Quarter Life Crisis, ada yang tahu istilah ini?
Rata-rata orang yang menginjak usia 20 ke atas pernah mengalami momen galau hebat, teror yang terlihat simpel, namun bikin mellow sepanjang hari. Dengar-dengar, biasanya quarter life crisis akan menimpa orang usia 25-35, dan kalau sampai tidak tahan bisa memicu akal untuk melakukan bunuh diri.
Separah apa sih, quarter life crisis itu sampai ingin bunuh diri? Ciri-cirinya apa?
Ini beberapa tanda yang pernah saya alami:
- Hopeless, merasa tidak berguna. Tidak punya arah dan tujuan hidup serta bingung dengan apa yang ingin dilakukan
- Beranggapan teman dan sahabat seperti yang menjauh, karena semua kini punya kesibukan masing-masing
- Panik melihat hidup orang lain lebih sukses, serta merasakan tekanan sosial berlebihan (pekerjaan, status, keuangan, passion, dll)
- Meski punya bakat atau talenta atau prestasi atau pengalaman, akan punya pikiran “kamu tuh nggak ada apa-apanya dibanding orang lain” , terutama saat orang lain bisa meraih posisi yang kamu inginkan dengan cara yang terlihat “mudah”
- Menjadi “what if person” yang sering berandai-andai soal keinginan kembali masa lalu
Bagi saya, tahun 2014 adalah masa terburuk. Di tahun itu, saya mengalami titik terendah dalam kehidupan. Setelah meraih gelar sarjana, saya merasa tidak siap memikul beban label “dewasa” yang disematkan pada saya.
Menghadapi kenyataan demi kenyataan yang tidak menyenangkan menjadi “manusia dewasa” adalah penyebab stres yang berlangsung beberapa bulan.
Bukan berarti saya ingin bunuh diri. Tapi bagi saya waktu itu, membayangkan diri menodong pistol ke kepala jauh lebih menenangkan dibanding menghadapi pertanyaan menyebalkan macam:
“Udah ada calon?”
“Setelah lulus apply kerja di mana?”
“Semoga kamu segera menikah ya, kasihan orangtuamu ingin segera punya cucu.”
Pertanyaan-pertanyaan ini terdengar sederhana, namun begitu mengusik.
Tekanan sosial akan semakin menjadi begitu kita bertambah umur. Entah itu bicara tentang melanjutkan sekolah vs menikah, bekerja vs menjadi stay home mom, membandingkan gaji atau prestasi masing-masing ketika reuni dengan teman … rasanya semua orang mendesak agar kami yang menjalani kehidupan di usia 20 awal untuk bisa sama seperti mereka.
Saya sendiri termasuk yang stres berat saat menjalani masa-masa setelah lulus kuliah. Belum ada pekerjaan setelah menjadi pengangguran lebih dari 6 bulan, tidak ada calon, bahkan kekurangan pemasukan karena orangtua menganggap saya sudah dewasa mencari uang sendiri.
Saya pun tidak enak meminta-minta, karena perubahan angka usia 19 menuju 20, sesungguhnya memiliki arti yang besar. Saya sudah punya pemikiran, “Justru sayalah yang harus memberi uang pada orangtua!”
Sosial media adalah wadah yang begitu menyiksa bagi kami yang belum berpasangan, belum bekerja, dan belum punya anak.
Sejatinya sosial media adalah tempat kita melakukan “pamerisasi”, entah pamer pasangan, pamer tempat libur, pamer anak, atau pamer harta. Scrolling timeline itu kegiatan yang menyiksa. Saya sempat hiatus dari semua sosial media dan aplikasi chatting dalam rentang waktu cukup lama karena tidak mau ditanya atau diajak reuni bersama teman-teman yang sukses terlebih dulu.
Stress menjadikan saya menjadi orang lain yang tidak saya kenali. Saya tidak mau bersosialisasi, karena malu pada keluarga, kerabat, juga teman. Saya membenci karakter saya sebagai INTP, karena karakter yang saya miliki ini membuat saya kesulitan untuk mendapatkan karir cemerlang seperti orang lain.
Setiap hari saya mencari kegiatan untuk melarikan diri, bukannya lebih tekun mencari pekerjaan. Lama-lama saya meledak ketika ada teman laki-laki yang iseng mengusulkan: “Kalau belum kerja, cari jodoh saja. Perempuan kan lebih mudah.”
Namun emosi seketika itu yang membuat saya mulai mengubah cara pandang. Setelah akhirnya memberanikan diri curhat ke teman, kutipan yang ia berikan membuat saya kembali memikirkan kegalauan dengan cara yang berbeda:
“Life is not a competition. Each one is on their own journey. Live according to your choices, capacity, values, and principles.”
Saya mulai memaafkan diri sendiri, belajar mencintai diri, kembali berjuang dari square one, dan membuat perencanaan hidup yang lebih baik. Saya mulai menatanya dengan membuat blog, karena hanya itulah yang saya tahu pasti sebagai keahlian yang saya kuasai. Berbagai cerita tentang hidup melalui tulisan adalah terapi sekaligus cara bagi saya untuk senantiasa mengingatkan diri untuk berani menghadapi konsekuensi.
Di sini pun, saya mulai belajar sesuatu: Tidak akan ada yang peduli dan mengurus dirimu selain dirimu sendiri.” Meski kita punya pasangan, keluarga, dan sahabat, mereka tidak akan selalu hadir 100% untuk dirimu. Ketika terpuruk, berusahalah sendiri, sebelum meminta bantuan orang lain.
Menjadi dewasa sesungguhnya adalah tahu bagaimana cara bertanggungjawab terhadap pilihan masing-masing. Menjadi dewasa, artinya kita juga siap menjalani segalanya ketika tidak ada pilihan pasti dalam hidup. Kitalah yang akan menciptakan pilihan itu sendiri.
Quarter life crisis sesungguhnya bukanlah momok yang sangat menakutkan. Itu hanya satu dari bentuk ujian ketika kita mulai menginjakkan kaki di hutan bernama “Kehidupan.” Itu adalah momen penggodokan diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Ketika kita berhasil mengatasinya, berbanggalah. Ya, karena kisah yang akan kamu ceritakan nanti mungkin bisa menjadi inspirasi bagi orang lain!
***
Quarter Life Crisis, Dilema Milenial Usia 20-an ditulis oleh Azzahra R Kamila sebagai post trigger #KEBloggingCollab untuk kelompok Dee Lestari.
Tulisan-tulisan menarik Mia, demikian panggilan gadis manis berhijab ini bisa ditemui di http://insommia.net
Sebentar lagi digit angka usiaku bertambah maak.. wah aku jadi flashback 10 tahun ke belakang.. gimana dan udah ngapain aja ya. Penggodokan utk jadi lebih baik, semogaaa..