“Jadi Perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Toh mau di rumah juga.” Pertanyaan yang sering perempuan terima, saat ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak hanya dari tetangga, eyang, mbah tetapi juga kita terima dari orangtua. Perempuan dan sekolah tinggi seperti kendala yang tak habisnya.
“Nak. Kamu itu perempuan, tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Bisa baca tulis saja sudah cukup. Tugasmu yang paling penting itu ada dua. Melayani suami dan mengurus anak.”
Demikian pernyataan orangtua kita.
Serupa tapi tak sama, ada pula pernyataan yang membandingkan seseorang dengan perempuan berpendidikan tinggi di lingkungan mereka.
“Lihat itu si Ani, sudah sekolah tinggi-tinggi tapi ngak kerja juga. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau mau di rumah juga ngurus anak.”
Ada juga yang berpendapat seperti ini. “Perempuan kalau sekolah tinggi-tinggi susah cari jodoh. Ijazah SMA saja cukup!”
Sejak dulu, perempuan dan sekolah tinggi memang sering dibentur-benturkan. Mengapa? Sekolah secara umum bukanlah sesuatu yang bergender. Sekolah sejatinya ada untuk segala kelompok, ras, agama dan tanpa memandang jenis kelamin.
***
Sebelum lebih jauh, mari kita samakan dulu persepsi. Sekolah yang akan dibahas adalah sekolah tinggi. Bukan pendidikan dasar seperti Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
Sekolah dalam artian pendidikan dasar tak perlu diulas karena merupakan hak seluruh warga negara yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31. Itu artinya, sudah menjadi hak bagi setiap warga negara termasuk perempuan untuk mengenyam pendidikan sekolah dasar. Tidak ada pengecualian untuk hal ini. Titik.
Sekarang mari kita bicarakan tahap pendidikan lebih lanjut. Pendidikan tinggi dengan berbagai variannya. Ada akademi, sekolah tinggi, perguruan tinggi dan universitas. Jenjang pendidikan mulai dari diploma, sarjana, magister hingga doctor.
Saat ini, masih banyak orang yang melihat pendidikan atau sekolah sebagai formalitas untuk mendapatkan ijazah. Karena itu wajar bila kemudian sekolah tinggi diartikan sebagai tahapan untuk mencari pekerjaan. Artinya, bila mau bekerja di sektor formal harus sekolah tinggi dulu. Pun sebaliknya. Bila sekolah tinggi, berarti seseorang sedang merencanakan untuk mengambil pekerjaan formal.
Perempuan yang melanjutkan pendidikan pun akan diasosiasikan sebagai perempuan yang sedang mempersiapkan diri untuk mendapatkan pekerjaan formal. Pada titik inilah kemudian timbul berbagai pendapat seperti yang muncul di awal tulisan. “Jadi perempuan untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya di rumah juga.”
Atau diam-diam pertanyaan serupa justru datang dari dalam diri sendiri. Ketika jenuh melanda, lalu pemikiran tentang eksistensi menyapa. Ketika mata tertumbuk pada berkas ijazah yang duduk manis di lemari.
“Untuk apa saya sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya saya di rumah juga?”
Hmm, mari menemukan jawaban atas pertanyaan serupa tapi tak sama tentang pentingkah perempuan sekolah tinggi ini. Benarkah sekolah tinggi hanya sebuah formalitas untuk mendapatkan tujuan tunggal, berkarir dan bekerja formal meninggalkan rumah?
Untuk Apa Sekolah Tinggi?
Terlepas apakah seorang perempuan memilih berkarir di luar rumah atau hanya mengurus rumah tangga, semua sepakat bahwa perempuan juga punya peran ganda. Pada waktunya, perempuan akan menjadi istri, ibu, serta menjadi pribadi mandiri untuk dirinya.
Seiring berjalannya waktu, kehidupan pun akan membawa perempuan pada jalan panjang. Hamil, melahirkan, lalu membesarkan anak-anak. Di sinilah peran pendidikan tinggi akan sangat berguna bagi seorang perempuan. Tak lagi sekadar formalitas untuk mendapatkan karir.
Pada dasarnya, sekolah tinggi tentu saja bukan formalitas belaka. Pendidikan tinggi sejatinya adalah ladang bagi seseorang untuk menambah ilmu dan wawasan. Menempa diri menjadi pribadi lebih tangguh dan mandiri. Berguru pada alam, memperluas pengalaman. Lahan untuk pendewasaan.
Berbagai latar belakang manusia yang ditemui, berbagai peristiwa yang dijalani selama menempuh pendidikan tinggi akan membuat seseorang menjadi lebih bijak dalam menyikapi hidup. Seorang yang hanya ngampus-kos-ngampus-kos karena menganggap sekolah tinggi adalah formalitas mendapatkan ijazah dengan seseorang yang aktif di berbagai kegiatan akan memiliki pola pikir berbeda dalam memaknai hidup dan kehidupan.
Kelak, ketika tamat, ilmu kehidupan inilah yang membuat para perempuan menjadi semakin tangguh. Menjadi lebih mudah mengerti dan beradaptasi dengan lingkungan. Menjadi lebih bijak dalam menyikapi perubahan. Ilmu alam yang tak akan didapat bila tak melewati jalan hidup yang panjang melalui sebuah media bernama sekolah tinggi.
Lalu masihkah kita ragu dan bertanya dalam hati untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Mari melihat lebih luas, pada kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika anak beranjak besar, biasanya mereka akan bertanya ini dan itu. Anak saya, si sulung Bintang yang bakal berusia 4 tahun sudah mulai bertanya ini dan itu. Ketika diajak menyanyikan lagu Hari Merdeka misalnya dia beberapa kali nyeletuk.
“Merdeka itu apa Ma.”
Atau di lain kesempatan dia bertanya “menara itu untuk apa?” Setelah dijawab dia akan memberondong dengan pertanyaan lanjutan “Sinyal itu seperti apa?”
Maka ibunya yang baru lulusan sarjana akan gelagapan dan putar otak untuk mencari jawaban terbaik. Itu baru pertanyaan anak yang belum berusia 4 tahun. Bayangkan bila nanti ia sudah SD, SMP, SMA dan bahkan kuliah. Apalagi di era teknologi sekarang.
Ketika SD ia akan bertanya tentang cara membuat email. Ketika SMP mungkin dia akan bertanya bagaimana mengoperasikan sebuah program computer.
Saya sering melihat anak SMP dan SMA yang begitu bebas menggunakan media sosial dengan anggapan toh orang tuanya tak akan tahu. Yess. Si ibu anak tersebut memang termasuk gagap teknologi sehingga tak bisa mengimbangi perkembangan teknologi informasi.
Termasuk juga dalam hal pendidikan. Setiap orangtua yang sudah memiliki anak usia sekolah pasti tahu bahwa pelajaran anak-anak sekarang jauh berkembang dibanding saat kita bersekolah dulu. Karena itu sering kali para orang tua khususnya ibu gelagapan ketika mendampingi anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah mereka.
Di sinilah peran pentingnya pendidikan tinggi untuk para perempuan. Perempuan yang akan menjadi ibu, pendamping dan teman untuk anak-anak. Bahwa membesarkan anak-anak di era yang begitu kompleks, butuh ibu, orang tua yang bijak dan bisa berpikir cepat. Ibu yang arif dan memiliki pengalaman hidup yang luas. Perempuan dan sekolah tinggi itu harus.
Pengalaman yang akan didapat bila ia menempuh pendidikan tinggi. Memiliki pengalaman yang banyak untuk membesarkan generasi yang tangguh pula.
So. Masihkah kita berpikir bahwa menjadi perempuan tak perlu sekolah tinggi. Atau masihkan terbersit penyesalan di hati ketika melihat ijazah yang tersimpan rapi dan hanya menjadi ibu rumah tangga biasa? Untuk apa sekolah tinggi kalau akhirnya hanya jadi ibu rumah tangga mengurus anak dan keluarga?
Dan, tahukah temans, jauh sebelum cibiran tentang perempuan dan sekolah tinggi ini meluas, Raden Ajeng Kartini sudah menulis. Ia dengan terang benderang menyatakan bahwa perempuan harus sekolah. Dan emansipasi seperti yang digaungkan Ibu Kartini itu, tak melulu tentang perempuan bekerja seperti yang selama ini sering tersiar.
“Apabila kami di sini minta, ya mohon, mohon dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukanlah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini.”
“Melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang datang dari kaum perempuan. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh Ibu Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik umat manusia yang utama,”
Dinukil dari kumpulan surat RA Kartini, ditulis pada 4 Oktober 1902.
***
Perempuan dan Sekolah Tinggi , Buat Apa Sih? Merupakan post trigger #KEBloggingCollab untuk kelompok Dee Lestari yang ditulis oleh Ira Guslina.
Nice mak!! Setuju sangat kalau perempuan justru dituntut untuk sekolah setinggi-tingginya untuk mencetak generasi selanjutnya. Terlepas dia beerja atau tidak, sejatinya pendidikan ibu utamanya justru diperlukan tuk “kebutuhan” di rumah.