Mak, siapa yang belum pernah nyicipin burger McDonald’s? Resto makanan cepat saji yang mengadopsi nama penggagasnya McDonald’s ini sudah ada di Amerika sejak tahun 1940. McDonald’s ini yang pertama kali mengenalkan layanan cepat order. Hanya dalam 30 detik saja, pesanan makanan sudah bisa bisa disantap. Tapi Mak, McDonald’s ini mencatat sejarah pahit dalam perkembangannya. Sejarah pahit ini diangkat dalam film The Founder yang rilis tahun 2017 lalu. Belum terlalu lama kan, ya?
Ulasan Film The Founder (2017)
Cerita Film The Founder dimulai pada tahun 1954 ketika seorang penjual mixer susu kocok alias milk shake bernama Ray Kroc yang diperankan Michael Keaton (yang pernah jadi Adrian Vulture di film Spider Home Coming dan jadi Bruce Wayne untuk film Batman tahun 1989 itu. Sudah tua, tapi tetap prima aktingnya. Saya sendiri surprise karena enggak menyangka umur segitu tetap bugar).
Ray Kroc ini adalah penjual segala ada. Semua bisnis dijajalnya. Termasuk mixer susu kocok itu. Ethel (Laura Dern), istrinya mengeluh kalau Korc terlalu sibuk dengan bisnisnya. Padahal dia enggak menuntut banyak.
Suatu hari, kesal dengan pelayanan Resto Griffith’s ala drive in yang kelamaan menyajikan pesanan (sudah gitu salah pula kasih orderan), Kroc tidak sengaja menemukan resto McDonald yang antriannya panjang dan tidak lama. Hanya 30 detik, burger, kentang goreng dan cola sudah siap.
“Ini benar pesanan saya?”
“Iya, Sir,” kata pelayanannya.
“Tidak pakai piring? Saya makannya di mana?”
“Sir, Anda bisa makan langsung dan bisa makan di mana saja yang Anda mau.”
Setelah itu Kroc makan di salah satu bangku dan terpana dengan pemandangan yang dilihatnya. Waktu itu Korc duduk di bangku dempet-dempetan dengan seorang ibu dan 4 rombongan anaknya.
Di sini, kamera secara dramatis mengambil ekspresi orang-orang yang begitu menikmati burger ala McDonald’s. Sebagai penonton, saya ikut merasakan keterpanaan Kroc dengan situasi yang baru pertama kali dilihat. Dengan tone vintage ala 50an saya enggak ragu buat lanjut terus nonton filmnya.
Beda dengan nonton di bioskop di mana saya bisa bertahan nonton film sampai selesai, kalau film tidak asyik di aplikasi dengan gampangnya saya skip. Enggak penasaran buat nonton sampai habis. Tapi beneran cerita dan eksekusi teknis film garapannya John Lee Hancock ini apik banget.
Oke, lanjut lagi, ya.
Dasar rejekinya Kroc, dia ketemu Mac McDonald yang lagi nyapu. Iyes, enggak salah Mak. Nih owner restonya terjun langsung ikut mengelola restonya dan enggak malu harus menyapu.
Setelah itu keberuntungan Kroc kembali datang. Mac mengenalkan adiknya Dick, yang juga mengelola bisnis resto ini. Kesalahan fatal banget bagi keduanya. Selain memperlihatkan langsung dapur dan bagaimana speed system yang dikembangkan keduanya, membuat si tukang mixer ini tertarik untuk bergabung.
“Waralaba!” Seru Kroc antusias.
Sementara duo bersaudara itu bengong. Cuek, biasa aja nyambut ide itu.
“Maksudnya gimana?”
“Iya, kita bikin franchise. Aku bantu kalian mengembangakan bisnis ini. Di perjalanan tadi aku lihat lahan yang cocok untuk membuka gerai baru. Pasti bakal laris.”
Dick spontan menolak. “Enggak, enggak” katanya. Bukannya apriori. Sebelum Kroc, sudah ada yang menawarkan bisnis waralaba itu dan hasilnya zonk. “Mereka malah menjual produk lain selain produk kami,” keluhnya.
“Ya bikin aja sistem kendali mutu,” Kroc tidak mau nyerah.
Setelah debat ini itu, akhirnya dua bersaudara itu mau juga ngikutin idenya Kroc. Satu demi satu franchise berkembang pesat. Tapi Kroc tidak puas dengan bagi hasil yang dibagi dengan rekanannya itu. Dia cuma dapat 1,4% dari keuntungan yang didapat. Belum lagi biaya ini itu, termasuk salah satunya mesin mik shake yang lumayan gede.
Atas ide dari Joan, selingkuhannya Korc, mengefisienkan biaya penyediaan susu kocok jadi dalam kemasan sachet.
Setiap gerai tidak usah lagi pusing mikirin biaya milk shake regular, karena untuk menyajikan susu kocok itu mereka cuma perlu serbu milk shake instan dan nambahin es batu aja. Mesin-mesin pendingin? Singkirkan!
Apa yang dilakukan Kroc tidak disetujui sama Dirk. Meski efisien, itu ga bener, ga sesuai SOPnya. Di sisi lain Kroc juga dibuat sebel karena Dirk begitu kaku, keras kepala dan ga mau membuka kesempatan untuk negosiasi ulang.
Terjepit biaya warabala yang semakin mencekik dan rumah yang digadaikan terancam kena sita, Kroc beruntung ketemu Harry Sonneborn (B.J Novak) Yang jadi konsultan bisnisnya. Dari rekan barunya, ia punya ide selain menghemat biaya operasional juga tetap meraih untung dari setiap rekanan.
Modal baru berupa uang segar bisa segera diputar untuk membuka gerai baru dan seterusnya. Sistemnya kayak gimana, bisa lihat sendiri nanti di filmnya,
Berkat saran Sonneborn barunya ini Kroc berhasil mengakusisi McDonald’s dan diklaim jadi miliknya. Bahkan lisensi bisnis McDonald’s jadi milik Kroc sepenuhnya.
Duo bersaudara itu? Ga dapat apa-apa. Bahkan resto mereka di San Bernadino yang jadi cikal bakal McDonald’s itu ga boleh beroperasi lagi. Hiks. Tragis banget, ya?
Dalam satu scene, Kroc pernah jujur ide nama McDonald itu adalah ide birilian. “Nama kalian beneran Amerika banget. Orang ga akan mau makan di tempatku kalau pake nama Kroc. Terlalu Slavia,” katanya.
Walau ambisius Kroc sebenarnya mudah berkolaborasi. Terbukti ia berhasil menemukan banyak rekanan yang mau bekerjasama. Dia ini pintar meyakinkan orang bisnis yang dia tawarkan punya masa depan cerah, kecuali McDonald bersaudara itu.
Film The Founder ini mengangkat sudut pandang secara netral. Siapa yang jadi antagonis tidak jelas di film ini. Di satu sisi saya merasa terkesan dengan kegigihan (ini yang yang jadi kebanggaan dia) yang dimiliki Kroc. Saya merasa gemes juga dengan sikap Dirk yang keras kepala sementara Mac juga ga berdaya. Kayak ga bisa menentukan sikap. Dirk bilang gitu dia iyes. Kroc ngomong ini dia cuma bengong.
Saya kasian liat Korc yang megap-megap mikirin operasional waralaba yang nyaris sekarat. Bahkan rumahnya di Illinois terancam lepas dari tangannya. Tapi ya saya kesel luar biasa dengan caranya Korc mengambil alih lisensi resto belum lagi ketika dia dengan datarnya ngajak Ethel bubaran alias CERAI dan kelakuan lainnya sama Ethel yang bikin saya pengen nabok.
By the way logo McDonald’s yang kita lihat sekarang dulunya adalah dua lengkung seperti huruf n kecil yang menaungi gerai perdana. Di mata Kroc, dua lengkung ini seperti lengkung bangunan gereja di mana setiap orang mendapatkan santapan rohani. Filosofi ini diadopsi Korc dengan ide di mana setiap orang bisa mendapatkan santapan yang lezat dengan sajian yang ada di McDonald’s.
Pelajaran berharga bagi kita kalau lisensi dan ide itu mahal. Jangan terlalu lugu untuk berbagi dengan orang lain kalau tidak mau ditikung dan berakhir tragis seperti McDonald bersaudara itu.
Kalau saja kalau itu Dirk mau sedikit saja melunak dengan tawaran Korc, mungkin saat anak cucunya bisa menikmati royalti senilai 100 juta dollar setiap tahunnya dari resto cepat saji yang pernah dirintis sejak tahun 1940 itu. Sekali lagi Kroc ini visioner, sangat pintar mengambil alih kepemilikan yang tidak bisa digugat secara hukum.