Kalibrasi Bahasa Kalbu

By admin on November 26, 2012

Penulis: Dina Begum

Ladies, walau sudah bertahun-tahun berumah tangga, mengira kita sudah selaras dengan pasangan, jangan lupa bahwa kita harus tetap berkomunikasi dengan baik. Seiring dengan berlalunya waktu kita mengalami perubahan. Perubahan yang jelas adalah (suka atau tidak suka) fisik kita semakin lemah. Mungkin yang dulunya para istri sanggup melayani segala kebutuhan suami mulai dari menyiapkan makan, mengambilkan minum, dll. karena sudah sama-sama tua, tugas-tugas itu jadi lebih berat.

Contohnya bapak dan ibuku. Mamah gampang stress akibatnya sering jatuh sakit. Papap selalu mengira sumber stress Mamah adalah terlalu memikirkan nasib orang lain yang tidak bisa beliau kendalikan. Tapi, setelah beberapa hari tinggal bersama mereka 24/7 di rumahku, kuamati Mamah merasa agak tertekan karena sikap Papap yang semakin otoriter. Apa-apa minta dilayani oleh Mamah dan harus oleh Mamah, padahal Mamah sedang tidak enak badan dan jalannya sudah tidak segesit dulu. Cara memintanya pun masih sama seperti dulu, yaitu dengan (agak) berteriak-teriak minta diambilkan ini-itu (apalagi mungkin karena pendengaran Papap sekarang agak berkurang). Aku saja yang mendengarnya merasa terganggu, apalagi Mamah yang sepanjang hidup berumah tangga harus menghadapi situasi seperti itu. Kemudian Mamah mengaku bahwa dirinya memang merasa terganggu, dan mengeluhkan banyak hal lain.

“Mamah sudah bilang ke Papap?”

“Belum, tapi masa harus dikasih tahu….” kata Mamah.

“Lha kalo ga dikasih tahu gimana Papap bisa tahu…” D’oh!

Meski kuyakin bahasa kalbu mereka masih seperti waktu pertama kali bertemu, setelah hampir lima puluh tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersama mungkin orang cenderung take it for granted. Kita mengira pasangan kita mengerti apa yang kita inginkan dan sebaliknya. Padahal kita hanyalah manusia biasa, tidak punya kemampuan telepati apalagi cenayang. Tetap harus ada komunikasi. Kita tetap harus memastikan pemahaman kita terhadap keinginan pasangan itu sama dengan keinginannya. Bahasa kalbu pun harus senantiasa dikalibrasi agar tercipta hubungan yang harmonis.

Bagaimana cara menyampaikan unek-unek kepada pasangan? Hanya yang bersangkutan yang tahu bagaimana caranya. Masa setelah sekian lama hidup bersama enggak tahu gimana cara bicara yang baik sehingga berterima? Dalam kasus orangtuaku, kepada Papap kubilang sambil agak bercanda (dalam bahasa Sunda, tapi terjemahannya kurang lebih begini):

“Pap, masa ke Tasik aja Papap bisa tapi ngambil nasi di mejik jar enggak bisa? Hehhe… kan Mamah juga lagi makan. Kalo mau nambah jangan ngambil dari piring Mamah, atuh.” Sambil kuambilkan nasi. (Tasik itu kampung halaman Papap.)

Pada kesempatan berbeda kusampaikan kepada Papap bahwa Mamah juga sudah tua, sudah 70 tahun, kasihan kalau masih harus disuruh-suruh saat hendak makan padahal semuanya sudah tersedia di meja. Jangan-jangan malah stress karena itu.

Setelah mereka pulang ke rumah mereka sendiri, dan mungkin ada komunikasi di antara nini-nini dan aki-aki itu, Papap kirim SMS yang bilang mereka sudah rundingan dan akan gotong royong ngurus rumah berdua, dan minta didoakan agar diberi kesehatan. Alhamdulillah. Ternyata, sebagai anak yang sudah menjadi orangtua kita juga harus bisa menjadi ‘orangtua’ untuk orangtua kita saat mereka sudah tua (nah lho, bingung gak tuh!).


Tulisan ini dibuat untuk menyongsong hari jadi pernikahan kami yang ke-20. Tidak ada maksud memburuk-burukkan orangtua. Semoga ada pelajaran yang berharga yang dapat kami ambil dari peristiwa ini.

Baru-baru ini, aku menerima undangan pernikahan yang menurutku sangat manis. Tulisannya seperti ini:

Yes! Kami akan menikah!
“Lucunya, walaupun kami mencurahkan begitu banyak energi dan kepentingan ke hari pernikahan, itu bukan hari terbesar dalam kehidupan kami. Hari terbesar dalam kehidupanmu adalah setiap hari setelahnya. Karena, yang paling penting bukan ikrar untuk mencintai seseorang melainkan perbuatan untuk memenuhi ikrar tersebut. Dengan kata lain, ini baru permulaan.”
Laura Wolf – Diary of a Mad Bride
Doakan kami, ya!

Uuuuuuuu… so sweet… and so true.

Comments (2)

November 14, 2013
IntAnnisa

mirip2 yang dialami sama kakek & nenekku, bedanya kita (anak-anak & cucu-cucunya) masih dalam tahap berdialog sama kakek, belum sampai tahap kakek & nenek rundingan. hehehe…


Trackback

    Leave your comment :

  • Name:
  • Email:
  • URL:
  • Comment: