Cerita tentang buruknya pelayanan bagi pasien pengguna BPJS sudah membentuk imej tersendiri dalam benak saya. Bagaimana tidak? Bukan satu dua kali saya mendengarkan cerita tentang buruknya pelayanan bagi pasien BPJS. Sudah berulang kali, termasuk dari mereka yang mengalaminya langsung. So, wajar jika kemudian saya sempat paranoid menggunakan BPJS saat berobat ke tempat-tempat pelayanan kesehatan terutama yang dikelola oleh pemerintah.
Sampai kemudian satu tahun yang lalu, adik divonis dokter menderita usus buntu akut. Hampir semua dokter yang didatangi menyarankan agar segera dioperasi, termasuk dokter spesialis penyakit dalam terbaik di kota kami.
Sempat mencari informasi tentang berapa biaya operasi usus buntuk untuk pasien umum (tanpa BPJS). Nominalnya sempat membuat kami sekeluarga lemas. Nominal yang pastinya tidak murah untuk ukuran kami. Jangankan untuk biaya operasi, untuk cek ke dokter spesialis saja kemaren sempat meringis.
Akhirnya, mau tidak mau kami berinisiatif mengurus BPJS mandiri. Bapak yang level paranoidnya lebih tinggi dari saya, menyarankan agar mengambil kelas II. Empat orang anggota keluarga yang belum tercover askes/bpjs, mau tidak maupun harus ikut didaftarkan sebagai peserta BPJS mandiri.
Setelah BPJS aktif, kami masih belum melaksanakan saran dokter agar segera melaksanakan operasi usus buntu. Kami masih berharap adik sembuh dengan pengobatan herbal yang diamalkannya beberapa bulan belakangan. Harapan tersebut semakin besar, ketika beberapa bulan belakangan ini gejala usus buntu tidak pernah lagi hadir.
Namun, harapan tersebut sirna ketika awal tahun ini gejala usus buntu kembali dirasakan oleh adik. Kami kembali membawanya ke dokter spesialis penyakit dalam. Dan, lagi-lagi dokter menyarankan agar adik segera dirujuk ke poli bedah untuk dioperasi.
Saran yang sama berulangkali membuat kami takut untuk mengabaikannya lagi. BPJS kesehatan yang sudah aktif, sedikit membuat tulang punggung kami lebih kuat melangkah menuju poli bedah. Meski berbagai kekhawatiran itu masih saja berkecamuk dalam hati. Kekhawatiran melepaskan adik untuk dioperasi, kekhawatiran akan diabaikan sebagai pasien bpjs, hingga berbagai kekhawatiran lain yang masih berkecamuk di kepala.
Walau demikian kami tetap melangkah dengan pilihan ini. Sebab memang kami tidak punya pilihan lain yang lebih baik untuk saat ini.
Berbekal surat rujukan dari fasilitas kesehatan, kami melangkah ke poli bedah Rumah Sakit Kasih Ibu kota Rengat. Di bagian pendaftaran kami ditanya menggunakan BPJS atau umum. Kami menjawab menggunakan BPJS, sambil menyerahkan surat rujukan dan persyaratan lain yang dibutuhkan. Setelah menginput data dan informasi yang dibutuhkan, petugas mempersilahkan kami untuk menunggu di ruang tunggu.
Di ruang tunggu berbagai kekhawatiran masih muncul. Cerita-cerita tentang pasien BPJS yang diabaikan kembali berseliweran di kepala. Berulangkali saya berusaha untuk menepisnya dengan meyakinkan diri bahwa petugas medis di rumah sakit ini pasti akan memberikan pelayanan terbaik mereka.
Tidak perlu menunggu waktu lama, kami dipanggil ke poli bedah. Dokter kembali memeriksa perut adik. Beliau memastikan bahwa itu benar gejala usus buntu akut dan sebaiknya segera dioperasi. Beliau menanyakan apakah kami menggunakan BPJS Kesehatan?
Setelah memastikan kami menggunakan BPJS Kesehatan dan kesiapan pasien dioperasi, dokter memberikan jadwal operasi usus buntu. Di luar dugaan, jadwal operasinya ternyata malam hari itu juga.
Singkat cerita, malam hari itu juga adik dioperasi malam itu juga dengan biaya ditanggung sepenuhnya oleh BPJS Kesehatan. Lalu benarkah isu-isu pelayanan yang kurang memuaskan terhadap pasien BPJS tersebut?
Selama mendampingi adik ke bagian pendaftaran, poli bedah, ruang operasi, hingga dirawat inap selama 2 hari 3 malam menggunakan BPJS Kesehatan di Rumah Sakit Kasih Ibu Kota Rengat saya bisa menyimpulkan bahwa:
- Petugas bagian informasi dan pendaftaran faskes selalu memastikan dan menyarankan pasien untuk menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan. Hal ini terasa sekali ketika pertama kali datang ke bagian informasi dan pendaftaran. Hal pertama yang ditanyakan oleh petugas ketika kami menyampaikan keperluan kami adalah apakah kami menggunakan layanan BPJS kesehatan?
Di rumah sakit ini juga terdapat counter pendaftaran BPJS Kesehatan. Jadi, bagi pasien yang belum menggunakan BPJS Kesehatan bisa diarahkan ke counter BPJS Kesehatan tersebut untuk mendapatkan informasi tentang layanan BPJS lebih lanjut. Sehingga, semua masyarakat yang berobat ke rumah sakit tersebut mendapatkan edukasi yang benar tentang pentingnya menjadi peserta BPJS Kesehatan.
- Pasien BPJS Kesehatan tetap mendapatkan pelayanan yang baik dari faskes. Saya memang sempat paranoid, khawatir berlebihan akan diperlakukan tidak adil. Apalagi setelah sering mendengarkan testimoni ketidak puasan dari mantan pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan. Namun semua itu termentahkan setelah saya menyaksikan sendiri pelayanan di rumah sakit kasih ibu ini terhadap pasien BPJS Kesehatan. Kami sama sekali tidak merasa diabaikan. Kami juga tidak merasa dianak tirikan. Kami dilayani sesuai dengan nomor antrian, tidak diakhirkan seperti yang saya dengar selama ini. Pelayanan obat, kontrol dokter, perawat dan makanan bagi pasien pun diberikan sebagaimana mestinya. Tidak ada deskriminasi seperti yang sering saya dengar selama ini.
Pelayanan baik ini terbukti dari cepatnya proses pemulihan pasien pasca operasi. Pasca operasi, adik saya menjalani rawat inap selama 2 hari dan diperbolehkan pulang untuk selanjutnya menjalani rawat jalan. Selama rawat jalan adik saya diwajibkan kontrol setiap 3 hari sekali. Tidak butuh waktu lama, hanya dua kali kontrol luka bekas operasi dinyatakan sembuh total dan tidak perlu kontrol lagi. Alhamdulillah, semua obat, biaya rawat inap, dan kontrol rawat jalan tercover BPJS. Kami Cuma membayar biaya selisih harga kamar karena mengambil kamar VVIP di atas kelas layanan BPJS kelas II yang kami miliki.
- Ada komunikasi yang baik dari petugas BPJS jika terdapat kelebihan biaya yang harus dibayar. Sebagaimana disampaikan di awal kami menggunakan BPJS kelas II. Jadi untuk rawat inap hanya berhak menggunakan layanan kamar kelas II. Tapi ternyata kamar kelas II penuh, tersisa cuma kamar VVIP. Untuk naik kelas pastinya dibutuhkan biaya tambahan di luar layanan BPJS Kesehatan kelas II.
Kondisi kamar dan kelebihan biaya tersebut dikomunikasikan dengan baik oleh petugas BPJS kepada kami sebelum masuk ruang perawatan. Semua rincian tambahan biaya dijelaskan dengan sangat gamblang sebelum ditandatangani. Kami diberi kebebasan menerima atau menolak kenaikan kelas tersebut.
Demikianlah sekilas pengalaman saya menggunakan layanan BPJS Kesehatan. Jadi, menurut hemat saya tidak ada alasan bagi kita untuk takut diabaikan sebagai pasien BPJS. Kalau pun ada yang merasa terabaikan, mungkin saja memang antrian pasiennya lagi ramai. Sehingga fasilitas kesehatan tidak bisa melayani dengan cepat.
***
Benarkah Pasien BPJS Diabaikan, merupakan post trigger #KEBloggingCollab untuk kelompok Yohana yang ditulis oleh Neti Suriana.
Neti, blogger dengan url blog http://netisuriana.blogspot.co.id
Saya merasa puas dong dengan pelayanan berbagai fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS kesehatan. Soalnua saya sudah mendapat berbagai manfaat menggunakan BPJS yaitu: operasi cabut gigi bungsu dua kali di RSUP Sanglah, dapat klaim lensa kacamata baru (saya nggak beli frame baru) dan yang terakhir saya bisa operasi amandel dan rawat inap dengan pelayanan yang baik sekali dari rumah sakit, baik perawat, dokter, farmasi dan petugas administrasinya. Cerita tentang saya menggunakan BPJS Kesehatan untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan saya tulis juga di blog 🙂