Bukan pertama kali saya mendengar jika buku Bumi Manusia akan diangkat menjadi film. Bertahun lalu saya mendengar kabar yang sama, buku ini akan difilmkan. Lalu kabar itu hilang. Pastinya tidak mudah memfilmkan satu buku fenomenal dengan latar awal abad 19, selain itu bagaimana memangkas 500 an halaman ini menjadi adegan 2 jam tanpa mengurangi maksud yang ingin disampaikan penulis buku, Pramoedya Ananta Toer.
Kabar akan diangkatnya menjadi film juga yang membuat saya ingin membaca ulang buku yang saya baca saat masa kuliah (18 tahun lalu) dan menuliskan resensinya. Bumi Manusia adalah buku kesatu dari tetralogi Pulau Buru buku tapi buku terakhir saya miliki (beli) karena begitu tetralogy Pulau Buru ini terbitkan (lagi) awal tahun 2000 an, laris manis tiap ke tokbuk nggak ada – ada yang jual seken harganya lebih mahal dari buku baru.
Tak heran buku ini laris manis begitu terbit ulang pertama kalinya, karena buku ini membuat penasaran setelah diberengus, dibakar dan dilarang terbit karena dinilai mengandung paham yang dianut penulisnya. Don’t judge the book by the cover.
Baca Yuk: Penyihir di Manik Matamu
“… harus adil sejak dalam pikiran jangan ikut –ikutan jadi hakim tentang perkara yang tidak diketahui benar – tidaknya.” Hal 105
Dinamai tetralogi Pulau Buru karena ditulis Pram saat di penjara di Pulau Buru sebagai tahanan politik. Buku yang di beberapa negara tetangga jadi bacaan wajib pelajaran sastra.
Buku yang tidak sepenuhnya fiksi juga tidak sepenuhnya nyata ini bercerita tentang kegelisahan pemuda Indonesia yang bernama Minke, mengenai kejawaannya, bangsa, pribumi, martabat dan hukum di tanah kolonial. Latar belakang cerita ini bukan khayal, tapi sejarah masa kolonial awal abad 19. Saya yakin teman – teman yang suka sejarah, suka baca buku ini.
Pernah saya mendengar pertanyaan seperti ini,” Buku ini bacaan berat ya?” secara fisik berat karena tebalnya lebih dari 500 halaman. “Apa bahasanya mudah dimengerti?” kalau teman – teman terbiasa membaca buku, buku ini mudah dimengerti tapi mungkin membacanya perlu tenang (tidak buru – buru karena pengen tahu endingnya) agar bisa menikmati dan mendapatkan sesuatu selepas membaca buku ini.
Tokoh Minke dalam novel ini tak lain dari Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (1880 – 1918), tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional, perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia, selengkapnya bisa baca di sini
Pram membungkusnya dengan fiksi percintaan yang mengharu biru, ketegangan perjuangan menjadi pribumi yang bermartabat dan terhormat, kegalauan seorang priyayi Jawa yang ingin bebas merdeka, mengagumi ilmu pengetahuan Eropa tapi kemudian dikecewakan.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik – baiknya, sehormat – hormatnya.” Hal 535.
Tersebutlah Minke siswa H.B.S tingkat akhir, pemuda Jawa anak seorang bupati, yang dikenal di kalangan teman – temannya selain pintar juga seorang philogynik atau playboy.
Selain sebagai pelajar H.B.S, Minke mencari penghasilan dengan menerima pesanan ukiran mebel dan lukisan. Tetapi keduanya tidak dia kerjakan sendiri, dia hanya mencarikan order. Yang mengerjakan lukisan adalah sahabatnya, bekas tentara kompeni berkebangsaan Prancis, Jean Marais.
Melalui temannya yang seorang Indo bernama Robert Suurhof, Minke berkenalan dengan Annelies, anak seorang nyai bernama Nyai Ontosoroh. Pada zaman itu, istilah nyai digunakan untuk perempuan yang menjadi gundik tuan Belanda. Nyai Ontosoroh yang bernama asli Sanikem adalah gundik seorang tuan tanah Belanda bernama Herman Mellema.
Nyai Ontosoroh menjadi gundik bukan karena keinginannya tapi dijual oleh ayahnya, hal ini menimbulkan rasa dendam sekaligus memotivasinya untuk bisa maju. Bukan sekedar menjadi nyai, tapi cakap dalam berbahasa Belanda, cakap mengurus perusahaan milik tuannya, malah dengan bantuannya perusahan tuan Mellema bertambah besar.
Tuan Mellema tidak memperlakukan Nyai Ontosoroh layaknya nyai. Dia mengajari Sanikem baca tulis, bahasa Belanda, mewajibkan membaca buku dan mengajari menjalankan perusahaan. Hingga Nyai Ontosoroh memiliki perusahaan dan memiliki rekening di bank atas namanya sendiri.
Kehidupannya bersama Tuan Mellema bisa dibilang bahagia sampai pada kenyataan kedua anaknya dari hubungannya dengan Tuan Mellema, Robert Mellema dan Annelis, tidak diakui secara gereja (tidak dapat dibaptis), diakui secara hukum sebagai anak sah Tuan Mellema saja tidak diakui sebagai anak Nyai Ontosoroh. Permintaan Nyai Ontosoroh agar tuan Mellema menikahinya, tidak digubris.
Pukulan berat kedua bagi Tuan Mellema datang dari anak sah Tuan Mellema yang selama ini tinggal dan besar di Belanda, yang datang dan menghakimi.
Nyi Ontosoroh tak kalah terpukul tapi pelajaran pahit kehidupan yang sudah dialaminya membuatnya kuat menghadapinya. Ia yang diajari ajaran Eropa oleh Tuannya mulai paham dan mengerti harga diri. Ia bahkan tahu saat itu akan tiba, saat ia tidak boleh tergantung pada siapapun kecuali dirinya.
Sikap dan kepribadian Nyai Ontosoroh membuat Minke kagum dan bertanya-tanya, karena Nyai Ontosoroh sangat berbeda dengan perempuan pada zamannya. Apalagi ini seorang nyai, kelas pribumi yang dinilai paling rendah. Berpikiran maju dan terbuka, bisa mengendalikan perusahaan, memimpin, berani mengungkapkan perasaan dan pendapatnya dengan lantang, layaknya perempuan Eropa hanya saja berkulit coklat khas pribumi berpakain kain dan kebaya. Benar – benar tidak ada perempuan seperti itu pada zamannya.
Nyai Ontorosoh bisa dikatakan tokoh fenomenal dalam novel Bumi Manusia. Sosoknya kerap diadaptasi menjadi pertunjukan teater. Sayang sebagai pembaca karya – karya Pram, saya belum pernah menonton, selain ketinggalan info pagelaran, juga suka diadakan di Jakarta malam hari pula.
Pemikiran dan pendapat Nyi Ontosoroh saat menyikapi berbagai masalah, membuka pikiran Minke tentang ilmu pengetahuan Eropa yang dikagumi. Persahabatannya dengan dua saudari Sarah dan Miriam de la Croix, putri Tuan asisten residen kota B. melalui surat menyurat memperkaya pemikiran Minke tentang nasib bangsanya dan mereka berharap Minke membuat perubahan untuk bangsanya.
Kutipan surat Miriam untuk Minke;
‘Aduh, sahabat, bagaimana gerangan wajah bangsamu yang mengibakan sekarang ini pada duapuluh tahun mendatang? …kalau ada terjadi perubahan, aku akan cari kau, khusus untuk mengulurkan tangan hormat padamu.’
Cerita dalam buku ini juga tidak lepas dari adat dan budaya Jawa yang feodal saat itu. Bagaimana pribumi yang memerintah dalam tingkatan terkecil menjadi raja kecil untuk bangsanya sendiri dan menjilat pada pemerintah Hindia Belanda.
Bagaimana dengan Minke? Minke dan Annelis saling jatuh cinta, Nyi Ontosoroh berharap Minke menjadi menantunya. Nyi Ontosoroh meminta Minke tinggal di rumahnya.
Kekaguman Minke pada Nyi Ontosoroh dituangkan dalam bentuk tulisan fiksi yang kemudian di surat kabar dengan nama pena Max Tollenaar. Dan saat orang tahu Max Tollenaar adalah Minke, Minke menjadi bulan –bulanan di sekolahnya.
Kematian Tuan Mellema yang disusul dengan tuntutan Ir. Maurit, anak sah tuan Mellema dari pernikahan dengan istri pertamanya (yang tinggal di Belanda), menuntut semua harta ayahnya juga pengasuhan kedua anak ayahnya dari hasil hubungan dengan Nyi Ontosoroh (Annelies dan Robert Mellema), menjadi klimak dari cerita Bumi Manusia.
Minke dan Nyi Ontosoroh berjuang melalui pengadilan. Dari kasus ini pembaca jadi tahu seperti apa hukum Eropa di tanah kolonial, bagaimana pun pribumi tetaplah pribumi.
“Aku tidak pernah sekolah, Nak, Nyo, tak pernah diajar mengagumi orang Eropa. Biar kau belajar sampai puluhan tahun, apapun yang kau pelajari, jiwanya sama; mengagumi mereka tanpa habis-habisnya, tanpa batas, sampai – sampai orang tak tahu lagi dirinya sendiri siapa dan di mana. Biar begitu masih beruntung yang bersekolah. Setidak –tidaknya orang dapat mengenal bangsa lain yang punya cara – cara tersendiri dalam merampas milik bangsa lain.” Hal 500
Minke pun tersadar, ia yang selama ini diajari ilmu pengetahuan Eropa, bersekolah dengan cara Eropa, mengagumi ilmu – pengetahuan Eropa tentang hak dan kesetaraan, dan ada beberapa hal dari kejawaannya yang membuatnya malu, yang membuatnya ingin keluar dari kepompong kejawaannya, pada akhirnya saat Jawanya dihina, ia tersinggung.
‘Omong kosong saja segala ilmu-pengetahuan Eropa yang diagung-agungkan itu. Omong kosong! Pada akhirnya semua akan berarti alat hanya untuk merampasi segala apa yang kami sayangi dan kami punyai; kehormatan, keringat, hak, bahkan juga anak dan istri.’ Hal 497
Sebenarnya ada banyak bagian dari cerita di buku Bumi Manusia ini tidak saya ulas karena nanti kepanjangan. Asal usul julukan Minke, kisah cinta Jean Maris dan wanita Aceh, sedikit disinggung bagaimana militannya orang Aceh berjuang sampai mati menghadapi kolonial. Masa lalu Annelies yang menyedihkan, berontaknya Minke saat harus merangkak menyembah ayahnya (pada zaman itu kawula termasuk anak, istri saat bertemu pembesar seperti Bupati ya harus merangkak dan menyembah).
Bagaimana akhir kisah cinta Minke dan Annelies di Bumi Manusia, perjuangan Minke yang menginginkan kebebasan dan merdeka yang kemudian ingin membuat pribumi sebangsanya juga bebas dan merdeka? Bisa baca lanjutannya di buku 2, 3 dan 4. Yang pasti, recommend book dan bukunya layak dikoleksi.
Judul Buku : Bumi Manusia
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun : 2005
Hal : 535
Keterangan
H.B.S atau Hoogere Burgerschool dalam ejaan Belanda adalah pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa, atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Masa studi HBS berlangsung dalam lima tahun atau setara dengan MULO + AMS (SMP + SMA).
***
Rina Susanti
Buku Bung Pram, Ngak bosen Baca nya..