Saya mengartikan istimewa sebagai sesuatu yang nggak biasa, tidak semua tempat ada, atau tidak semuanya punya. Dalam bidang pemerintahan, Jogja berhak menyandang predikat sebagai salah satu Daerah Istimewa karena perannya saat masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekan Indonesia. Jogja juga istimewa dengan banyaknya pilihan institusi pendidikan, maka disebut sebagai kota pelajar. Beragamnya tempat wisata, Jogja pun menjadi tujuan favorit wisatawan domestik atau mancanegera. Kekayaan kuliner juga membuat Jogja makin istimewa. Setidaknya, ada enam kuliner Jogja yang menurut saya istimewa
Menurut beberapa teman yang pernah berkunjung atau bahkan tinggal sementara di Jogjakarta, banyak kenangan yang nggak bakal dilupakan di Jogja ini. Banyak hal yang menjadikan Jogja sebagai tempat yang sayang kalau cepat-cepat ditinggalkan.
Salah satu yang tak mungkin terlupakan, seperti yang saya tulis di atas, yaitu enam kuliner Jogja yang istimewa. Yang cita rasanya memanjakan lidah bagi siapa pun yang pernah mencicipnya.
Enam kuliner Jogja yang makin istimewa itu adalah:
- GUDEG
Gudeg itu Jogja, dan Jogja itu Gudeg. Rasanya, belum mantep kalau sudah singgah di kota ini tanpa menikmati sayur berbahan dasar buah nangka ini. Beberapa literatur menyebutkan, sejak awal keberadaannya, gudeg adalah makanan rakyat yang sudah ada bahkan sebelum Jogja berdiri. Bahkan bisa dibilang, secara historis gudeg adalah makanan yang terbentuk secara “tak sengaja”.
Dikisahkan, sekitar abad 16 para prajurit Kerajaan Mataram melakukan babat alas, membangun peradaban di sebuah daerah yang kini dikenal sebagai Kotagede. Di hutan tersebut, banyak terdapat pohon nangka dan juga kelapa. Untuk kebutuhan konsumsi, para prajurit kemudian mencari akal, bagaimana memanfaatkan buah nangka muda dan buah kelapa. Akhirnya mereka merebus nangka muda dalam santan, dan mengaduknya. Proses mengaduk itu yang kemudian disebut HANGUDEK, dan kemudian menjadi GUDEG.
Popularitas gudeg menyebar ke seluruh lapisan masyarakat, sampai saat ini. Dalam perkembangannya, muncul bahan-bahan yang identik dengan pelengkap gudeg itu sendiri, seperti ayam, telur, sambal goreng krecek, tahu dan juga tempe. Cara pengolahan gudegpun juga semakin inovatif, dengan munculnya varian gudeg kering.
Saat ini, penyebaran gudeg bisa dibilang merata. Jenis sayuran/makanan ini bisa ditemukan dengan mudah di berbagai sudut Jogja. Meski begitu, daerah yang dikenal sebagai pusatnya warung Gudeg adalah kawasan Wijilan.
- SATE KLATHAK
Bahan dasar sate klathak adalah daging kambing. Ada dua ciri yang membedakan sate ini dengan sate pada umumnya. Pertama, dari segi bumbu, sate ini hanya menggunakan garam sebagai satu-satunya bumbu utama. Kedua, dari segi tusuk yang digunakan. Tak seperti kebanyakan, sate klathak menggunakan jeruji sepeda sebagai tusukan saat daging dipanggang. Tujuannya, agar panas yang dihasilkan lebih mantap, dan juga lebih merata.
Tak banyak referensi yang menceritakan tentang asal-usul penamaan Klathak ini. Ada yang mengaitkan dengan lokasi penjual sate Klathak pertama kali, Mbah Ambyah, warga Pleret Bantul, yang pertama kalinya menjual sate “versi baru” nya di bawah pohon melinjo atau klathak. Ada pula yang menganggap bahwa klathak diambil dari bunyi klathak…klathak, bunyi yang keluar saat daging dibakar.
Sesuai daerah asalnya, warung sate yang menyuguhkan sate klathak sebagai menu utama, banyak dijumpai di daerah Kecamatan Pleret, Bantul, atau sepanjang ruas jalan Jl.Imogiri Timur.
- MIE LETHEK
Ingat kunjungan Obama ke Yogya beberapa waktu lalu? Mie lethek termasuk sajian kuliner yang turut beliau nikmati saat berada di Jogja.
Lethek, dalam bahasa Jawa artinya kotor, kusam, nggak menarik. Begitu juga dengan warna asli mie ini. Sengaja, warna mie berbahan dasar tepung tapioka dan gaplek ini dibiarkan dalam warna aslinya, keruh kecoklatan tanpa tambahan pewarna, pengawet, maupun penyedap rasa. Cara pembuatannya pun masih tradisional. Tapi kealamian mie inilah, yang justru menjadi kekuatan utama mie lethek dalam memikat hati penikmatnya.
Secara fisik, mie ini mirip bihun berbahan dasar terigu. Yang membedakaannya, tekstur mie lethek lebih besar dan kenyal. Rata-rata, mie lethek juga diolah menjadi mie goreng ataupun mie rebus.
Sentra mie lethek berada di Dusun Bendo, Trimurti, Srandakan, Bantul. Sesuai dengan asalnya, warung yang menjual olahan mie lethek, paling banyak tersebar di daerah Kabupaten Bantul. Meski begitu, kini olahan mie lethek sudah bisa ditemukan relatif mudah di wilayah kabupaten yang lain
- SEGO KUCING
Sego kucing salah satu dari enam kuliner Jogja yang menurut saya istimewa. Tapi jangan dibayangkan kalau Sego Kucing itu artinya nasi untuk kucing. Sego artinya nasi. Dinamakan Sego Kucing karena porsinya yang mungil, mirip-mirip porsi kalau ngasih makanan ke kucing.
Penyajian sego kucing, umumnya dibungkus daun pisang atau kombinasi kertas minyak -dan kertas koran. Lauk yang paling sering digunakan adalah sedikit sayur tempe, sambal atau balado teri. Karena porsinya yang mungil, seporsi sego kucing biasa dijual dengan harga 1000 sampai 2000 rupiah, di warung-warung pinggir jalan yang disebut angkringan.
- KOPI JOSS dan WEDANG UWUH
Kalau di ranah makanan Jogja punya gudeg, mie lethek, sate klathak, dan juga sego kucing, maka di wilayah minuman, Jogja punya 2 miuman khas, yaitu kopi Joss dan Wedang Uwuh.
Kopi Joss adalah racikan kopi hitam, yang kemudian ditambahi/dimasuki dengan arang yang tengah membara. Bertemunya benda panas dengan benda cair (kopi) itulah yang kemudian menimbulkan bunyi “JOOSS” hingg kemudian namanya di namakan KOPI JOSS.
Kemunculan Kopi Joss, tidak bisa lepas dari Angkringan Lik Man, salah satu angkringan yang berada di daerah Tugu Yogyakarta. Di sanalah KOPI JOSS pertama kali diciptakan, di tahun 80an.
Arang dicampurkan dengan kopi? Serius? Iya, karena faktanya, arang mampu mengikat kafein yang berada dalam kopi, dan juga mampu mengatasi penyakit-penyakit yang terkait dengan pencernaan. Seporsi kopi joss, bisa dinikmati dengan harga sekitar 5000-8000 rupiah perporsi.
Kalau kopi Joss lahir dari jantung kota, Wedang Uwuh menjadi kuliner khas daerah Imogiri, Bantul. Dalam bahasa Jawa, wedang artinya minuman sementara uwuh artinya sampah.
Konon katanya, wedang uwuh lahir saat para abdi dalem Keraton Yogyakarta mengumpulkan aneka dedaunan dan rempah-rempah yang ada di sekitar kompleks pemakaman Raja di Imogiri, dan kemudian menyeduhnya dengan air panas. Sisa seduhan yang mirip sampah, menjadikan minuman ini dinamai wedang uwuh. Kini, wedang uwuh mudah didapatkan di kompleks pemakaman raja -raja di Imogiri, Bantul.
Berwarna merah karena kandungan secang di dalamnya, wedang uwuh memiliki aroma khas, cita rasa yang manis dan pedas. Pedas berasal dari kandungan jahe, dan aroma rempah berasal dari kandungan kayu manis, sereh, daun jeruk, jahe dan juga secang. Umumnya wedang uwuh diseduh dengan air panas dan gula batu.
Menilik dari bahan dasar pembuatannya, tak heran jika wedang uwuh memiliki banyak manfaat dan khasiat. Manfaat yang paling cepat dirasakan adalah menghangatkanbadan. Karena itulah wedang ini banyak diburu, untuk konsumsi pribadi ataun sebagai oleh-oleh.
Enam kuliner Jogja yang membuat kota tersebut makin istimewa adalah kekayaan dan budaya bangsa, yang mesti kita jaga keberadaannya. Kalau bukan kita, siapa yang akan menjaga?
***
Enam Kuliner Jogja yang Makin Istimewa ini merupakan post trigger #KEBloggingCollab kelompok Mira Lesmana, yang ditulis oleh Tris Sulistyowati.
Sulis, demikian panggilan ibu dua anak yang sempat menjadi jurnalis di salah satu televisi lokal di Yogyakarta ini, adalah pengelola blog http://www.coretanbunda.my.id/
Pernah makan gudeg di Solo, rasanya pas di lidah saya. Tetapi begitu makan gudeg di Yogya, kok rasanya kurang cocok ya di lidah saya. Rasanya terlalu manis untuk ukuran saya yang penyuka pedas. Apakah memang begitu ciri khasnya gudeg Yogya, manis semanis putri-putri Yogya. hehehe…