Beberapa minggu terakhir ini, di media sosial, ramai orang membicarakan salah satu film Indonesia besutan Joko Anwar, Film Gundala, yang karakternya merupakan ciptaan Harya Suraminata pada tahun 1969. Harya atau Hasmi adalah salah satu komikus dan penulis skenario terkenal di Indonesia.
Ngomong-ngomong soal karakter super hero, bukan Amerika saja dengan Marvel atau DCnya yang punya deretan pembela kebenaran dan penumpas kejahatan. Indonesia juga punya, lho. Makanya ketika Gundala tokoh pahlawan dari komik karyanya Hasmi diangkat ke layar lebar oleh Joko Anwar, taglinenya mengusung “Negeri ini butuh patriot”.
Dulu kita kenal Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien atau Panglima Sudirman saat melawan penjajahan Belanda. Di masa sekarang Gundala hadir untuk melawan kejahatan dengan cara yang berbeda.
Pengkor yang diperankan oleh Bront Palarae jadi musuh utama Gundala yang diperankan oleh Abimana Aryasatya. Pengkor punya ambisi kejam untuk melampiaskan dendam di masa lalunya. Padahal kalau ngomongin soal masa lalu, Gundala alias Sancaka juga punya masa kecil yang pahit.
Enggak mudah lho untuk Sancaka berdamai dengan masa lalunya. Pesan ayahnya dan Awang yang berlainan terus bertalu-talu di benaknya sampai kemudian Sancaka memutuskan untuk tidak egois dan mamu memperjuangkan keadilan.
Di pembukaan film, diceritakan Sancaka harus melihat dengan mata kepala sendiri ia harus kehilangan ayahnya dalam sebuah peristiwa demonstrasi. Sancaka harus berjuang untuk bertahan hidup dan terpisah dari ibunya. Sementara Pengkor sejak kecil sudah menanam benih-benih kebencian akibat perlakuan yang diterimanya di panti asuhan. Di bagian Pengkor ini, nuansa horornya yang dibangun kuat banget.
Lebih mirip film horor semacam The Oprhanage. Ditambah tone filmnya yang dark memberi kesan horor lebih kuat, ga kalah nyereminnya dengan kehororan yang hadir di film Pengabdi Setan, yang juga disutradarai oleh Joko Anwar. Rasanya pengaruh Ibu masih terasa kuat di film Gundala. Sejak awal film dimulai sampai bagian ini, label 13+ memang ga cocok disematkan.
Permah dengar lagu Five For Fighting yang judulnya Superman? Ada satu bagian lirik yang bunyinya seperti ini:
It’s not easy to be me
Seperti itu juga yang dirasakan Gundala. Gundala bukan Batman yang punya properti canggih, atau Superman yang tinggal membuka pakaiannya dan terbang ke angkasa menuju tempat kejadian perkara untuk memberikan pertolongan. Gundala harus sabar dihampiri petir untuk mendapatkan aliran kekuatan dari petir.
Bahkan teman-teman Gundala dibuat harap-harap cemas dan gemas ketika kekuatan Gundala yang dibutuhkan susah banget munculnya.
Hampir separuh dari durasi film, Gundala harus rela berbagi waktu dengan Pengkor untuk menceritatakan bagaimana keduanya bertemu. Meski konflik yang dibangun berlapis-lapis, tidak membuat film Gundala jadi kehilangan gregetnya. Di tengah baku hantam (iya betul fimnya sarat dengan adegan kekerasan yang ga recommended untuk ditonton anak-anak), Film Gundala masih memberi ruang untuk mengendurkan ketegangan lewat tektokan dialog yang lucu.
Mengambil konflik politik yang pernah terjadi seperti demo buruh atau rivalitas Antara wakil rakyat yang melibatkan rakyat sebagai tumbal, garapannya Screenplay Films, sebagai rumah produksi yang bekerja sama dengan Bumi Langit Studios dan Legacy Pictures dengan apiknya menyentil fenomena yang ada.
Bukan cuma sindiran terhadap para pejabat saja, sogokan alias suap yang juga bisa dilakukan oleh orang biasa pun bisa jadi bumerang bagi orang yang disayangi. Nah, lho emang gimana ceritanya rakyat biasa bisa menumbalkan keluarga sendiri?
Terlepas dari kekurangan dari film yang banyak dikritik, Gundala ini jadi salah satu karya film Indonesia yang layak untuk diapresiasi ditengah-tengah maraknya film-film bergenre horror atau kisah romance yang menyerbu bioskop. Mumpung filmnya masih tayang, yuk tonton ya. Sekali lagi jangan lupa dengan label filmnya, ya.