Menjadi orang tua memang tidaklah mudah. Tingkah laku anak-anak sering kali membuat orang tua pusing. Mau itu saat anak-anak masih bayi, ketika agak besar, remaja, atau bahkan sudah dewasa, ada saja yang membuat kening orang tua berkerut. Ditambah dengan tekanan yang ditimbulkan dari masalah lain, tak jarang, kesabaran yang ditahan saat menghadapi keadaan ini, akhirnya jebol. Dan, tak sengaja berteriak pada anak, jadi solusinya.
Banyak orang tua percaya, teriakan adalah salah bentuk pendisiplinan anak. Supaya anak menurut dengan apa yang diinginkan orang tua. Bahkan untuk orang tua yang masih memegang cara ‘kolot’ dalam mendidik anak, teriakan bukan hanya dilakukan saat sedang marah atau tidak sabar saja. Dalam kesehariannya pun demikian. Mendidik anak dengan keras supaya anak disiplin.
Baca Juga tentang Tegas Kepada Anak, Bukan Kejam
Seorang professor Dunia Pendidikan Anak Usia Dini dan Sekolah Dasar dari Universitas Concordia, Nina Howe, mengatakan bahwa teriakan bukanlah cara efektif dalam mendisiplinkan anak. Itu justru hanya akan menjadikan orang tua, model yang mencontohkan teriakan sebagai strategi di dalam menyelesaikan masalah. Dan strategi tersebut hanya akan memperburuk masalah saja. Seringnya, saat anak diteriaki untuk berhenti atau tidak melakukan hal yang kita larang, mereka malah meneruskannya.
Dari sisi psikologi, berteriak pada anak akan melukai perasaannya, sebab anak itu memiliki sistem saraf yang sangat sensitif. Berteriak itu sangat menakutkan. Agresif dan mengintimidasi. Jika pun anak-anak menuruti apa yang kita minta saat kita teriak, itu bukanlah caranya yang berhasil. Anak-anak hanya takut dan ingin kita berhenti berteriak. Jika ini terus menerus seperti itu, anak-anak akan belajar dari apa yang mereka lihat. Dan kemudian menjadi orang yang berteriak ketika mengalami masalah.
Apa yang sebaiknya dilakukan jika kita terlanjur mendidik anak dengan teriakan? Sembilan cara ini mungkin bisa dilakukan mengantisipasi berteriak pada anak.
- Kenali Pemicu Teriakan
Berteriak tidak terjadi tiba-tiba. Biasanya ada hal yang membuat kita merespon demikian. Ya, ada pemicunya. Dan jika kita bisa tahu apa penyebabnya, menghindarinya adalah hal yang paling mungkin dilakukan. Misalnya saja ketika capek sepulang kerja tetapi harus memasak makan malam, dan anak-anak ribut dengan mainannya. Hal yang mungkin bisa dilakukan adalah membuat menu makan malam yang sederhana supaya tidak membuat diri semakin capek. Dan lalu menyalakan lagu favorit atau sambil menonton video komedi. Hal ini dilakukan untuk membuat pikiran lebih rileks sekaligus mengalihkan perhatian dari anak-anak yang sedang ribut.
- Memberi peringatan kepada anak
Memberi peringatan bahwa kita marah kepada anak, misalnya ketika mereka bertengkar, bisa memberi hasil yang lebih baik daripada berteriak pada anak. Peringatan juga berarti memberi kesempatan bagi anak untuk bersiap-siap. Jadi sebaiknya, kita memberikan mereka waktu. Barulah saat mereka tak memenuhinya, kita marah. Dan ini membuat anak siap dengan marahnya kita. Bisa jadi, di saat tersebut, anak sudah merasa bahwa mereka salah dan mengerti jika kita marah. Tapi tentu, kita marahnya bukan dengan teriakan.
- Menenangkan diri sebentar
Saat sedang marah, ada baiknya kita menjauh sebentar dari anak-anak. Misalnya saja dengan pergi ke kamar mandi. Di sana, kita bisa cuci muka, mengepalkan tangan sekuat-kuatnya, menghubungi pasangan kita untuk meminta pendapat, atau bahkan berteriak (bukan kepada anak). Beberapa menit saja di dalam kamar mandi bisa membuat diri jauh lebih tenang. Sehingga ketika menghadapi anak-anak lagi, kita sudah bisa mengontrol emosi, untuk tidak berteriak pada.
- Katakan hikmahnya belakangan saja
Saat marah, kita biasanya banyak berkata-kata. Termasuk pada yang harus dipelajari atau hikmah yang bisa didapat ketika kita marah, oleh anak-anak. Itu memang bagus, supaya anak-anak mengingat apa yang akan menjadi konsekuensi jika mereka membuat ‘onar’ dengan kita. Tapi hal itu ada baiknya dilakukan nanti belakangan saja. Yaitu ketika kita dan anak-anak sudah tenang. Ini jauh lebih efektif diingat anak-anak.
- Mengetahui kebiasaan yang normal
Ini wajib kita tahu. Kebiasaan normal yang terjadi pada anak-anak pada tiap tahap usia. Misalnya saja persaingan adik-kakak, kecemburuan di antara saudara, adu mulut, kebiasaan anak meniru gaya orang dewasa yang mungkin tidak sopan, dan lain-lain. Mengenali hal ini sebagai sesuatu yang normal dan wajar terjadi pada anak-anak akan membuat kita lebih kalem. Sehingga tidak menjadikan kita mudah terpancing emosi yang akhirnya meledak berteriak.
- Proaktif
Proaktif di sini adalah melakukan sesuatu hal yang bisa mencegah terjadinya keributan yang akan memacu kita berteriak pada anak. Sebagai contoh, kita kesal dengan anak-anak yang selalu ribut saat mencari kaus kaki ketika akan pergi sekolah di pagi hari. Agar hal itu tak terjadi, kita simpan kaus kaki kaus kaki mereka di meja makan. Jadi saat sarapan akan pergi sekolah, mereka sudah melihatnya.
- Sesuaikan harapan kita
Sebagai orang tua, kita tentu berharap anak kita bisa melakukan apa pun seperti yang kita harapkan. Jadi ketika anak tidak seperti yang kita harapkan, kita kecewa. Ujung-ujungnya, kita meledak-ledak berteriak tentang hal itu. Agar teriakan bisa berkurang, menyesuaikan harapan kita dengan kemampuan anak tentu akan lebih baik. Menerapkan ekspektasi yang tak terlalu tinggi pada anak akan membuat kita lebih tenang. Untuk itu, sebelum menerapkan harapan atau ekspektasi, pastikan kita mengenal kemampuan anak terlebih dahulu.
- Kenali dulu mana definisi ‘Tentang saya’ dan bukan ‘Tentang kelakuan anak’
Yang satu ini bisa dikatakan sebagai: melampiaskan kekesalam yang terjadi pada diri kita kepada anak. Misalnya saja berteriak kepada anak yang tak mau makan lagi, padahal sudah kenyang ketika kita baru saja menerima telepon tunggakan yang jatuh tempo. Tak ada hubungannya. Di sini jelas, kita kesal pada sesuatu yang terjadi pada diri kita, tapi marah-marah kepada anak. Untuk hal ini, yang urgent kita lakukan adalah melatih diri kita untuk mengontrol emosi.
- Meminta maaf
Ya, ini yang penting kita lakukan jika kita sudah berteriak-teriak kepada anak. Meminta maaf atas apa yang sudah terjadi. Meminta maaf kepada anak tak menjadikan kita tidak berwibawa di hadapan mereka. Sebaliknya, ini akan menyambungkan perasaan anak-anak yang hancur saat kita berteriak. Anak-anak biasanya berhati lembut. Mereka akan menerima ucapan maaf kita. Nah dalam situasi seperti itu, kita bisa dengan mudah mengatakan apa yang kita harapkan dan penyebab kita berteriak. Saat tersebut juga bisa dijadikan ajang saling berjanji. Di mana masing-masing tak akan melakukan hal yang sama lagi. Dan ini lumayan efektif.
Itulah 9 hal yang bisa kita lakukan dalam mengatasi dan mencegah teriakan-teriakan dalam mendidik anak. Pastikan kita selalu ingat bahwa kita lebih berpengalaman daripada anak-anak. So nantinya, kita akan lebih mudah memaklumi daripada langsung berteriak akan kesalahan yang sudah terjadi.
Patut diingat juga bahwa ada teriakan-teriakan yang diperbolehkan di dalam mendidik anak. Misalnya saja berteriak saat mendapat kebahagian sebagai ungkapan hati yang senang; serta teriakan peringatan kepada anak agar terhindar dari celaka saat hampir celaka. “Amel jalannya yang bener! Itu di depan ada got!” Semoga bermanfaat.
***
Nia Haryanto, nara blog pada www.niaharyanto.com
Ibu empat orang anak, lulusan Departemen Biologi ITB, yang kini berprofesi sebagai pekerja lepas di bidang kepenulisan.
saya setuju dgn poin ke 9 tapi kebanyakan orangtua enggan meminta maaf pada anak meskipun orang tua yang salah. Menurut saya itu bkn hal yang bagus, secara tidak langsung kita mengajarkan “orang tua tidak perlu minta maaf” kepada anak.