logat Jawa dalam film ini. Sebagai anak dari seorang ibu grammar nazi bahasa Jawa, terus terang, saya risi betul π Enggak konsisten bener ini bahasa Jawanya. Ah tapi ya sudahlah ya, mungkin susah nyari orang yang asli Jawa yang bisa akting.
*dimaklumi sendirilah*
Para pemeran yang luar biasa
Akting Tara Basro masih tetep maksimal. Cantik dan seksinya juga. Cocok banget untuk jadi protagonis cerita horor. Marissa Anita, sebagai sidekick, juga menggemaskan dengan ceplas-ceplosnya. Bikin ngakak banget pas dia mendeguk ludah saat berhadapan langsung dengan Ki Saptadi π
Christine Hakim sebagai Nyi Misni? Masih mau meragukan lagi? Malahan menurut saya sih–maaf ya, buat para penggemar pemeran lain–film ini akan B aja, kalau enggak ada Christine Hakim.
Sedikit spoiler: jangan buru-buru lega ketika film menuju ending dan menampakkan bahwa semua sudah baik-baik saja ya. Karena, sebentar kemudian sosok Christine Hakim akan muncul lagi memberikan “tendangan” terakhir π LUAR BIASA BANGET!
Buat saya sih, yang paling lemah adalah Ario Bayu, sebagai dalang Ki Saptadi. Bayangan saya sih, kalau diperanin sama Sujiwo Tejo pasti lebih mengerikan. Tapi, ya mungkin ketuaan sih π
So, kesimpulan …
Film horor ini sangat enjoyable. Beberapa jumpscare palsu memang ditebarkan oleh Joko Anwar di sana-sini, supaya lebih terasa roller coasternya. Ya, sabar aja. Misuh boleh, tapi segera fokus lagi, karena jangan sampai ketinggalan setiap adegannya. Karena setiap adegan akan menjadi kunci untuk adegan berikutnya.
Rating: 8/10