Penulis: A.Leodita Sudibyo
Perempuan. Satu kata yang mewakili jutaan keindahan. Perempuan adalah sosok cantik, indah, penyayang, dan penuh kesabaran. Mirisnya, masih ada saja perempuan yang melawan kodratnya dengan merusak dirinya sendiri. Tapi untunglah itu hanya kaum minoritas, karena masih banyak perempuan yang tetap mempertahankan “keperempuanannya” dengan tetap berada di jalur yang normal. Tak heran jika banyak yang mengagumi perempuan dan “berupaya menjadi perempuan”.
Loh? maksudnya?
Oke begini, dewasa ini kita kerap mendengar tentang penggantian jenis kelamin yang dilakukan dengan cara operasi transgender. Walaupun pro dan kontra akan muncul sebelum dan setelahnya namun rasanya si pelaku atau orang yang melakukan operasi transgender ini seakan tidak peduli karena mereka mengedepankan Naluri. Kenyamanan bathin buat mereka adalah utama.
Melalui siaran di televisi yang banyak kita lihat adalah operasi transgender yang dilakukan oleh sejumlah laki – laki untuk menjadi perempuan. Dengan mempercayakan nasibnya di tangan dokter mereka rela kelaminnya diubah menjadi kelamin perempuan walau berapapun biaya yang harus mereka keluarkan untuk memuaskan keinginannya.
Ini bukan sekedar wacana atau hanya mengambil dari sumber yang saya tonton di televisi, tapi saya langsung bicara dengan salah seorang tetangga yang sudah melakukan transgender tersebut dan kini sudah berkeluarga dengan dua orang anak angkat.
Sebut saja namanya Hendri, lahir di Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Usianya kini menginjak 38 tahun. Sejak usia 15 tahun Hendri merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Ia tidak suka memotong rambut, rambutnya dibiarkan panjang tergerai, pernah suatu ketika Hendri mendapat tefuran dari pihak sekolah karena melanggar ketertiban lalu ia diwajibkan memotong rambutnya. Awalnya Hendri menolak, namun karena sang ibu menangis, maka Hendri pun mau melakukannya. Setelah rambut Hendri dipotong bergaya “cepak” keesokan harinya ia langsung mengalami demam hingga harus menjalani opname di rumah sakit. Hendri lebih menyukai ekstrakurikuler menjahit dan tata boga. Berbeda dengan rekan – rekannya sesama laki – laki yang lebih memilih Basket atau Sepak Bola. Hendri juga lebih suka berkumpul dengan teman – teman wanitanya daripada teman laki – laki. Perasaan Hendri sangat halus, ia tak pernah mengucapkan kata – kata kasar seperti anak laki – laki yang lain. Hendri sangat sensitive. Karena sikapnya yang menurut oranglain “aneh” itu, maka ia seringkali dicemooh, dihina, diperolok namun sepertinya ia sudah kebal menanggapi itu semua. Ia justru semakin menunjukkan naluri kewanitaannya.
Lulus dari SMU, Hendri ingin mendaftarkan diri di sebuah tempat kursus kecantikan. Awalnya sang ibu tidak mau, karena ia ingin Hendri kursus montir untuk meneruskan usaha bengkel ayahnya. Hendri tetap tidak mau. Akhirnya Hendri memilih untuk pergi dari rumah dan mencari biaya sendiri untuk kursus kecantikan tersebut.
Maka berangkatlah ia ke Jakarta, melamar sebagai pembantu di sebuah rumah mewah di bilangan Duren Sawit Jakarta Timur. Setelah bekerja hampir tiga bulan Hendri menceritakan keinginannya untuk membuka salon pada sang majikan. Gayung bersambut. Sang majikan yang juga berniat membuka bisnis pun akhirnya membuka sebuah salon. Setelah membereskan rumah Hendri mengikuti kursus kecantikan yang dekat dengan rumah majikannya. Setelah dibekali ilmu yang cukup salon pun dibuka. Hendri dipercayakan menjadi “kapten” disana. Hendri yang awalnya pembantu kini sudah menjadi orang kepercayaan dan memimpin 5 orang kapster.
Selama perjalanannya ini, perubahan sikap Hendri sangat signifikan. Karena sudah memiliki kemampuan dalam bidang kecantikan, ia pun mempraktekan ilmunya pada diri sendiri. Hendri mengecat rambut panjangnya dengan warna – warna cantik, make-up setiap hari, manicure – pedicure, lulur, dan lain – lain. Hendri merasa sangat puas apabila ia sudah selesai bermake up dan terlihat cantik. Ia mengatakan rasanya lebih dari orang yang mendapatkan orgasme.
Satu tahun berjalan, salon tersebut laris manis. Hendri mulai dikenal banyak orang, beberapa socialita sempat mengajaknya pindah dari salon itu dan mengajaknya membuka salon sendiri. Namun Hendri tetap setia pada majikannya.
Pada suatu sore, saat sedang tidak ada pelanggan, Hendri menceritakan pada sang majikan untuk melakukan operasi transgender namun uangnya belum cukup. Majikannya kaget. Ia tak menyangka Hendri begitu serius ingin menjadi perempuan. Lalu wanita bijak itu pun meminta Hendri menunggu satu minggu.
Selama masa penantian, Hendri selalu berdoa, jika memang Tuhan mengijinkan operasi ini terlaksana maka pasti akan ada jalannya. Benar saja, kurang dari satu minggu majikannya memberi kabar bahwa ia akan meminjamkan sejumlah uang untuk operasi transgender tersebut.
Sebelum di operasi, Hendri sempat melakukan serangkaian pemeriksaan. Dokter juga sudah berkali – kali mengingatkan bahwa dalam agama apapun hal ini diharamkan. Tapi sepertinya Hendri sudah sangat yakin dengan pilihannya.
Hendri kini sudah berganti nama menjadi Lusye. Ia merasa sudah sempurna tidak terkatung – katung seperti kemarin, Ia mengatakan bahwa ia sudah sukses menjadi wanita yang sesungguhnya, tidak bias seperti sebelumnya. Lusye menikah dengan Heru (nama samaran ) yang notabene tamu di salonnya dulu. Heru tahu bahwa Lusye dulu adalah seorang laki – laki sama seperti dirinya, namun Heru mencintai Lusye, masa lalu Lusye bukanlah masalah bagi Heru. Merekapun mengangkat anak untuk menyempurnakan perkawinan tersebut.
Di bawah ini adalah dialog antara saya dengan Hendri alias Lusye :
Saya : Kak Lus, kok mau sih jadi perempuan? Padahal kalau jadi laki – laki kakak juga ganteng kok.”
Lusye : Itulah manusia, tak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Saya merasa ada yang tidak beres dengan jiwa saya. Antara kelamin dan hati rasanya berbeda, tidak sejalan. Dan itu tidak nyaman.
Saya : Apa kakak menyesal? Atau ingin mengubah gender menjadi laki – laki lagi?
Lusye : Untuk apa menyesal jika saya sudah mendapatkan suami dan anak yang sangat menyayangi saya? Tidak ada kata menyesal. Saya sudah amat bahagia walau anak – anak yang saya miliki hanyalah anak angkat tapi itu takdir Tuhan, saya tidak akan pernah bisa hamil.
Saya : Menurut kak Lusye, perempua itu seperti apa?
Lusye : Perempuan itu lembut, bahasanya tertata. Perempuan itu indah. Perempuan itu bisa menjadi apapun untuk orang disekitarnya. Saya melihat sosok itu pada diri ibu saya. Ibu adalah perempuan paling sempurna yang pernah saya temukan di dunia ini. Walau ayah berpoligami, ibu tetap kuat membesarkan saya dan kedua adik saya di Ciamis tanpa membeturkan sakit hati dengan kasih sayangnya pada kami. Dan saya mau menjadi seperti ibu. Walaupun sesungguhnya ibu kecewa dengan keputusan saya melakukan operasi itu.
Sebuah dialog singkat yang membuat akhirnya mengerti apa yang ia rasakan. Hidup dalam kebingungan dan kebimbangan. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk melawan takdirnya. Ia sadar bahwa tidak semua orang akan menerima keputusannya. Namun bahagia hanya diciptakan oleh diri sendiri. Hanya dengan cara ini ia bisa bahagia.
Jadi mak, berbanggalah kita menjadi perempuan yang “sebenarnya”. Karena banyak diluar sana yang sampai harus melakukan operasi dan segenap usaha lain untuk menyandang status “perempuan sejati”. Perempuan adalah sosok peri yang nyata, cantik diluar dan di dalam. Tetaplah dengan kodratmu wahai perempuan. Jadikan dunia indah dengan adanya dirimu.
Salam bahagia penuh cinta untuk emak – emak di dunia ini.
penyimpangan seksual biasanya memang karena tramua masa lalu yang berhubungan dengan hubungan laki-laki dan perempuan. ternyata, Lusye mengalami itu ketika bapaknya poligami. hm, semoga kita mendapat banyak pelajaran dari Lusye yah Jeng.. 🙂