Hai, Maks! Apa kabar? Bagi sebagian Emaks barangkali sudah bekerja menjadi freelancer ya? Enak nggak, Maks, kerja freelancing gitu? 🙂
Yah, konon katanya, kerja freelance itu yang paling enak deh. Memerdekakan, mereka bilang. Menjadi bos untuk diri sendiri, skedul kerja bisa fleksibel, dan kita juga bisa memilih project yang menurut kita paling oke untuk dikerjakan.
Bener ya, memang menyenangkan?
Well, the truth is freelancing is a bit overwhelming at times. At least, untuk saya sih. Hihihi. Setidaknya ada 6 ugly truths about freelancing ini sudah saya alami dan membuat saya kecemplung dalam situasi love and hate relationship dengan pekerjaan sebagai freelancer.
Kenyataan yang Harus Dihadapi untuk Menjadi Freelancer
1. Kita bertanggung jawab pada diri sendiri
Salah satu beda yang paling besar adalah tanggung jawab. Kalau dulu kita harus bertanggung jawab pada atasan, setelah menjadi freelancer kita bertanggung jawab pada diri sendiri.
Agar akuntabilitas kita tetap terjaga, makanya kita harus bisa menetapkan target atau goals kita sendiri. Mau bikin penghasilan berapa nih, sebulan? Harus bisa menyelesaikan seberapa banyak project dalam setahun? Bisa ketemu dengan berapa klien? Dan seterusnya.
Setelah itu, ya, dievaluasi sendiri juga.
Hal yang menyenangkannya adalah si target itu, karena kita sendiri yang membuatnya, maka semudah itu pula kit akan menganggap ringan.
“Ah, nggak apa-apa deh, hari ini nggak kepegang. Besoklah dikejar. Sekarang leyeh-leyeh dulu aja deh.”
Besok? Only God knows.
Hihihi. Aduh. Iya, Maks, itu saya. Ngaku deh. Hahaha. Ada yang juga suka gitu nggak sih? *nyari teman*
Makanya … kalau ada yang berpikir enakan menjadi freelancer, hmmm … coba tanyakan dulu pada diri sendiri ya, sudah cukup punya disiplin pada diri sendiri belum? Saat kerja kantoran, ada HRD yang siap pecut kalau kita lalai kerja atau suka telat. Kerja freelance nggak ada ‘polisi’nya. Kalau saat kerja kantoran saja selalu punya alasan untuk telat, bolos dan tindakan-tindakan tanpa disiplin lainnya, terus gimana bisa sukses jadi freelancer?
2. Menjadi freelancer berarti kerja sendirian
Cari klien sendiri, kerjain sendiri, presentasi sendiri, evaluasi kinerja sendiri, bebersih meja kerja sendiri. Kalau emak-emak kayak kita, ya nambah lagi. Masak-masak sendiri. Nyuci baju sendiri. *Lah, emang maunya gimana?* Hahaha. Gimana sih, Carra nih?
Tapi consider this; you don’t have to deal with office politics, yang kadang auranya ngalahin pilkada DKI! Kita bisa say ‘bhay!’ pada coworkers yang menyebalkan, yang bisanya cuma memanfaatkan kebaikan hati kita *Uhuk!* Dan kemudian juga terbebas dari gosip-gosip kantor nggak jelas yang harus didengarkan atas nama sopan santun. Ha!
Hello, free ears!
3. Klien kita akan sangat demanding
Ya, ini dia nih. Klien adalah bos kita sekarang. Mereka, sama halnya dengan atasan, harus dibikin senang. Dibikin puas! Paling sebel adalah saat ketemu klien yang sangat demanding tapi sebenarnya kurang ngerti apa yang sedang kita kerjakan.
Misalnya nih, sudah dibikinkan artwork desain grafis, brosur contohnya. Sudah mintanya cepat, desain pun berubah-ubah sesuai mood klien. “Ini kotaknya dibikin miring sedikit, bisa?”. Atau, “Font-nya kurang oke ah! Ganti dong!”. Terus pas saatnya sudah hari H, tiba-tiba saja dia bilang, “Eh, warna backgroundnya ganti saja deh. Cepet kan nggantinya?”
*doeng!*
Iya, Maks. Itu curcol. Huhuhu. *elap ingus* *senderan bahunya Makmin*
Tapi, somehow, kok ya saya pribadi tetap lebih prefer kerja pada klien ya. Hihihi. Seandainya kita sudah mentok dan hampir matik, kita bisa kok ‘memecat’ klien. Pada dasarnya, meski klien itu harus terlayani dengan baik, mereka tetap harus setuju dengan segala syarat yang kita berikan kan?
Percayalah, memecat klien itu lebih mudah ketimbang ‘memecat’ bos. Hahaha.
4. Kita harus punya peralatan tempur kita sendiri
Ya, kalau di kantor kan jadi kewajiban perusahaan untuk melengkapi infrastruktur yang kita butuhkan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik kan ya, Maks?
Saat sudah menjadi freelancer, ya berarti kita harus usaha untuk punya peralatan kerja dulu. Bagusnya, kita bisa menyesuaikan spesifikasi yang dibutuhkan. Nggak bagusnya, kadang nggak punya modal buat punya yang sesuai. Hahaha *ketawa miris*
5. Makna liburan jadi bergeser
Pekerja lepas atau freelancer kebanyakan akan bekerja sesuai dengan passion atau bidang yang benar-benar dikuasai dan dicintainya. Biasanya sih mereka akan sudah cinta duluan dengan apa yang mereka lakukan. Inilah yang kemudian memberi makna baru pada kata ‘liburan’.
Liburan, apalagi yang tanpa mikirin kerjaan? Sepertinya sulit! Bisa sih, tapi sulit. Hahaha. Mau cuti saja maju mundur cantik. Belum lagi pas sudah mau liburan, ternyata dapat tawaran project yang menarik. Wah, langsung deh, galaw!
Maka rada-rada nggak kaget kalau ada yang liburan sambil bawa-bawa laptop kerjaan. Konon katanya, kenapa enggak sih liburan sambil kerja. Kan asyik? Hmmm … saya kok bilang, enggak juga ya. Bagusnya ya, kalau liburan ya liburan! Demi keseimbangan jiwa, jangan mikirin kerjaan. Nah, tapi … kalau kerja sambil liburan, itu baru maksimal! Hihihi. Bener nggak, Maks? Beda lho. Liburan sambil kerja dengan kerja sambil liburan. 😀
Yah, jadi gitu deh, love and hate relationship yang saya rasakan sama kerjaan freelancing. Tapi memang sih ya, segala sesuatu itu kan ada seneng susahnya, plus minusnya. Tinggal gimana kita ngelakoninnya kan? Saat yang seneng-seneng kita rasakan itu bisa mengalahkan yang susah-susahnya, berarti kita sudah mencintai pekerjaan tersebut. Tinggal bagaimana mengoptimalkan kinerja kita saja.
Apakah ada Emaks yang merasakan hal yang sama dengan saya? Atau ada yang berbeda? Cerita dong, Maks! 😀
wuahh bener banget ini mbak yang ditulis, saya yang kerja kantoran aja masih kewalahan buat disiplin kalau anak lagi sakit atau pengasuhnya lagi gak ada terpaksa bawa pulang kerjaan,, makasih pencerahannya mbak
salam kenal mbak ratri ^__^