Film Ford v Ferrari sudah tayang di bioskop-bioskop di Indonesia. Dibintangi oleh dua orang peraih piala Oscar, Matt Damon dan Christian Bale, film yang mendapat banyak pujian ini berlatar belakang dunia balapan mobil internasional. Apakah film ini layak ditonton oleh pecinta otomotif atau penonton umum bisa menikmatinya?
Ford v Ferrari, Satu Kisah Nyata
Awal tahun 2000an aku sempat mengikuti update berita-berita seputar F-1. Tentu saja ditambah nonton seri balapnya. Kalau orang-orang lain mengidolakan Michael Schumacher sebagai langganan juara, atau Jensen Button pembalap Inggris yang ganteng itu, aku malah ngefans berat dengan Juan Pablo Montoya. Langganan juara? Bukan. Ganteng? Enggak juga.
Alasannya gampang aja, sih. Untuk arena olahaga aku tuh tipikal anti kemapanan. Bosen dengan dominasi yang itu-itu saja. Lah alasannya aneh nggak, sih? Eh tapi, bukan sekadar bosen sama Schummy (panggilan buat Michael Schumacer).
Nekatnya Montoya di lintasan balapan plus war-waran yang dimuntahkannya yang dilansir media, membuat ajang F1 jadi menarik buat diikuti. Enggak ada rebut, enggak rame huehehe…
Kalau di arena,drama tikung menikung, riweuhnya di pit stop misalnya, jadi part yang enggak boleh dilewatkan. Yang pernah ngikutin serial F1 pasti inget Juan Pablo Montoya ini punya julukan El Loco atau Si Gila. Ya memang kalau liat dia bawa mobil kayak orang kesurupan, sih.
Belakangan aku baru tahu kalau ternyata ada pembalap yang lebih gila dan nekat dari Montoya. Dia adalah Ken Miles, pembalap legendaris tahun 60an yang kisahnya diangkat dalam Film Ford v Ferrari.
Pembuka film diangkat dengan masalah yang dialami oleh Caroll Shelby (Matt Damon) dan Ken Miles (Christian Bale). Shelby seorang bos penjualan mobil dan Ken seorang pembalap yang mengerti betul dalaman mobil, punya utang banyak dan terancam bangkrut.
Di tempat lain, Lee Lacocca (John Berrnthal), karyawan Ford Mobil sedang berusaha meyakinkan bosnya untuk meningkatkan performa perusahaannya. Rencana merger Ford dengan Ferrari yang mentok membuatnya mengubah haluan. Ditambah lagi serangkaian meeting yang sudah dilakukan berakhir dengan menyebalkan.
Ferrari ‘ngenyek’ Ford – yang meskipun menjual lebih banyak unit kendaraan tapi bukan kelasnya Ferarri. Fordnya juga rese sih buatku karena menawarkan kesepakatan yang bikin calon kliennya meradang.
Kepalang malu dan kesal, Henry Ford II mengutus Lee Lacocca untuk mencari orang yang ngerti mobil untuk memasuki arena balap mobil sebagai pembuktian pada Ferrari kalau mereka salah besar sudah mencampakkan Ford. Lee pun akhirnya bertemu dengan Shelby.
Rencana enggak berjalan mulus. Ketakutan dari Molly, istrinya Ken dan campur tangan orang-orang di sekeliling Ford membuat kesepakatan yang sudah dijajaki jadi kacau. Ken memang gila, nekat dan urakan. Namun di luar itu Ken adalah tipe family man. Dia sangat menyayangi Molly dan Peter anaknya.
Ada satu momen ketika Ken ngobrol dengan Peter soal lintas. Cuma obrolan teknis soal hobi dua lelaki yang tergila-gila balapan, tapi feelnya ngena banget. Dengan latar langit yang membiru dan bias lampu yang diseting bokeh, suasana yang tebangun jadi terasa hangat dan mesara. Ya obrolan di antara keduanya, ya set kameranya. Juara. Buatku film ini bisa masuk nominasi Best Picture Oscar, lho.
Kembali ke lintasan balapan. Grand Prix Le Mans di Perancis adalah arena balapan bergengsi pada masa itu. Sirkuitnya yang sempit, kasar dan tidak rata menantang nyali pembalap dan kru pit stop untuk menampilkan performa terbaik selama balapan berlangsung.
Shelby dan Ken mencurahkan ide-ide terbaiknya untuk mejadi jagoan ngebut dan mengalahkan kompetitor lainnya. Selain Ferrari sebagai musuh bersama yang harus dikalahkan, tongkrongan kerennya Mc Laren jadi bagian menghibur dalam film ini, mengingat desain rangka mobil tahun 60an terasa jadul banget.
Tapi bagi Shelby dan Ken, desain luar mobil itu urusan belakangan. Ken bukan cuma tau pake, ia juga punya andil bersama Shelby, mengutak-gatik mobil. Mana spare part yang harus diganti atau ditambahkan, atau ngegasnya Ken memacu mobil sampai 7.000 rpm, seakan-akan mobil yang dipacunya melayang di atas lintasan.
Dibanding film kebut-kebutan lain, let’s say rangkaian film Fast and Furrios film Ford v Ferrari ini kental banget dengan aroma otomotifnya. Tapi enggak bikin bosen juga buat yang enggak mudeng sama sekali dunia yang identik dengan kesan macho ini.
Saling Tikung di Luar Arena
Durasi film sepanjang 152 menit bukan hanya bercerita printilan teknis onderdil mobil. Drama keluarga dan intrik dalam bisnis menjadi hal yang menarik selama menonton. Persaingan sengit antara Ford dan Ferrari tidak lepas juga dari recokan orang-orang di sekitar bos besar.
Meski ngeselin, Shelby enggak peduli ancaman atau paksaan dari orang-orangnya Ford. Fokus Shelby hanya satu, membuktikan kalau pilihannya Ken sebagai orang yang tepat di balik kemudi Ford itu enggak salah.
Cuekin saja bahasa mesin yang keluar saat Shelby dan Ken ngobrol. Alur cerita yang kuat dan fokus pada satu gagasan jadi kelebihan dari film besutannya James Mangold ini. Meskipun para pemain di sini kurang ganteng dan mempesona dengan film sejenis lainnya, atau beberapa part dalam film tidak sama persis atau jauh beda dengan kisah sebetulnya, Ford Ferrari bukan cuma menghibur tapi layak masuk sebagai nominasi Oscar.
So, sebelum film-film liburan akhir tahun menyerbu cinema, mending sempetin aja nonton film Ford v Ferrari ini ya, Mak. Aku jamin enggak nyesel menghabiskan dua jam setengah nonton buat nonton film ini. 4,5 dari 5 bintang aku kasih buat film ini.