Kemarin, pada saat berlatih yoga di sanggar, aku menyadari bahwa berlatih yoga membuatku lebih mudah berdamai dengan diri sendiri.
Instruktur membimbing kami melakukan serangkaian pose yoga yang biasanya dilakukan secara terpisah, yaitu dari salamba sirsasana, dilanjutkan dengan menurunkan kaki ke belakang ke pose urdhva dhanurasana (kayang) lalu mengangkat tubuh bagian atas ke arah depan untuk berdiri ke pose tadasana. Menurunkan kaki yang sedang berada di atas ke belakang itu bukan main sulitnya. Aku takut punggungku malah terbanting ke lantai atau pinggangku terkilir. Tapi kupikir aku toh sudah biasa melakukan pose-pose itu dan instrukturku sudah memperagakan dan menunjukkan tekniknya. Kalau merasa punggung hendak terbanting, kita bisa melengkungkannya ke depan dan bergulir dengan punggung seperti yang biasa dilakukan sebelum salamba sarvanggasana (sikap lilin). Ternyata bisa!
Dengan menyimak tahapan-tahapan gerakan, mengetahui konsekuensi jika keliru serta bagaimana cara mengatasinya aku lebih bisa melakukannya, walaupun belum bisa berdiri langsung ke arah depan dari pose kayang. Badanku terlalu berat #halesyan.
Dalam kehidupan aku jadi terlatih untuk memandang masalah dengan cara yang kurang lebih sama. Dengan merenungkannya, mencari tahu konsekuensinya, berusaha memperkecil kemungkinan gagal dan mencoba membuat rencana untuk mengatasi jika terjadi kegagalan, aku lebih bisa berdamai dengan diriku. Kalau sudah berjanji untuk bertemu tapi terlambat gara-gara jalanan macet walau sudah berangkat lebih awal, apa boleh buat. Kalau telat membayar tagihan kartu kredit, ya harus bayar denda. Kalau api terlalu besar saat menggoreng, ya gosong. Diterima saja.
Contohnya kejadian yang baru-baru ini kualami. Aku dan calon pemberi kerja punya persepsi berbeda tentang menerjemahkan. Menurutnya, memberikan materi dalam bahasa Inggris bergaya resmi, lengkap dengan bullet points, untuk diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan gaya mengobrol yang lebih ‘gaul’ itu menerjemahkan. Menurutku itu menulis ulang. Aku mencoba menjelaskannya dan menambahkan itulah sebabnya ada profesi copywriter, penulis dan penerjemah. Dia bersikeras agar aku mencobanya. Aku akan mencobanya. Tapi semua berubah ketika negara api menyerang kalau tidak ada kecocokan, aku selalu bisa menghentikan kerja sama ini. Lebih baik begitu daripada membuat kecewa klien dan aku stress. Hatiku jadi plong dan bisa dengan tenang bersenang-senang lagi memindahkan gagasan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia :D.
Tentang Dina Begum
Seorang penerjemah lepas, anggota Himpunan Penerjemah Indonesia – HPI (The Association of Indonesian Translators). Bagi Dina, menerjemahkan adalah impian, kebanggaan dan hobi, sementara membaca sudah merupakan bagian dari kehidupannya.
Lihat semua tulisan oleh Dina Begum »
aku kira apa tadi mbak LDL, ternyata cinta jarak jauh…ada ada aja mbak nih..