Ada banyak kata yang ingin diutarakan. Ada banyak pikir yang ingin diungkapkan. Ada banyak hal yang ingin dikerjakan. Ada banyak mimpi yang ingin diwujudkan. Ada banyak sekali dalam hati dan otak ini untuk dikeluarkan. Tapi nyatanya, nggak semua bisa kita lakukan. Kalau kata anak muda sekarang, “Ekspektasi nggak sesuai sama realita. That’s life!” Hooo… yagitu, deh.
Sebagai seorang manusia normal, semua ekspektasi itu wajar adanya juga untuk dimiliki. Karena kalau ditilik (halah bahasanya), dari sisi positif, semua keinginan itu akan menjadi motivasi kita untuk bekerja lebih giat lagi. Tinggal bagaimana kitanya saja mengatur strategi dan mengamalkannya. Betul begitu, Mak?
Apalagi kita, sebagai perempuan, yang kadang kala banyak maunya. Pastinya, berharap sang pangeran atau sekadar lampu aladin bisa mewujudkannya untuk kita. Tapikan… itu hanya dongeng. Di jaman sekarang, perempuan juga nggak boleh manja. Sadar punya banyak mau, artinya kudu lebih giat lagi bekerja, dan berkarya, dan tentunya berdoa. Nggak heran, perempuan saat ini juga telah memiliki banyak tempat di berbagai aktivitas parlemen, atau organisasi lainnya. Sayang banget kan, kalau kita tidak mengambil peluang akan hal tersebut. Hayiuk…!
Dengan kesempatan yang bisa kita dapatkan tersebut, boleh saja kita menyamakan ritme seperti kaum adam di luar sana. Toh, manusia pada dasarnya memiliki potensi masing-masing. Bedanya … nah, ini nih. Masih banyak juga, atau memang karena nalurinya, perempuan seperti kita ini pada akhirnya kembali pada kewajiban yang paling natural, yaitu kesibukan sebagai seorang ibu. Ada yang bisa menjalani tugasnya sebagai seorang perempuan berkarir dan seorang ibu, namun ada juga yang cukup dengan aktivitas rumah tangga. Dan hal tersebutlah yang kerap kali menjadi jalan mentok. Dilema, hingga muncullah statement, working mom dan stay at home mom, yang seolah-olah saling ingin unjuk gigi dengan kelebihannya masing-masing.
Tapi tahukah, Mak? Bahwa siapa pun kita, selama makhluknya bernama manusia, kita tetap memiliki keterbatasan yang tidak bisa kita paksakan. Alih-alih bersikeras mengejar sesuatu, nggak sedikit malah membuat seseorang jadi ambruk, dan stress. Itu karena apa? Karena bisa jadi kita terlalu memaksakan diri kita sendiri. Lalu kenapa kita tidak mencoba untuk memaklumi diri sendiri dengan menerima keterbatasan tersebut? Namun bukan dalam konteks pasrah tanpa usaha lho, ya.
Saya sendiri kerap kali mencoba menerima berbagai kekurangan dalam diri, dan menerima keterbatasan tersebut, dengan membiarkan diri larut dalam suasana yang ada. Apa pun itu. Tujuannya hanya untuk sekadar me-release hal-hal yang yang kurang nyaman di hati, untuk kemudian membenahi dan kembali melakukan aktivitas dengan semangat yang baru.
Setiap kelebihan adalah anugrah, pun dengan keterbatasan. Tidak ada yang salah jika kita merasa tidak mampu. Namun jadikan hal tersebut sebagai langkah awal untuk sesuatu yang baru, untuk kebahagiaan kita. Karena setiap orang tentu punya standar bahagia yang berbeda.
Menikmati keterbatasan. Bagaimana menurut teman-teman?
Setuju, mak Mira Sahid.
Kadang, kupikir “keterbatasan” itu ada karena kita harus “membatasi” diri emang