Siapa yang tak mengenal Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata? Pernah mengunjungi Stasiun Tugu? Pasti pernah. Bagaimana dengan Stasiun Maguwo? Barangkali, Emak juga baru mendengarnya sekarang ya?
Yogyakarta, Destinasi Wisata Sejarah
Saat ini, Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi salah satu destinasi wisata terdepan di Indonesia. Objek wisata bermuatan tradisi dan budaya menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan domestik maupun mancanegara untuk datang ke Yogyakarta.
Tapi, tahukah kita bila Daerah Istimewa Yogyakarta menyimpan ratusan cagar budaya yang luput dari perhatian para wisatawan?
Cagar budaya secara umum diartikan sebagai warisan budaya berupa benda/bangunan/kawasan yang perlu dilindungi keberadaannya. Bangunan-bangunan ini memiliki nilai-nilai sejarah yang bisa dijadikan daya tarik sebagai destinasi wisata di Yogyakarta.
Sayangnya, sebagian bangunan cagar budaya yang memiliki nilai-nilai sejarah ini sebagian kurang terawat. Sehingga membutuhkan uluran tangan dari komunitas-komunitas untuk melestarikan dan memperkenalkannya pada dunia.
Mewarnai Indonesia: Jelajah Heritage di Stasiun Maguwo Lama
Tanggal 2 April 2017, saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti event yang diadakan atas prakarsa Dinas Kebudayaan Sleman, Dinas Kominfo DIY, PT Kereta Api Indonesia, Duta Damai Indonesia, Badan Penanggulangan Terorisme Indonesia, Pusat Media Digital, Masyarakat Digital Jogjakarta, Komunitas Roemah Toea dan Komunitas Malam Museum.
Kegiatan yang dilakukan adalah napak tilas sejarah Stasiun Kereta Api Maguwo Lama yang saat ini sudah tidak difungsikan lagi sejak tahun 2008 dan digantikan oleh Stasiun Kereta Api Maguwo Baru .
Stasiun Maguwo Lama ini menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah ketika terjadi agresi militer Belanda.
Yang menarik, para tamu undangan acara ini diwajibkan menggunakan dresscode berupa 4 pilihan busana, yaitu pegawai kereta api era kolonial, tentara KNIL (tentara kerajaan Hindia Belanda), kaum pribumi, dan pejuang kemerdekaan. Sedangkan dresscode untuk para peserta acara adalah menggunakan celana kulot dan kaus berwarna putih.
Bisa dibayangkan bagaimana suasananya, Mak. Wktu seakan kembali ke era kolonial beberapa puluh tahun yang lalu, saat busana yang dikenakan para undangan dan peserta event mewakili beberapa elemen masyarakat di zaman itu.
Sejarah Stasiun Maguwo Lama
Stasiun ini diperkirakan dibangun pada tahun 1872 oleh Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij (NISM), yaitu perusahaan yang membangun jaringan kereta api di Pulau Jawa. Stasiun Maguwo Lama beroperasi seiring dengan mulai beroperasinya jalur kereta api Klaten – Lempuyangan (Yogyakarta), yang merupakan bagian dari jalur kereta api Solo – Yogyakarta.
Pada tahun 1949, stasiun ini menjadi saksi sejarah terjadinya peristiwa agresi militer Belanda kedua. Tempat ini, menjadi pusat berkumpul dan mengangkut pasukan Belanda setelah melakukan terjun payung di Landasan Udara Maguwo.
Menjelajahi Stasiun Maguwo Lama
Setelah menerima penjelasan awal, peserta dan undangan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok menulis blog dan kelompok fotografi dan videografi. Kedua kelompok ini melakukan napak tilas peninggalan bersejarah dengan rute yang berbeda urutannya. Diawali dari depan bangunan stasiun, tepat di pinggir rel kereta api.
Para peserta lantas diajak berjalan-jalan melewati beberapa tempat yang menjadi sisa-sisa peninggalan bersejarah dan berkaitan dengan Stasiun Maguwo Lama ini. Saya ikut kelompok menulis yang dipandu oleh Mas Aga dan Lengkong Sanggar.
Sambil mendengarkan cerita sejarah Stasiun Maguwo Lama, kami menelusuri sisa jalur rel kereta api yang dibangun oleh perusahaan Staatspoorweg (SS). Jalur kereta api SS ini terletak di sebelah utara stasiun. Pada zaman penjajahan Jepang, rel kereta api pada jalur ini dicabut dan dipindahkan ke Thailand, sehingga hanya tinggal sisa-sisa pondasi rel yang sudah tidak difungsikan lagi.
Kami juga mengunjungi rumah dinas kepala stasiun terakhir yang dahulu menjadi tempat menyimpan arsip dokumentasi kunjungan Bung Karno (Presiden Pertama RI). Rumah dinas ini sudah rusak akibat gempa bumi besar yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 2006, dan belum direnovasi lagi.
Pada awalnya jalur kereta api Solo – Yogyakarta belum menggunakan jalur rel ganda. Hal ini membuat setiap kereta api yang berpapasan di depan stasiun ini harus berhenti sejenak untuk memberi kesempatan pergantian penggunaan jalur rel dari arah sebaliknya.
Seiring dengan selesainya pembangunan jalur rel ganda, pada tahun 2008, dibangunlah Stasiun Maguwo Baru yang terletak di sebelah utara Bandara Adisutjipto sebagai bagian dari sistem transportasi terpadu bandara.
Sejak itulah Stasiun Maguwo Lama ini dinonaktifkan dan ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Pada tahun 2010, Pusat Pelestarian Benda dan Bangunan PT Kereta Api Indonesia melakukan pengecatan ulang sehingga bangunan cagar budaya ini terlihat lebih bersih dan rapi.
Membangkitkan Nasionalisme Melalui Event Jelajah Cagar Budaya
Sekitar satu jam perjalanan napak tilas, seluruh peserta kembali berkumpul di dalam ruangan Stasiun Maguwo Lama untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari Hari Kurniawan (Komunitas Roemah Toea). Semakin lengkaplah pengetahuan tentang perjalanan sejarah Stasiun Maguwo Lama.
Event Kelas Mewarnai Indonesia Seri Menulis dan Jelajah Heritage ini menjadi jembatan penghubung kisah sejarah bangsa pada generasi muda Indonesia.
Alangkah baiknya bila semakin banyak komunitas yang ikut serta menyebarluaskan semangat pelestarian bangunan cagar budaya lengkap dengan sejarah yang melingkupinya. Sejarah perjuangan bangsa ini akan terus lestari hingga ke generasi berikutnya nanti.
Reportase: Eva Zahra
stasiun ini dekat rumah saya dulu mak. mengenang masa kecil.