ditulis oleh Noni Rosliyani – www.nonirosliyani.com
**
Saya adalah orang yang perfeksionis. Saya menginginkan segala sesuatu berjalan sempurna. Saya tidak suka pada ketidakpastian, jadi dari bangun tidur saya selalu merencanakan dengan jelas apa yang akan saya lakukan seharian ini. Untuk hal traveling, bisa ditebaklah.. saya bukan tipikal spontaneous traveller. Sebelum berangkat, itinerary detil setiap harinya pasti sudah lengkap.
Termasuk dalam hal rumah tangga. Saya dulu sering mengomeli suami karena melipat selimut tidak “sempurna”. Seharusnya yang motif kembang ada di atas, bukan di dalam lipatan. Haha, kasian dia ya..
Saya juga termasuk orang yang rapi. Saya menginginkan semua diletakkan sesuai tempatnya. Tidak ada benda berceceran di sudut-sudut rumah dan selalu rajin menyapu dua kali sehari. Intinya sih saya ini orang yang menginginkan semua aktivitas hidup ini berjalan sempurna, rapi, dan tepat pada waktunya.
Well planned.
Lalu akibatnya, saya menjadi orang yang tidak toleran pada perubahan jadwal. Jika rencana meeting atau bahkan hanya sekadar hangout dibatalkan atau diundurkan, saya bisa bete setengah mati. Mood saya di hari itu langsung drop.
Untungnya ya, suami saya bukan seorang wartawan, dokter, atau tentara, yang harus siap pergi saat ditelpon darurat kapan pun juga. Jika seperti itu terus, bisa-bisa saya bad mood berhari-hari. Payah ya.
Tapi semuanya berubah semenjak saya punya anak. Saya menjadi orang yang tidak peduli selimut mau dilipat posisi apapun juga. Saya tidak peduli baju dijemur posisi dibalik atau tidak. Saya tidak peduli kalau lantai rumah baru disapu satu kali. Saya juga tidak peduli kalau seminggu saya belum membersihkan kompor.
Perubahan ini bukan sesuatu yang tiba-tiba, melainkan sebuah rangkaian panjang yang sempat membuat saya tiap hari pengin marah tapi tidak tahu harus marah ke siapa.
Karena ternyata, anak yang membuat saya belajar untuk tidak memaksakan diri menjadi ibu yang sempurna. Dia mengajari saya supaya saya tidak perlu menjadi supermom yang ideal dan ada di sampingnya setiap saat.
Anak adalah makhluk yang serba spontan dan tidak terencana. Jika saya sudah merencanakan hari ini akan melakukan ini, ini, itu, itu, maka dia akan mengubahnya dengan tampang inosennya. Entah dengan cranky seharian sampai susah dilepas, susah tidur siang sehingga saya tidak bisa nyambi bekerja, atau maunya nenen terus sampai saya ketiduran dan bablas sudah semua rencana saya untuk produktif melakukan ini-itu.
Anak juga adalah makhluk yang tidak rapi. Segala mainan disebar di sudut-sudut rumah, mereka meletakkan sepatu di atas karpet, dan menaruh botol susunya di atas sofa.
Jika ada yang menasihati saya, “Makanya anak itu dilatih disiplin merapikan mainannya sendiri.” Maka percayalah, saya sudah melatihnya sejak zaman purbakala. Saya juga sudah melatihnya untuk disiplin waktu tidur dan makan. Tapi adakalanya mereka memilih untuk tertib dan nurut, adakalanya juga mereka malas dan membangkang.
Belum lagi perkara idealisme ibu muda masa kini, bahwa melahirkan harus partus normal, memberi ASI wajib selama 2 tahun, tidak boleh memberi garam dalam MPASI-nya, harus memberi MPASI homemade, harus memberi mainan edukatif, harus mengantarkan sendiri anaknya ke sekolah, dan segala macam keharusan serta kesempurnaan lainnya.
Parahnya, jika kita tidak bisa mencapainya, maka stres melanda dan judgement bahwa kita ibu yang buruk terstempel di dahi.
Tapi benar kan, pepatah bilang, “Hidup itu adalah pilihan”. Jika kita memilih untuk melakukan semuanya sendirian dengan sesempurna mungkin, serta berusaha keras menjadi supermom sesuai standar masyarakat, mungkin kita tidak akan bisa menikmati hidup.Maka saya memilih untuk menyerah pada ketidaksempurnaan. Saya tidak mau memaksakan diri untuk mengerjakan semuanya dengan sempurna. Saya belajar untuk menjadi orang yang bisa menikmati perubahan.
Termasuk saat menulis artikel ini, di seberang sana ada banyak lego bertebaran di atas karpet, serta tumpukan baju bersih yang belum lepas dari hangernya.
Karena saya percaya, sekeras apapun kita berusaha menjadi ibu yang sempurna, kita tidak akan pernah mencapainya. Yang terpenting adalah bagaimana kita menjadi ibu yang selalu ceria dan selalu belajar dari segala ketidaksempurnaan hidup.
ibu jg manusia biasa ya mak,
aku prnh sih berusha ngelakuin idealisme ala ala mamah muda belia, ahay, tp ya gitu jadinya, kepayahan sendiri.
btw, siap2 bikin tanggepan nih, 🙂