Penulis: mak Mugniar
Kisah ini adalah kisah nyata, bersumber dari orang yang dapat penulis percayai. Nama-nama tokoh disamarkan.
Di pagi yang cerah itu, dalam sebuah perjalanan di atas sepeda motor, Rio mengatakan sesuatu kepada Dea – istrinya mengenai sebuah hal yang mengejutkan.
“De, minggu lalu ada perempuan yang menyatakan cintanya kepadaku,” ujar Rio pelan.
Dea terkejut, ada riak pelan dalam hatinya. Hanya riak pelan, bukan gemuruh. Karena ia tahu Rio dapat dipercayai. Rio mengungkapkan hal itu karena cintanya dapat ia percayai. Tak mungkin Rio berani mengatakannya kalau ia berani bermain api.
“Perempuan itu, apa dia seorang gadis, Bang?” Dea bertanya. Hati kecilnya ingin menyelidiki siapa perempuan itu.
“Bukan,” jawab Rio.
“Janda ya?”
“Bukan juga. Perempuan itu …. istri orang.”
Hah? Istri orang? Berani benar …
“Memangnya, apa sih yang dia katakan?” Dea mengorek lagi. Nada suaranya tak berubah. Masih seperti tadi, sama sekali tak marah.
“Dia bilang kalau dia suka sama Aku. Terus dia menanyakan perasaanku padanya bagaimana,” Rio menjawab pertanyaan istrinya dengan sabar.
“Terus, Abang bilang apa?”
“Aku bilang padanya kalau Aku tak bicara tentang perasaanku pada perempuan lain. Aku bicara perasaan sama istriku sendiri.
Dea tersenyum tipis.
“Astaga. Berani benar dia. Apa dia sedang bermasalah dengan suaminya?” Dea menahan diri untuk mengeluarkan kata-kata kasar bagi perempuan itu.
“Sepertinya tidak. Sepertinya tak ada masalah dengan suaminya,” Rio masih menjawab dengan sabar.
“Apa dia mengenalku?”
“Mungkin.”
“Siapa sih orangnya, Bang?”
“Tak usahlah Kau tahu. Cukup ini antara kita berdua saja. Masalah bisa menjadi besar kalau kusebut namanya.”
Dea memaklumi pandangan suaminya namun tak urung hatinya geram juga. Rasanya tak banyak yang bisa dicurigai. Dea merasa bisa menebak siapa perempuan itu, sepertinya rekan bisnis suaminya. Kurang ajar betul. Pasti perempuan itu menganggap remeh dirinya yang hanya ibu rumahtangga. Selama ini Dea disibukkan dengan urusan anak-anak sehingga ia tak pernah lagi mendampingi suaminya dalam urusan bisnis. Lagi pula, meskipun ia bisa ikut-ikut menjalankan bisnis yang digeluti suaminya, hatinya sama sekali tak bisa senang menjalaninya. Malah menjadi beban, bisa stres ia bila memaksa diri menjalaninya. Dan kalau ia harus sering-sering ikut menjalankan bisnis suaminya, lalu bagaimana dengan anak-anak?
Dea tak memungkiri, riak kecil di hatinya masih ada bila mengingat perempuan kurang ajar itu. Pada suatu sore yang mesra, ia mengakui hal ini kepada suaminya.
“Jujur Bang, sampai kapan pun Aku penasaran sama perempuan itu. Aku ingin sekali mengetahui siapa dia,” ungkap Dea.
Rio tersenyum, ia maklum perasaan istrinya.
“Aku minta satu hal pada Abang. Jauhi perempuan itu. Jangan tanggapi jika ia mengajak berbisnis meski itu bisnis bernilai milyaran. Aku tak rela. Tak ada bisnis dengannya, kan?” Dea mengajukan tuntutannya.
“Hanya bisnis kecil,” ujar suaminya.
Dea terdiam. Hatinya sebenarnya tak rela tapi ia tahu diri, kalau bisnis sedang berlangsung tak mungkin juga dihentikan sepihak. Toh ia bisa mempercayai hati suaminya.
“Tolonglah Bang. Perempuan itu sudah mengungkapkan isi hatinya. Ia sudah membuang rasa malunya. Kalau ia berani mengatakan hal itu. Ia pasti lebih berani lagi untuk berbuat hal yang lain lagi. Kesakralan lembaga pernikahannya sudah ia langgar. Ia sudah membuka pintu. Apa lagi yang bisa menahannya untuk melangkah keluar?” Dea masih berusaha berargumen.
Rio terdiam. Apa yang dikatakan Dea amat masuk akal.
“Aku sangat mempercayaimu, Bang. Tapi ingat, setan tak bisa dipercaya. Perempuan itu sudah terlalu berani,” Dea menambahkan argumennya.
“Iya De, itu benar,” Rio membenarkan semua yang dikatakan Dea. Agama mengajarkan, iblis paling suka perbuatan merusak rumahtangga orang lain. Perempuan itu adalah potensi besar bagi peluang masuknya iblis dalam rumahtangga mereka.
“Eh De, Aku heran lho. Apa sih yang menarik dariku?” Rio mengeluarkan pertanyaan yang membuat Dea tertawa ringan. Penampilan Rio memang biasa-biasa saja, terlalu biasa dan terlalu sederhana malah. Sama persis dengan keadaan kantungnya. Nyaris tak mungkin membuat perempuan lain tergila-gila padanya.
“Eh Bang, untuk perempuan yang menyukai laki-laki cerdas, ia bisa saja tertarik padamu. Perempuan itu pasti kalap, ia melupakan kebaikan suaminya. Bisa saja ia tak mendapatkan apa yang ada padamu di diri suaminya padahal ia menginginkan itu ada pada suaminya.”
“Bukan hanya cerdas, Bang. Kau juga terlalu baik. Kau suka menawarkan bantuan kepada siapa saja yang sedang membutuhkan bantuan. Bisa saja ada perempuan luluh karenanya. Itu salah satu kebaikanmu yang kadang-kadang tak kusukai. Perempuan itu tak bijak, seharusnya ia menyadari segala kelebihan suaminya adalah penutup kekurangannya dan tugasnyalah menutupi segala kekurangan suaminya. Dan perempuan itu bodoh, ia pasti tak tahu aneka kekuranganmu seperti apa yang kuketahui. Kalau ia tahu, mungkin ia membatalkan cintanya. Untunglah aku tak sebodoh dirinya karena aku menerimamu apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekuranganmu,” bisik Dea dalam hati.
Sore yang indah itu diwarnai oleh tawa keduanya. Setan yang menonton adegan mesra ini hanya bisa menggigit jari.
Makassar, 23 Maret 2013
semoga Rio gak seperti yang di foto itu 🙂