Hai, Maks! Apakah Emaks sekalian merupakan salah satu dari mereka yang menganggap bahwa kreativitas merupakan bakat dan hanya dianugerahkan hanya pada beberapa orang dan bukan pada diri Emaks? Kalau iya, coba pikirkan lagi. Saya adalah salah satu yang berpikir kalau kreativitas itu bisa dilatih dan dimunculkan. Dan karena kebiasaan buruk kitalah yang kadang membuat kreativitas itu mati.
Hal yang membuat beberapa orang nampak lebih kreatif daripada yang lain adalah bahwa mereka–yang nampaknya lebih kreatif itu–telah memelihara kreativitas mereka dengan baik. Bahkan sudah diteliti juga lo, Mak. Para ahli mengatakan bahwa kreativitas adalah keterampilan yang bisa dipelajari. Dan sebagaimana jenis keterampilan yang lain, kalau ingin mendapatkan hasil belajar yang baik, ya kita harus kerja keras dan tak pernah berhenti berusaha.
Practice makes perfect, begitu pun soal kreativitas ini. Kalau kita nggak melatihnya setiap hari, ya percuma saja. Dan, seperti biasanya juga, ada kebiasaan buruk yang membuat kita menjadi pembunuh kreativitas kita sendiri, atau setidaknya menghambat diri kita untuk berpikir kreatif.
Yes, Emaks, sepertinya 5 hal berikut ini, yang sering kita lakukan setiap hari baik sadar ataupun enggak, bisa membunuh kreativitas kita sendiri. Jika Emaks masih saja melakukannya, atau merasakannya, sebaiknya mulai dikurangi sedikit demi sedikit sejak sekarang.
5 Kebiasaan buruk perusak kreativitas
1. Menilai diri sendiri terlalu cepat
Untuk menjadi kreatif, Emaks harus bisa membiarkan diri untuk dapat menghasilkan ide-ide dan berinovasi dengan bebas.
Tapi, seringkali kita justru menghambat diri kita sendiri dengan penilaian-penilaian yang terlalu cepat.
Misalnya nih, siapa hayo yang punya kebiasaan buruk sering nggak pede dengan ide sendiri? Mau menulis artikel, belum juga ditulis sudah mikir, “Ih, kok gini amat bahasannya ya? Kan udah banyak yang bahas. Bakalan ada yang baca nggak nih?”
Atau pengin nulis buat lomba, mikirnya, “Ih, tapi idenya kok gini doang? Duh.”
Begitulah, Maks. Kalau kita menilai ide-ide kita terlalu dini dalam berproses kreatif, kita pasti kemudian kurang keras berusaha, dan akhirnya hasilnya juga nggak akan maksimal.
Begitu juga sebaliknya, Maks. Kalau kita kepedean, itu juga nggak memberikan hasil yang baik. Misalnya nih, mau ikut lomba blogging, terus pede abis deh sama ide diri sendiri. Lalu meremehkan tulisan orang lain. Terus, pas kalah, baper deh. Hehehe.
So, harus bagaimana dong?
Ya, biarkan saja ide-ide mengalir apa adanya. Jangan dinilai dulu. Olah, dan proses ide tersebut hingga tereksekusi dengan baik.
Biarkan penilaian nanti datang pada akhir proses.
2. Malas bereksplorasi
Kadang saat sedang mengeksplorasi ide, kita malas menggali ide lebih dalam lagi.
Misalnya nih, Maks. Mau ikut lomba blogging. Sudah merasa mendapatkan ide yang bagus. Sudah pula dieksekusi. Lalu, cepat puas.
“Udah ah. Segini aja udah oke kok.”
Setelah pemenang diumumkan, takjub sendiri, karena lihat pemenangnya gila-gilaan eksekusinya.
Nah loh. Yang kemarin merasa sudah puas siapa ya? Hehehe.
Termasuk di dalamnya adalah keberanian untuk breaking the rules. Maksudnya sih, bukannya melanggar ketentuan atau etika juga sih.
Gampangnya ilustrasinya begini.
Emaks kenal Eka Kurniawan? Jika penulis-penulis lain mungkin tidak akan memakai diksi-diksi yang tak pantas, Eka Kurniawan dengan bebasnya menggunakan kata-kata yang katanya melanggar norma itu dalam bukunya yang berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.
Ada yang belum baca buku Eka Kurniawan yang ini? Well, kalau memang mau membacanya, saya sarankan sih bebaskan diri dulu dari berbagai ikatan norma kesusilaan yang berlaku di masyarakat kita, maka pasti akan bisa menikmati dan bisa menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh Eka Kurniawan di situ.
Kreativitas butuh ruang eksplorasi yang luas, butuh kesempatan untuk dikembangkan, dan butuh keberanian untuk mengambil risiko.
3. Takut gagal
Maks, kita nggak akan bisa kreatif kalau kita takut gagal. Setuju?
Jika tujuan Emaks dalam hidup hanya untuk menghindari kegagalan dan kesalahan, maka mendingan bobok aja deh. Nggak usah ngapa-ngapain.
Karena, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, kreativitas berarti berani mengambil risiko, dan mau menjelajahi segala kemungkinan dan peluang yang ada.
Ide bagus itu datang setelah berbagai kesalahan, kegagalan, dan kebodohan kita lakukan. Percaya deh.
Tahu kan, berapa kali Thomas Alva Edison harus melakukan percobaan sebelum bisa menemukan lampu pijar?
4. Membandingkan diri dengan orang lain
Ketika kita selalu saja membandingkan diri dengan orang lain, maka bisa dibilang kita tengah merampok diri sendiri dari proses kreativitas yang barangkali sedang kita lakukan.
Duh, emak yang itu kok enak ya, jalan-jalan terus ke luar negeri.
Ih, emak yang itu kok bisa ya, datang ke event terus. Aku kok susah amat mau keluar rumah sebentar aja?
Hayo, siapa yang suka ngiri gitu?
Sini, Mak. Kita gandengan. Soalnya saya juga gitu.
Hahaha. Iya, saya juga dulu suka mikir begitu. Jujur deh. Kebiasaan buruk suka ngiri, baper endebre endebre, itu sudah pernah saya rasakan.
Tapi, saya nggak mau bikin diri sendiri susah. Pasti ada jalan lain, saya pasti bisa melakukan sesuatu yang lain yang bisa bermanfaat bagi sesama saya, juga buat diri saya sendiri.
So, ketimbang cuma ngeliatin orang lain (yang aslinya saja kita juga nggak tahu aslinya kayak gimana, karena kita cuma melihat mereka dari media sosial atau dari kejauhan saja), lebih baik saya gunakan waktu saya untuk berproses kreatif ala saya sendiri. Saya tetapkan standar kreativitas saya sendiri, saya melakukan hal-hal yang bikin saya bahagia, dan akhirnya bisa berhenti sama sekali membandingkan diri dengan orang lain.
I make my own path and be consistent.
Kita nggak perlu sama dengan orang lain kok, Maks. We can be ourself, yang berbeda dan punya peran tersendiri di mana pun kita berada.
5. Nggak tahan kritik
Feedback itu selalu baik bagi diri kita. Tapi, feedback itu memang ada dua macam: kritik dan cela. Nah, keduanya punya batas tipis yang sama memang ya. Hehehe.
Saya ingat tulisan Mbak Okke Sepatumerah, seorang penulis novel dan blogger, di salah satu postingannya di blog.
Nyela adalah ketika kau mematahkan semangat orang dengan kata-katamu. Ngritik adalah ketika kau meyakinkan orang lain bahwa ia bisa melakukannya dengan lebih baik.
Antara ‘Ih, jelek banget sih ini?’ dengan ‘Ini masih bisa disempurnakan lagi.’ beda dong ya?
Nyela ketika kau ‘menyerang’ seseorang, ngritik adalah ketika kau fokus pada pekerjaannya, bukan pada dia secara personal.
Nyela ketika kau cuma bilang hal-hal buruk tanpa solusi. Ngritik, kau datang dengan solusi.
Nyela adalah ketika kau impoten menempatkan dirimu di posisi orang yang bersangkutan; kau lakukan di depan umum, kau bandingkan dirinya dengan orang lain. Ngritik adalah ketika kau bisa berempati, membayangkan apa rasanya berada di posisinya.
Nyela adalah ketika kau lupa (secara subjektif) bahwa ada hal-hal baik juga yang pernah dilakukan seseorang (karena keburu sebel misalnya). Ngritik adalah ketika kau dengan objektif melihat bahwa ada kualitas baik juga dari dirinya dan tanpa ragu mengemukakan hal tersebut.
Tapi yang paling penting adalah, ngritik itu karena kau peduli pada seseorang dan ingin ia menjadi lebih baik lagi. Kalau nyela? Ya gitu deh.
Hahaha. Sayang, tulisan Mbak Okke yang ini sudah terhapus. Tapi iya, saya simpan di salah satu artikel saya di blog. Jadi saya masih bisa kutipkan, meski nggak bisa saya kasih tautan.
Yang saya garis bawahi di sini adalah kita sebagai si penerima kritik dan cela itu. Butuh akal sehat memang ya. Hehehe.
Kalau saya pribadi sih berusaha selalu mendengarkan setiap kritik, masukan, dan celaan yang datang. Meski bapernya bukan kepalang, biasanya saya mencoba untuk mencari dan menggali lebih jauh, apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh si pengritik. Kalau saya nangkep, berarti saya rephrase sendiri saja hingga menjadi kalimat yang lebih bisa saya terima dan akhirnya bisa menjadi catatan perbaikan diri saya selanjutnya.
Kalau saya nggak nangkep maksudnya apa? Ya sudah, barangkali memang frekuensinya beda. Hahaha.
Take it easy. No baper.
Kita semua membutuhkan seseorang yang bisa memberi masukan; dari situlah kemudian kita bisa memperbaiki yang bisa diperbaiki. Takut kritik berarti kita takut bertumbuh.
Kreatif bukan berarti melulu soal seni. Mak Tanti Amelia kreatif, karena bisa doodle. Emak Gaoel Winda Krisnadefa kreatif, karena handlettering-nya jago.
No, bukan begitu yang dinamakan kreatif. Kreativitas adalah suatu keterampilan menyelesaikan masalah, dan menemukan solusi yang tidak atau belum dipikirkan oleh orang lain.
So, jika Emaks pengin kreatif, maka peliharalah kreativitas Emaks dan hentikan kebiasaan buruk yang bisa merusak kreativitas seperti di atas. Cobalah untuk berpikir sedikit di luar comfort zone, jangan biarkan diri sendiri menghambat proses kreatif kita.
Yuk, segera hentikan kebiasaan buruk yang merusak kreativitas Emaks.
Iya… Emang kadang baper loh, baper maksimal pula.. Oke segera dihentikan dengan karya amiiin