Hai, Maks! *pelukin satu-satu* Mau ngomongin soal media sosial nih, Maks, sekarang 😀
Media sosial sekarang sudah jadi hal yang nggak terpisahkan dari hidup. Coba deh kita lihat di sekeliling kita. Coba hitung, berapa orang yang asyik sendiri sama smartphone yang lagi menampakkan laman Facebook, atau Twitter, atau Instagram. Suka atau enggak, media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi dengan orang-orang. Di mana pun. Bahkan di rumah, yang seharusnya menjadi tempat orang-orang berbagi kehangatan.
Dan, saking bebasnya dipergunakan (apalagi atas nama kebebasan berekspresi dan beropini), tak banyak pula yang berpikir panjang mengenai efek yang bisa ditimbulkan dari sebuah status ataupun tweet.
Hei, ini akun kan akun gue. Bukan akun lo. Suka-suka gue dong, mau posting apa, mau nyetatus apa.
Hmmmm … *elus jenggot* Terus, nanti kalau ada masalah, baru deh nyesel.
“Why meeeeee?” *drama*
Nyadar nggak sih? Tulisan yang disebarkan atas nama kebebasan berekspresi dan beropini ini kadang *atau malah sering banget?* disalahgunakan, disalahpahami, dan lalu menyakiti orang lain?
Ada beberapa hal penting yang barangkali bisa menjadi bahan untuk berpikir ulang sebelum kita pencet tombol “Post”, “Publish”, “Tweet” or whatever di media sosial, untuk menghindari masalah yang bisa terjadi kemudian. Apa aja? Mari kita lihat.
3 Hal yang Harus Dipikirkan Ulang Sebelum Share di Media Sosial
1. Jangan menuliskan hal yang tak akan kita katakan di depan orang
Gampangnya, don’t write anything that you wouldn’t say it to people’s face.
Orang sebenarnya dianugerahi dengan perasaan rikuh, nggak enak, dan nggak tega itu sebenarnya for good reasons. Percaya apa enggak? Perasaan-perasaan tersebut muncul seakan sebagai filter terhadap apa yang akan kita lakukan atau katakan pada orang lain.
Mengapa ini tak kita berlakukan juga dalam bermedia sosial?
Ada kalanya, kita menulis status menyindir orang lain, karena kita merasa nggak “berani” menyampaikannya pada mereka. Nggak berani ngomong langsung, tapi malah nulis status yang bisa dibaca oleh banyak orang lain?
Hmmm, ada yang missed nggak sih di situ?
Orang lebih mudah menulis komentar atau nyetatus ketimbang mengatakannya secara langsung. Orang jauh lebih berani saat mereka online, dan mereka sering berkomentar dengan emosional tanpa berpikir mengenai rasa sakit mungkin akan timbul pada diri orang lain.
So, sebelum posting, ada baiknya kita pikirkan lebih dulu, apakah kita bisa mengatakan sesuatu itu di depan orang? Apakah hal tersebut hal yang baik? Konstruktif? Apakah akan menyakiti orang lain?
2. Jejak digital itu bukan hal yang maya
Meski dunianya disebut dunia maya, tapi jejak-jejaknya nyata.
Begitu kita posting sesuatu, maka selamanya sesuatu itu menjadi bagian dari internet. Dan internet, itu bukanlah dunia yang sepi. Internet itu adalah dunia yang nyata, meski kita tak bisa melihat orang-orang yang hidup di dalamnya secara langsung.
Foto-foto kita di Facebook? Bisakah dihitung berapa banyak orang yang sudah melihatnya?
500 orang, karena saya punya 500 teman di Facebook friendlist saya.
Oh ya? Barangkali salah satu dari mereka mengakses Facebook melalui warnet. Dan sadarkah kita, bahwa setiap laman yang sudah diakses itu selalu menyimpan cookies dan cache dalam laptop dan juga IP address-nya? Gimana kalau ada orang yang mempergunakan cookie itu untuk masuk ke dalam Facebook teman kita, dan mengakses Facebook kita?
Itu bukan nakut-nakutin lho, Maks 😀 Hanya menawarkan sesuatu yang barangkali nggak pernah kita pikirkan, tapi ternyata berakibat buruk 😉
Jadi, sekarang coba hitung lagi berapa banyak yang lihat foto kita? Foto anak-anak kita? Siapa yang bisa jamin, kalau data diri kita itu nggak dipergunakan dengan tidak bertanggung jawab, kalau kita sendiri juga nggak bertanggung jawab dalam menggunakannya?
Jejak digital itu nyata, Maks.
3. Begitu terunggah di publik, hal yang pribadi menjadi milik publik
Dan konten milik publik, bisa dipergunakan oleh siapa saja.
Mau nggak boleh? Gimana caranya nggak bolehin, Maks? Ditulisin di captionnya?
“Foto ini nggak boleh di-save atau diunduh ya! Property pribadi!”
Terus? Jamin gitu, orang yang “jahat” mau baca caption-nya? 😆 Ikutan kuis aja pada suka males baca peraturannya kok #eh *ini curcol* *abaikan*
Foto di-watermark? Watermark gampang, Maks, diilangin. Postingan udah diprotect, nggak bisa disorot dan diklik kanan, tapi tetep bisa kok di-screenshoot. Orang kalau udah punya maksud nggak baik, entah kenapa, jadinya lebih kreatif dari kita loh 😀 *curcol lagi*
Jadi, sebelum pencet tombol “Post”, “Publish”, “Tweet” atau whatever, tanyakan pada diri sendiri dulu, Maks. Ini akan jadi milik publik, relakah aku? *tsah* Hihihi.
Duh, jadi inget postingan salah satu seleblog tentang artis-artis delusional kemarin. Soal kalau zaman dulu yang suka cerita keseharian itu adalah artis-artis, sekarang mah mendadak banyak artis media sosial ya, Maks. Saya juga nih. Gegayaan beneur. Hihihi. Sok-sokan membagi cerita kehidupan pribadi, tapi habis itu mencak-mencak waktu fotonya nangkring di “rumah” orang. Dulu yang gitu kan artis ya, yang posternya suka kita tempel di dinding kamar. #eaaaa #anak90an
Ya gitu deh, Maks. Ribet emang kalau sudah ngomongin soal gawul di media sosial. Belum lagi ini itu yang suka bikin kita jadi baperan, jadi insecure. #eaaaa. Tapi tenang, Maks, nggak usah semuanya dianggap terlalu serius. Nyantai aja, nikmati kayak kita menikmati hidup *tsah*
Selamat bermedia sosial dengan bijak, Maks! *dadah-dadah*
Bookmark dulu, dibaca nanti malam 🙂