Semua orang pasti pernah merasakan beragam perasaan emosional seperti penat, jenuh atau sedih. Bahkan jika seseorang dianggap having emotional range of teaspoon, dia tetap saja akan merasakan perasaan senang, sedih, marah dan seabrek perasaan lainnya. Tapi bagaimana jika seseorang cenderung sedih berlebihan, atau marah berlebihan? Wah, ini sudah lampu kuning. Memang kenapa? Apa kaitannya dengan kesehatan mental?
Ketika kita merasakan sesuatu secara berlebihan, efeknya tidak bagus. Sedih berlebihan bisa berlanjut ke depresi, marah berlebihan bisa membuat hubungan yang kurang baik dengan orang, pun jika senang berlebihan. Intinya, perasaan yang dirasakan di titik ekstrem akan mengurangi kualitas hidup kita.
Berkenalan dengan Kesehatan Mental
Frasa kesehatan mental mungkin kurang begitu dikenal di masyarakat kita. Awareness tentang kesehatan mental biasanya ada di titik ekstrem gangguan mental, yakni kehilangan control dan kesadaran tentang apa yang dilakukan, alias gila.
Tapi apa sih kesehatan mental itu? Ini definisinya menurut WHO:
The emotional and spiritual resilience which enables us to enjoy life and survive pain, suffering and disappointment. It is a positive sense of wellbeing and an underlying belief in our and others dignity and worth. It is influenced by our experience and our genetic inheritance.
Jadi, kesehatan mental itu adalah kekuatan yang bisa membuat kita menikmati hidup dan menerima kekecewaan. Kesehatan mental ini juga dipengaruhi oleh pengalaman hidup dan turunan gen. Sayangnya, kita sering menyepelekan kesehatan mental, bahkan pada titik jika seseorang terlihat muram dan murung, suka kita ledekin ‘Mental Tempe’.
Contoh lebih ekstrem? Masih inget soal bunuh diri di Facebook Live? Ada berapa banyak orang yang malah memanas-manasi untuk beneran bunuh diri? Ada berapa banyak orang yang kemudian menggurui soal agama dan lain-lain? Ada berapa banyak orang yang berempati, mendengarkan dan mencoba mencegah bunuh diri? Jawab di hati masing-masing ya.
Kasus yang ga seekstrem bunuh diri, tapi masih berasa miris adalah ada posting yang dimuat di IG tentang seseorang yang mengiris-iris lengannya sendiri dan dianggap sebagai attention seeker aja. Seeking attention for popularity. Hanya beberapa yang ngeh bahwa itu dianggap sebagai tanda minta tolong.
Gangguan mental kerapkali tak terdeteksi. Semacam silent killer, yang datang tak diundang, pulang tak diantar. Bahkan bukan tidak mungkin, orang yang ada disebelahmu sekarang sedang mengalami gangguan mental, dan dia tidak menyadari itu.
Jenis gangguan mental itu banyak sekali, dari mulai yang sering kita dengar seperti stress, depresi, atau baby blues yang dialami oleh banyak ibu pasca melahirkan. Sampai pada istilah-istilah medis yang melafalkannya saja bikin keseleo lidah seperti schizophrenia, multiple personality disorder, bipolar, extreme paranoia dan lain-lain. Setiap gangguan mental kayaknya bisa dibikin satu post sendiri, deh.
Menjaga Kesehatan Mental
Setelah lebih aware, yuk kita mulai jaga kesehatan mentalnya. Hal pertama yang dilakukan adalah, jangan anggap sepele, tapi jangan terlalu dibesar-besarkan. Merasa down karena putus cinta atau stress masalah pekerjaan adalah wajar, it’s okay, jalani saja. Tapi jika sudah beberapa hari rasanya kok makin sedih, makin males makan, makin marah-marah ke orang. Then, it’s time to step back and reset.
Menurut yang saya baca sih, kita bisa menjaga kesehatan mental kita dengan hal-hal di bawah ini:
- Berbicara dengan orang lain
Sebagai manusia pasti punya uneg-uneg. Apalagi perempuan yang memang kemampuan untuk melakukan komunikasi verbalnya cukup tinggi. Berbicara tentang keluhan kita pada orang terdekat, atau yang biasa kita sebut curhat cukup membantu, regardless ada solusi atau tidak. Bahkan bagi perempuan, didengarkan saja biasanya sudah senang bukan? Terbiasa melakukan pillow talk dengan pasangan pun bisa menjadi cara dalam menjaga kesehatan kita plus menjaga keharmonisan pula. Talk does matter.
Lakukan apa yang disukai saat me time. Suka baca buku atau nonton film? Please do it in your ‘me-time’ dan benar-benar nikmati. Biar apa? Biar plong atau refresh setelahnya. Bahkan bagi beberapa orang (termasuk saya), setelah melakukan me time, kita jadi punya sudut pandang baru terhadap masalah yang kita hadapi. Ingat, merasa lelah adalah manusiawi, dimaklumi jika kita butuh time-off. We’re human after all.
- Olahraga teratur
Olahraga ternyata bisa juga menjadi cara menjaga kesehatan mental, bukan hanya fisik. Katanya sih setelah mengeluarkan keringat, rasa cape mental yang kita alami bisa ikut memudar. Mirip-mirip dengan apa yang kita rasakan setelah me-time.
- Kurangi hal yang bersifat adiktif
Sesuatu yang berlebihan bisa menjadi candu. Alkohol, nikotin dan bahkan kafein bahkan bisa menjadi zat aditif dan kita ‘abuse’ konsumsinya ketika kita stress. PAdahal hal-hal tersebut harus dihindari. Yuk mari yuk, kita kurangin konsumsinya. Kalo kita seneng yang manis-manis gimana? Ya kalo berlebihan kan jadinya eneg ya.
- Jangan malu meminta bantuan
Terakhir, hanya kita sendiri yang mengetahui batas kemampuan personal masing-masing. Oleh karena itu, when everything feel too much, jangan malu untuk meminta bantuan. Bantuan yang diberikan orang lain selain bisa jadi meringankan beban kita secara fisik, pun bisa meringakan beban mental kita. Minta bantuan pasangan, ketika sudah kewalahan mengurus rumah dan anak-anak. Minta bantuan rekan kerja, ketika tugas menumpuk dan deadline semakin mendekat. Minta bantuan professional ketika tiba-tiba berat rasanya menjalani hidup dan ingin mengakhirinya saja.
Kesehatan mental ini mungkin seperti sepele, tapi dengan sehat secara mental, hidup kita yang hanya sekali ini, bisa jadi lebih berkualitas.
***
Tentang Kesehatan Mental merupakan post trigger #KEBloggingCollab untuk kelompok Raisa
Ditulis oleh Gifta Alvina, seorang ibu beranak satu dan market researcher. Saat ini menetap di Jakarta.
http://www.aftertwentyseven.com
IG: @giftalvina
Tulisan yang bisa jadi reminder ke diri sendiri, untuk berdamai dengan keadaan dan senantiasa bersyukur pada apa yg kita miliki supaya sehat jiwa dan raga.