Rupanya Midah tidak main-main. Pagi-pagi dia sudah datang ke rumah petakku. Langsung meminum teh hangat yang tinggal setengahnya, lantas memberiku sebuah kaos bergambar pria yang sering aku lihat di TV dari tasnya. Demi Sari!
“Sana ganti baju dulu!” ujarnya seraya mengambil Sari dari gendonganku, “aku tunggu,” lanjutnya lagi. Aku bergeming, ragu.
“Dah? Ini…”
“Kemarin katanya mau nyari uang?”
“Iya, tapi ini maksudnya apa?”
“Wis kamu pokoknya tenang aja, Yun. Paling lama 2 jam kerjaan kita ini kelar, pulangnya kamu udah bisa beli susu buat si Sari. Paling ngga, lima puluh ribu mah dapet lah,” jelasnya panjang lebar.
Penjelasannya itu belum bisa menghilangkan keraguanku, walaupun selembar lima puluh ribu memang bisa membeli sekotak kecil susu untuk Sari, tapi…. Bayangan sekotak kecil susu itu, sayangnya, lebih dari cukup bagiku saat ini.
“Kenapa mesti pake kaos ini toh?” tanyaku akhirnya. Untuk sesaat Midah melotot, seperti gemas melihatku yang ngotot, terus-terusan bertanya ini itu.
“Jadi gini, Yun,” ujarnya, “kita bakalan jadi penonton bapak calon pejabat itu kampanye, di balai kota, jadi yaa kita mesti pake kaos itu. Ngerti?”
Aku menatap gambar si pria di dalam kaos beberapa saat, mengingat-ingat, berita apa yang pernah aku saksikan tentangnya.
“Kalo ngga salah, dia ini pengusaha tukang suap, ‘kan, Dah?” tanyaku ragu. “Aku sering liat beritanya di TV. Kalo dia jadi pejabat, bakalan korupsi toh nanti?”
“Halah, itu bukan urusanmu!” tukas Midah cepat. “Masih perlu duit buat beli susu anakmu toh?” kalimat berikutnya menembak telak, membuatku bungkam seketika.
Aku menunduk, meremas si kaos dengan gemas, kalau saja suamiku tidak minggat, aku tidak harus susah payah mencari uang seperti ini. Dasar lelaki bangsat! Ah, aku malah mengumpat, padahal si Parjo –suami bangsatku itu- sedang berada entah di mana yang jelas bukan di sini. Bah!
Aku tidak punya pilihan lain, setidaknya untuk saat ini. Susu untuk Sari tak bisa menunggu. Anak itu sejak disapih beberapa bulan lalu susah sekali makan, tapi doyan sekali minum susu karena terlanjur kepincut melihat ‘teman-teman’ balitanya di iklan susu di TV. Sudah terlambat buatku untuk menyesal membiarkannya menggilai TV sejak bayi.
Tapi ya sudahlah, aku segera bergegas mengikuti Midah yang sudah menunggu di dekat pagar setelah berganti pakaian.
***
Midah datang agak siang hari ini. Dan langsung mengambil Sari yang sedang tertidur di kamar.
“Sari mesti dititipkan dulu, Yun, takut dia rewel nanti,” jelasnya tanpa diminta, “Aku udah minta Bulik Inah tadi, tuh dia udah nunggu di depan.” Tanpa menunggu persetujuanku, Midah sudah menyerahkan Sari ke tangan perempuan tengah baya itu, yang langsung beranjak tanpa kata menimang-nimang Sari yang tetap terlelap. Aku hanya diam, Bulik Inah sudah kupercaya menjaga Sari saat aku harus pergi sendiri, seperti saat ini.
“Kok nggak bawa kaos? Mau kemana hari ini kita, Dah?”
“Kamu punya daster yang udah lusuh?” Hah? Daster lusuh?
“Buat apa? Kita mau ngapain?”
“Kita ngantri sembako buat orang miskin, Yun. Lumayan, berasnya bisa buat seminggu.” Aku tersentak, semiskin itu kah aku untuk melakukan hal seperti ini? Tapi tetap saja aku mengganti bajuku dengan daster lusuh seperti pintanya tadi.
“Tapi, Dah, kita kan nggak punya kartunya?” teriakku dari dalam kamar. Teringat berita di TV sembako gratis atau murah hanya diberikan pada warga yang memiliki kartu miskin.
“Tenang aja, Yun, aku udah minta ke pak RT kok,” jawabnya santai, membuatku berpikir bagaimana caranya dia mendapatkan dua kartu miskin dari pak RT? “Pokoknya kamu percaya aja sama aku, Yun. Meski tanpa suami, anakmu nggak perlu dibohongin minum air tajin pakai gula pasir kayak kemarin lagi,” ujarnya lagi berapi-api.
Aku hanya mengangguk dalam diam, apapun akan aku lakukan, yang penting anakku tak perlu kelaparan.
***
Hari ini Midah datang dengan senyum yang terang benderang.
“Kita ikutan demo buruh, Yun.”
“Lha? Kita kan bukan buruh, Dah.”
“Bayarannya lumayaaaan, dibayar di depan pula.” katanya gembira, mengabaikan perkataanku. Lantas dia menyerahkan sebuah amplop yang cukup tebal ke tanganku. Duh Gusti, bahkan sebelum suamiku minggat, rasanya aku belum pernah punya amplop setebal ini.
Untuk beberapa saat, aku menatap si amplop tebal di tanganku dengan mulut ternganga. Membuat si Midah tertawa-tawa menertawakanku. Entah berapa kotak susu yang bisa aku beli dengan uang itu. Ah, rasanya aku bisa membeli satu kaleng sekaligus!
Di mataku Midah terlihat cantik beberapa derajat dari sebelumnya.
“Kita mesti ngapain, Dah?” tanyaku penuh semangat.
“Kita ikut teriak-teriak aja, ngacungin spanduk, gampang kok. Wis nanti ta’ ajari kalo udah di sana, Yun.”
Bulik Inah lagi-lagi sudah ditugasi Midah untuk menjaga Sari, ”Nduk, baik-baik di rumah ya, Mama kerja dulu, buat beli susu kamu,” pamitku pada Sari sebelum pergi, mengecup keningnya sepenuh hati.
Aku dan Midah telah berseragam sebuah pabrik. Mobil pick up penuh manusia berseragam sama sudah menunggu kami di depan gang. Midah melambai-lambaikan tangannya dan mengajakku lebih gegas.
Tapi dua lelaki kekar entah datang dari mana membekap mulut kami, menyeret kami yang mencoba meronta, kemudian memukul tengkukku keras hingga lemas.
“Dasar buruh nggak tau diri, habisin semuanya!” Sayup, kudengar suara itu sebelum semuanya gelap.
***
Lelaki yang Tak Bisa Kujadikan Kekasih